Biru

Biru

Biru
Oleh: Wiwin Isti Wahyuni

Plak.

Biru. Satu, dua … mungkin puluhan, tak terhitung. Biru, hijau, entahlah aku hanya bisa bilang itu lebam akibat jatuh.

Plak. Biru kembali. Ungu bercampur darah. Menetes di sana-sini. Aku hanya bisa bilang itu luka karena jatuh.

“Kali ini aku limbung, Bang,” ketika biruku menghitam. Sosok Abang muncul. Bisa dibilang ibarat malaikat tanpa sayap.

“Aku bisa apa, Dek? Biar kupatahkan tangan-tangan yang menyakitimu.” Abang yang muncul kemudian menghilang.

Plak. Biruku semakin menghitam. Seluruh paha, betis, dada, bahkan kini menghitam ke ujung kuku. Bibirku mengatup. Dua puluh enam tahun lamanya biru-biru menemani kisahku. Mengiringi nyanyian tidurku, atau meninabobokkan aku dalam buaian gulita.

Plak. Kali ini aku menangis. Tersedu sembari menghentak kepala ke tembok kamar. Darah itu keluar dari kulit yang mengelupas. Kuku di jemariku tak terwarnai kuteks. Melainkan biru keunguan bercampur darah. Tak ada satu pun yang bertanya. Bahkan si Abang yang berjanji akan setia.

Plak. Biru … biru … semakin membiru. Sakit ini menjadi saat Abang mengumbar rasa. Mengenalkan pada cinta, sebenar-benar cinta. Lantas hengkang … menjauh untuk tak lagi memanen temu berujung rindu.

Plak. Aku bertahan selama itu untuk menyimpan biru. Namun, biruku telah sempat bertemu pada cerita-cerita manjaku ke Abang yang setia. Abang yang membelaiku manja. Abang yang memenuhi semua mauku kala itu. Hingga aku lupa diri. Lupa akan biru yang semakin hari semakin membusuk.

Plak. Kini Abang tak lagi di sisi. Dia bermanja dengan perempuan lain yang tak sebiru warnaku. Aku hanya mampu kembali membisu.

Plak. Tamparan, pukulan, injakan, bahkan puntiran di tulang-tulangku tak sesakit ini. Sakit yang Abang tuang di hati.

Plak. Meringis di sudut ruang. Ditemani biru, hijau, ungu, yang menghitam. Menghitung sisa-sisa hariku.

Plak. Aku sudah membiru semenjak hari itu. Meski selang berbulan kemarin biruku menjadi banyak warna.

Plak. Sakit tak lagi terasa. Dua tanganku terkulai ke samping kanan dan kiri. Kakiku menginjak tanah. Biruku melebam, namun aku tak merasa apa pun.

Aku terbang jauh … melangit. Ke langit yang biru. (*)

Wiwin Isti Wahyuni, penggila senja dan jingga. Lahir di kota angin, Nganjuk, 4 September silam. Bekerja sebagai tenaga pengajar di Islamic Full Day School di kota tahu Kediri. Belajar tak mengenal usia adalah motto hidupnya. Hidup harus senantiasa menebar kebaikan dan selalu menjadi lebih baik adalah visinya. Sarjana Teknik yang akhirnya menggandrungi dunia anak-anak, yang senantiasa tersenyum meski sedang patah. Bisa kenal lebih dekat lewat akun FB dan IG Wiwin Rowfany. Menerbitkan tiga antalogi bersama dengan teman seperjuangan, dan satu buku non fiksi modul pembelajaran Bilingual. Inilah saya … menjadi bahagia dengan berdiri di kaki sendiri, dan menularkan bahagia pada sesama melalui karya.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata