Penulis: De Nara
Jemarimu tanpa sadar bergerak sendiri, beradu dengan kaca meja transparan di sebuah ruang kantor yang berbalut cat hijau. Ini adalah tempat kedelapan yang kaudatangi, setelah sejak pagi tak ada yang membuahkan hasil. Kaumenaruh harapan yang besar untuk yang kali ini. Jantungmu memompa cepat, berulang kali kaumeneguk liur. Matamu selalu terjaga, menatap pintu kaca hitam sebuah ruangan. Di dalam sana ada seorang perempuan berseragam rapi dan ber-make up natural.
Tak lama kemudian perempuan itu keluar. Pandanganmu tak berfokus pada perempuan itu, melainkan pada map merah yang ada di jemarinya. Map yang berisi surat lamaranmu. Jantungmu yang sedari tadi berdegub kencang, kini mulai berdetak normal, perlahan, hingga tubuhmu melemas dan sepasang bahumu mulai menurun. Kau mendesah. Terselip kabar buruk pada setiap langkah perempuan itu. Tak perlu menunggu lama, satu kalimat pun terlontar dari bibirnya: dugaanmu tepat.
“Mungkin pada lain waktu, tidak sekarang. Maaf.” Ia menutup penolakan itu dengan sesungging senyum yang melahirkan lesung pipi. Kau pun membalasnya dengan senyuman dan ucapan terimakasih seadanya.
Kau menjauh dari gedung itu. Berjalan tak tentu arah. Sepasang matamu melirik arloji hitam yang melingkar di tangan, kedua jarumnya hampir membentuk sudut nol derajat. Kau terus berjalan di sepanjang trotoar. Ketika langkahmu sudah cukup jauh, kakimu menaiki setiap anak tangga jembatan yang menghubungkan antara kiri dan kanan jalan. Tangga-tangga itu mulai terkorosi oleh waktu. Kau berhenti sejenak ketika sebuah panggilan menyeru dari perutmu. Oh, kau hampir lupa bahwa seharian ini belum ada makanan yang mampir ke lambungmu. Kau membuka resleting tasmu. Tanganmu merogoh tas usang yang kaubawa, mencari sepotong roti yang tersisa.
Roti itu tak langsung kau makan. Beberapa detik kau memejamkan mata, mendekatkan sepotong roti itu ke hidungmu. Kau membiarkan aroma roti itu berebutan masuk ke hidungmu. Itulah hal yang kausukai, menikmati aroma khas roti itu sebelum melumatnya. Kau mengunyah roti itu sembari menatap keramaian kota dari jembatan. Kau sangat menikmati roti itu. Sempat terlintas di benakmu, apakah kau masih bisa makan atau tidak kelak, karena tak ada rupiah lagi di sakumu. Kau pun terhayut pada lamunan, persoalan-persoalan mulai berkecamuk dalam pikiranmu.
Matamu menatap kendaraan yang berlalu lalang di bawah jembatan penyeberangan. Di bawah sana, kau melihat seorang perempuan cantik. Ia mengenakan gaun putih yang melambai-lambai diterpa angin. Rambutnya terurai mayang. Di tengah laju kendaraan, ia terus melambai. Kau melihat ke kiri dan kanan, di atas jembatan itu hanya ada kau seorang diri saja. Kau memastikan bahwa perempuan itu melambai padamu. Kau mulai panik ketika kendaraan semakin cepat melaju, dan perempuan itu masih berdiri di tengah jalan.
Perempuan itu sepertinya tidak merasa bahwa dirinya dalam bahaya. Ia malah terus tersenyum dan melambai padamu, kau pun luluh. Ia terus menarik-ulur hatimu. Kau semakin terpana karena elok rupanya. Mobil dan motor di bawah jembatan terus melesat, perempuan itu terus menyerumu untuk mendekatinya. Hingga kau mendengar bisikan.
Kemarilah…
Jembatan penyembarangan ini hanyalah sekat antara kau dan dia. Kemudian bisikan itu berkata lagi bahwa masalahmu akan hilang jika kau turut serta dengannya. Kau terseyum tipis … lalu, dengan sedikit anggukan, kau menaikkan kakimu pada pagar jembatan. Kau melompat.
Brak.
Kau terpental dan terguling-guling. Tubuhmu terhantam sesuatu. Kau merasakan ada cairan yang mengalir di sekitar tubuhmu. Sekian detik kemudian ruhmu telah melayang bersama perempuan cantik itu. Di bawah sana, ragamu remuk di tengah jalan.
Antara sadar dan tidak, kau mencoba membuka mata dan memfokuskan pandanganmu. Di hadapanmu tampak makhluk kecil yang tengah berjalan menaiki pipimu dan mulai merayapi bajumu. Kau menggerakkan tanganmu untuk menghindarinya namun semut itu terus mendekat. Kau tepis semut itu hingga ia terpental jauh namun si semut tak juga jera, tetap saja mereka menaiki tubuhmu dan berjalan di atas bajumu.
Apakah ini Surga?
Sementara tubuhmu masih terguling, kaubiarkan semut itu mendekatimu. Kau ingin melihat, apa yang diinginkan oleh si semut. Tanpa takut akan kau binasakan, semut itu terus berjalan di tubuhmu, mengambil remah-remah roti yang terjatuh di bajumu.
“Maaf, Kak. Tidak sengaja, aku sedang buru-buru,” kata seorang anak kecil. Anak itu langsung meraih botol minumnya yang airnya telah tumpah membasahi bajumu. Anak kecil itu pun pergi.
Matamu menggeliat menjamah setiap sudut di sekitarmu. Jembatan? Kau masih berada di jembatan. Dan cairan itu bukanlah darah segar yang keluar dari tubuhmu, melainkan minuman anak itu yang tumpah menimpamu!
Kau terus mengutuk dirimu sendiri, barusan saja kau hendak mengakhiri hidupmu demi sebuah surga yang di dalamnya banyak kenikmatan. Kau meremas rambutmu dan mengusap wajahmu dengan kedua telapak tangan.
Ya Tuhan, semut saja tak pernah lelah, dan tidak takut dengan makhluk yang jauh lebih besar darinya. Ya Tuhan … makhluk sekecil semut pun masih Kau berikan rezeki untuk makan. Bukankah Kau Maha Pemberi?! Lalu, kenapa aku memusingkan jika kelak aku tak bisa makan lagi? Mengapa aku memusingkan tentang pekerjaan yang belum aku dapati?
***
Senja ini kita bertemu kembali di sebuah kafe. Kita duduk di kursi yang menghadap ke jendela. Aku mulai menyeruput cappucino. Kau masih diam sambil melihat secangkir kopi klasik di hadapanmu. Beberapa semut yang berjalan di atas meja mulai antri menaiki gelas kopimu. Aku mengibaskan tanganku pada semut-semut itu, tapi kau menunjukkan jarimu, mengisyaratkan agar aku membiarkan mereka.
“Kenapa? Bukannya sejak kecil kamu paling benci dengan semut, sejak kakimu bengkak setelah digigiti segerombolan semut api dulu,” kataku.
“Tidak lagi, semenjak peristiwa di jembatan penyeberangan itu…,” katamu. Kau terus memperhatikan semut-semut yang mulai memasuki cangkir kopimu. Kau tersenyum tipis. Aku melamun sejenak, mengingat kembali ceritamu minggu lalu tentang peristiwa itu.
Selanjutnya kita pun bercerita. Aku menceritakan tentang aktivitasku dan kau menceritakan tentang pekerjaan barumu. Tak lama, seorang pelayan kafe menghampiri meja kita.
“Pemisi Mbak, Mas, berhubung hari ini adalah Hari Pahlawan, kami memberikan promo untuk pelanggan. Untuk pembelian dua gelas kopi, akan mendapatkan satu miniatur pahlawan. Ada beberapa miniatur yang kami sediakan, silakan dipilih satu miniatur yang paling disukai,” ujar pegawai itu seraya menunjukan beberapa miniatur pahlawan yang ada di nampannya.
“Wah, hari ini Hari Pahlawan?”
Aku melihat-lihat terlebih dahulu beberapa miniatur itu, sedangkan kau langsung bertanya.
“Miniatur semut ada, Mbak?” tanyamu pada pegawai kafe itu.
Aku melirik ke arahmu dan pegawai itu pun melongo heran. Sedetik kemudian, kau melepas tawa kecil.(*)
De-Nara, pecinta kopi, jazz, vintage, dan senang berjalan di pasar tradisional, bukan untuk berbelanja, namun untuk mengamati ragam rupa-rupa yang dia rasa itu unik. Kumcer terakhirnya adalah Jeramba-Jeramba Malam (bennyistitute, 2016).
IG: peramukatakata.
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan