Bisikan
Oleh: Dhanty Lesmana
“Terkadang, ada roh yang tidak sadar kalau dia sudah meninggal. Berkeliaran di tengah-tengah orang yang dikenalnya, seolah-olah masih hidup. Sampai ada yang bisa menyadarkannya.”
Suara Teguh yang datar, berhasil membuat suasana kamarku terasa begitu mencekam.
Sinar dari lilin yang menyala di lantai, tidak mampu menerangi ruangan tiga kali empat ini. Gelap. Bahkan tak ada sedikit pun cahaya yang masuk dari jendela. Sepertinya di luar pun gelap.
“Kamu yakin, Guh?” tanya Lusi dengan suara gemetar. Tangannya erat memegang Reni, saudara kembarku. Di sebelahnya ada Alvin yang duduk dengan wajah tegang, sama-sama menyiratkan ketakutan.
Aku tertawa. Memandangi mereka semua, yang dengan bodohnya mempercayai ucapan Teguh.
“Kamu gila, Guh!” seruku, seraya menunjuk ke arahnya. Teguh menoleh, menatapku tajam.
“Memang begitu, kok,” jawabnya dengan suara datar. Sorot matanya terlihat begitu dingin.
Seketika, Alvin, Lusi dan juga Reni, beringsut. Duduk berjejer berdekatan dengan tubuh gemetar.
“Maksud kamu apa sih, Guh?” Suara Reni bergetar, matanya nanar menatap ke seluruh ruangan.
“Jangan nakut-nakutin, dong.” Lusi berkata dengan mata yang semakin memperlihatkan ketakutan.
Aku kembali tertawa, terbahak. Api di lilin tampak bergerak tak karuan, seperti tertiup angin.
“Kalian itu bodoh. Percaya aja sama ucapan si kutu busuk ini,” ucapku, mengejek Teguh yang tampak semakin tajam menatapku.
“Aku tidak bicara omong kosong!” serunya pelan seraya terus menatapku tanpa jeda. Suaranya bergetar penuh penekanan di setiap kata.
“Kamu bercanda ‘kan, Guh?” Suara Alvin yang tercekat, membuatku semakin terbahak.
Seketika, lilin pun mati!
Semua yang ada di ruangan berteriak. Membuatku terlonjak kaget, lalu ikut menjerit bersama mereka.
Kata-kata Teguh mulai meracuni hatiku, menjalarkan rasa takut yang perlahan menggerogoti keberanian yang tadi kutunjukkan dengan jumawa.
Atau mungkin ruangan yang gelap ini penyebabnya?
Entahlah.
Teringat beberapa tahun silam, ketika aku masih duduk di bangku sekolah lanjutan pertama. Ada beberapa kakak kelas yang jahil dan sering mengganggu. Mulai dari namaku yang dijadikan bahan candaan, sampai mengambil uang jajan juga beberapa peralatan tulis yang kubawa.
Terakhir, mereka mengurungku di toilet.
Berjam-jam terperangkap di dalam ruangan yang pengap, dengan tangan terikat dan mulut tertutup lakban. Benar-benar membuatku ketakutan.
Rasa dingin yang menusuk, juga kegelapan yang menyergap, membuatku menggigil dan menangis terisak. Tanpa bisa berteriak atau pun bergerak.
Hanya air mata yang menemaniku saat itu, dan … suara-suara.
Ya, suara-suara bisikan tidak jelas, entah perempuan atau laki-laki. Begitu ramai. Berbisik terus-menerus di telingaku.
Sampai aku tertidur, dan baru terbangun ketika ada sinar berkilatan di depan wajahku.
Pak Adang, satpam di sekolah!
Dia berteriak memanggil namaku. Di belakangnya ada beberapa orang lagi. Juga, ada Papa dan Mama. Rasa lega menderaku saat itu juga.
Hampir subuh ketika akhirnya aku sampai di rumah.
Pagi harinya, aku mulai menceritakan semua. Rasa takut, marah juga sedih yang sekian lama kusimpan sendiri, akhirnya tumpah dalam pelukan Papa.
Ya, semuanya memang kuceritakan. Kecuali … suara-suara itu.
Suara yang selalu mengikutiku, sampai sekarang.
Bahkan sampai saat ini.
Gelapnya kamar ini, kembali menghadirkan suara itu. Bersahutan begitu ramai. Aku menggigil ketakutan.
Kupanggil Teguh, Reni, Lusi juga Alvin. Namun, semua diam. Lalu tiba-tiba … blas!
Lampu seketika menyala, kamar pun terang benderang. Kulihat mereka bertiga berpelukan, dengan tubuh mengigil dan wajah penuh ketakutan.
“Untunglah, listriknya sudah nyala lagi,” ujar Alvin dengan wajah semringah.
Di depanku, ada Teguh berdiri, hanya berjarak satu jengkal. Matanya menatapku tajam, dengan wajah dipenuhi kesedihan.
“Di dunia ini, ada roh yang tidak sadar kalau dia sudah meninggal. Berkeliaran di tengah-tengah orang yang dikenalnya, seolah-olah masih hidup.” Suara datar Teguh kembali terdengar. Aku mendengkus seraya menatap balik matanya.
“Seperti kamu, Ndra … kamu pun, belum sadar, ‘kan?”
Kali ini, wajahnya menengadah, menatap ke atas tempatku berdiri. Aku tersentak.
Tepat di atas kepalaku, tampak seutas tambang yang terpotong. Tambang dengan warna yang sama di leherku! Tambang yang tak bisa kulepas!
Perlahan, tubuh Teguh, Lusi, Reni juga Alvin menjauh. Seiring kilas bayangan yang datang bergantian. Tentang hari itu, juga sebuah bisikan yang terdengar riuh di telinga.
“Bunuh mereka, atau kau kubunuh!”
Berulang-ulang.
‘Tidak! Mereka saudaraku, sahabatku! Aku tidak mau membunuh mereka!’
Suara itu mulai bergema di kepala, saat sekuat tenaga kututup telinga. Sekuat tenaga pula, kututup mata.
Aku bukan pembunuh, dan aku tak mau dibunuh. Jadi … biar kuambil jalanku sendiri. (*)
Dhanty Lesmana. Ibu 2 anak yang menyukai dunia menulis. Sampai saat ini, masih mencari genre yang tepat untuk tulisannya.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/me.jadi penulis tetap di Loker Kata