Bintang yang Pergi
Oleh: Naafisa
“Selamat malam tunanganku, bagaimana kabarmu hari ini?” Seorang berdiri di balkon hotel ditemani secangkir hot chocolate kesukaannya. Matanya berbinar menatap langit yang tersebar jutaan bintang. Rona bahagia terpampang jelas dari wajahnya. Karena saat ini, ia sedang menelepon tunangannya. Pelangi.
“Malam juga tunanganku. Aku baik baik saja di sini, bagaimana denganmu? Bagaimana pekerjaan hari ini? Apakah melelahkan?” Seorang gadis dari seberang telepon genggamnya pun tampak bahagia. Langit dan seisinya yang cerah itu menanungi kebahagiaan dua sejoli yang sedang berjauhan itu.
“Aku juga baik. Ya tentu pekerjaan hari ini sungguh melelahkan. Aku bertemu banyak klien hari ini. Rasanya aku ingin agar hari esok cepat tiba dan aku dapat memelukmu dengan erat. Sungguh aku sangat merindukanmu,” gerutu Bintang manja kepada Pelangi, seraya berjalan menuju kursi di belakangnya dan meletakkan hot chocolate-nya di meja.
“Ck, kau ini. Tapi aku tidak ingin dipeluk olehmu dan aku juga tidak merindukanmu, ketahui itu,” canda Pelangi diiringi kekehan kecilnya.
“Benarkah kau tidak merindukanku? Kau sungguh keterlaluan jika tidak merindukan pria tampan seperti diriku. Tunggu! Apakah ada laki-laki lain selama aku di sini? Sungguh, jika benar, aku tidak akan mengampuni pria yang sudah mencuri tunanganku!” ketus Bintang seraya meletakkan salah satu tangannya di atas meja dan mengetuk permukaan meja dengan jari telunjuknya.
Di seberang telepon Pelangi hanya bisa menahan tawa dan memikirkan sebuah ide untuk membuat Bintang kesal.
“Haha …. Kau ini pandai merajuk juga Bintang. Sungguh kau seperti anak kecil yang menginginkan lolipop. Dan, ya tentu, bahkan selama kamu di sana Ardi terus saja bersamaku, kita berkencan, pergi bersama, makam mal—”
Tut … tutt … tut ….
Ucapan Pelangi terpotong karena tiba tiba saja Bintang mematikan sambungan teleponnya. Kekehan kecil keluar dari bibir mungilnya seraya berkata, “Dasar orang ini, mudah sekali marah dia,” ucap Pelangi sambil memandang layer ponselnya.
“Bisa-bisanya dia membuatku cemburu dengan menyebut nama itu. Membuatku kesal saja. Awas saja besok!” gumam Bintang seraya meletakkan telepon genggamnya secara kasar ke atas permukaan meja.
Drrt!! Drrt!!
Tiba tiba saja telepon genggamnya bergetar menunjukkan adanya pesan yang masuk. Lalu Bintang mengambilnya.
Dari: Pelangi
Hei, Tuan Merajuk. Aha! sepertinya panggilan itu cocok untukmu ya, mau ini kan, suka sekali merajuk. Ck, kenapa kau memutus sambungannya? Aku kan, belum selesai bercerita tadi. Eh? aku tahu kau merasa cemburu kepadaku, bukan? Ah, ayolah! Begitu saja kau percaya, aku rasa kau tidak lupa bahwa sekarang Ardi sudah berada di Aussie jadi mana mungkin aku bersamanya.
“Damn it! Bagaimana aku bisa lupa bahwa pria itu sudah tidak di Indonesia. Aish! Pandai sekali wanita itu mengerjaiku awas saja!” gerutu Bintang penuh kekesalan seraya menepuk jidatnya lalu mendesah kasar. Jemarinya dengan cepat memberi balasan kepada kekasihnya.
“Dia sedang merajuk tetapi tetap membaca dan membalas pesanku. Huh! Dasar, Tuan Merajuk!” gerutu Pelangi sambil menatap pesan balasan dari kekasihnya.
Dari: Bintang
Hei, Nona Jahil, kau suka sekali seperti itu. Aku merasa kesal kepadamu, kau tahu itu? Tapi rasa rinduku kepadamu lebih besar dari kesalku. Haha …. Iya, aku sudah memaafkanmu. Jangan tidur terlalu malam! ingat itu.
Pelangi hanya terkekeh kecil melihat sederetan kata yang menurutnya menggemaskan itu. lalu ia pun segera membalas pesan tersebut.
Dari: Pelangi
Kamu menggemaskan saat sedang merajuk, kau tahu? Ck, hei kau itu sudah memaafkanku, padahal aku belum meminta maaf. Baiklah, Tuan Merajuk, aku minta maaf. Ck, kau tahu? aku juga sangat sangat merindukanmu. Sampai bertemu besok, Tuan Merajuk. Aku juga tidak sabar ingin memelukmu. Kau juga harus tidur setelah ini, Tuan Merajuk.
Bintang tertawa seraya merebahkan diri di tempat duduk king size-nya. Lalu membalas pesan dari Pelangi.
Dari: Bintang
Baiklah. Selamat malam, nona jahilku 😊. Aku mencintaimu.
Sudut bibir Pelangi melengkung ke atas membuat sebuah senyuman seraya membalas pesan dari kekasihnya, lalu meletakkan ponselnya di atas meja dekat tempat tidurnya setelah itu ia merebahkan diri.
***
Suara isak tangis dari luar ruangan bernuansa abu-abu itu membangunkan Pelangi dari tidurnya.
“Ergh! Siapa yang menangis pagi-pagi seperti ini?” gumam Pelangi seraya mengusap wajahnya gusar dan turun dari tempat tidur.
Saat baru menuruni anak tangga, Pelangi melihat Ibu sedang menangis di pelukan Ayah yang sedang menerima telepon. Pelangi pun menghampiri kedua orangtuanya.
“Ibu, kenapa menangis? Apakah ada suatu hal yang buruk?” tanya Pelangi dengan nada cemas dan duduk di samping tubuh ibundanya. Ibu Pelangi pun melepaskan pelukannya, lalu beralih menoleh ke arah Pelangi.
“Baik, Rita. Nanti aku akan memberi tahu kepada Pelangi mengenai berita ini. Sebentar lagi kami akan ke sana. Tunggu kami.” Suara Ayah berakhir bersamaan dengan sambungan telepon yang terputus.
“Ayah, Ibu. Ada apa ini? Mengapa Tante Rita menelepon sepagi ini? Apakah Bintang sudah sampai rumah? Tapi, kenapa dia tidak memberi tahuku? Dan ini, kenapa Ibu menangis?” tanya Pelangi kepada Ayah, namun disusul pelukan oleh ibunya.
“Pelangi, kamu harus janji setelah mendengar berita ini kamu tidak boleh menangis. Kamu harus kuat. Kamu harus sabar, yah nak?”
“Berita apa Ayah? Dan kenapa Pelangi harus menangis mendengar berita itu? Cepat beri tahu Pelangi, Ayah!”
“Bintang … Bintang, Nak. Bintang …,” ucap Ayah menggantung. Bersamaan dengan Ibu yang melepas pelukannya dari Pelangi, dan menatapnya iba.
“Bintang kenapa Ayah? dia baik baik saja, bukan?” Pelangi mulai kehilangan kontrol emosinya saat ayahnya menggantungkan kalimatnya.
“Bin—tang … Bintang. Dia meninggal dalam kecelakaan dini hari saat perjalanan menuju bandara.”
Deg!
Bagai tersambar petir, Tubuh Pelangi menegang saat itu juga. Tak terasa air matanya menetes membasahi pipi. sedetik kemudian ia tak kuasa menahan tangis,
“Tidak! Tidak mungkin! Ayah berbohong, bukan? Ayah bohong! Tidak mungkin Bintang pergi meninggalkanku! Dia … dia sudah berjanji, hari ini, hari ini dia akan datang untuk menemuiku, Ayah! Itu tidak mungkin!” teriak Pelangi diiringi isak tangis seraya memukuli Ayah. Ayah pun menarik Pelangi ke dalam pelukannya. “Ini tidak mungkin, Ayah.”
“Kamu harus sabar yah, Nak? Jangan menangis, biarkan Bintang tenang di sana,” ucap Ayah sambil mengelus rambut Pelangi.
“Ibu tahu kamu sangat terpukul mendengar berita ini, Pelangi, tapi kamu harus merelakan Bintang,” sambung Ibu.
“Pelangi benci Bintang, dia tidak menepati janjinya! Pelangi benci!”
Jenazah Bintang sudah dimakamkan siang ini. Langit seolah turut berduka atas kepergian Bintang. Suasana kelabu sudah menghiasi langit yang tadinya berwarna biru. Satu per satu, orang pun pergi meninggalkan makam Bintang. hanya tersisa Pelangi, orangtuanya dan orangtua Bintang.
“Pelangi, ayo kita pulang, Nak, hujan akan turun sebentar lagi,” Ajak Rita—ibu Bintang—namun Pelangi hanya menggeleng pelan. Pandangan sayunya tak lepas dari batu nisan di hadapannya. Seolah mengerti maksud Pelangi, mereka semua pergi meninggalkan Pelangi.
Iris mata cokelat itu tak henti hentinya menatap batu nisan di bertuliskan BINTANG ARYA PRAWIRA BIN ANJAS, bahkan sampai air hujan mengguyur bagian bumi yang dihuninya. Tangisnya pun pecah bersamaan dengan air hujan yang datang. Sepenggal kenangan yang tercipta bersama Bintang melintas dalam pikirannya.
“Bintang, kenapa kamu pergi meninggalkanku? Bukankah kau sudah berjanji, bahwa hari ini kau akan menemuiku? Kau bilang, kau akan selalu bersamaku. Menciptakan senyuman dari bibirku. Menopangku saat aku terjatuh, dan menghapus air mataku saat menangis. Namun, semua hanya omong kosong! Kau mengecewakanku, Bintang,” ucap Pelangi dengan nada bergetar, tangannya meremas tanah di depannya seraya menunduk mengeluarkan tangis.
Pelangi tidak menyangka bahwa tadi malam adalah percakapan terakhir kali antara dirinya dan Bintang. Waktu berlalu begitu cepat. semesta seolah tidak membiarkan Pelangi dan Bintang mengukir kenangan yang lebih lama. Kini ia tersadar, bahwa Bintang tidak akan dapat bersatu dengan Pelangi. Meskipun, mereka sama-sama memberikan keindahan, tapi mereka muncul dalam waktu yang berbeda. (*)
Naafisa, nama pena dari Nilna Kaesan Nafis. Lahir di Banjarnegara dan pencinta ngapak.
FB: Nilna Kaesan Nafis
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata