Bintang Jasa (Terbaik Ke-12 TL19)

Bintang Jasa (Terbaik Ke-12 TL19)

Bintang Jasa

Oleh: Ika Mulyani

Terbaik Ke-12 TL-9/Ide Terbaik

 

Hari kemerdekaan Indonesia kelima puluh tinggal dua hari lagi. Khusus pada peringatan Kemerdekaan Emas itu, kampung tempat tinggal Guntur mengadakan sebuah acara yang diharapkan dapat membangkitkan semangat nasionalisme anak-anak dan pemuda. Acara itu diberi tajuk “Pejuang Bercerita”. Para tetua kampung yang hidup selama masa revolusi, diminta untuk menjadi ‘bintang tamu’ dan secara bergantian menceritakan pengalaman mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Sebagai seorang veteran pejuang anggota Laskar Hizbullah, Guntur dikenal sekaligus disegani oleh semua penduduk kampung. Bekas luka tembak di kaki kiri laki-laki itu—hingga membuat jalannya pincang—dan bintang jasa yang dipajang di ruang tamu rumahnya, menjadi bukti autentik bahwa ia benar-benar seorang pahlawan perjuangan kemerdekaan.

“Kalian tahu, kenapa kaki saya pincang?” Guntur mengawali ceritanya.

Semua orang memusatkan perhatiannya kepada lelaki usia akhir enam puluhan itu. Dengan berapi-api, Guntur menggambarkan pertempuran yang ia ikuti, membuat semua terpukau.

“Kami harus sangat hati-hati. Lengah sedikit, kita akan tertembak atau kena lemparan granat. Malaikat maut rasanya terus mengikuti ke mana pun saya melangkah. Bersama sahabat saya, Nugroho, putranya almarhum Mbah Karmin, kami bahu membahu melancarkan serangan sekaligus menghindar dari tembakan Sekutu. Tapi sial, kami tertembak. Beruntung saya hanya kena di kaki, sementara Nugroho … terkena tiga peluru sekaligus dan … gugur saat itu juga.” Guntur menundukkan kepalanya. “Sejak itu, saya tidak bisa lagi ikut bertempur di garis depan. Dan … pimpinan laskar … menghadiahkan bintang jasa untuk saya.”

***

Asih mengeluh sakit di ulu hati dan dadanya. Ia menolak ajakan Guntur untuk pergi berobat.

“Mungkin asam lambung saya naik lagi seperti waktu itu, Mas. Buat apa jauh-jauh berobat ke kota, kalau nantinya cuma dapat obat maag,” ucap Asih kepada suaminya. “Minum air parutan kunyit juga sembuh ini.”

Asih sudah meminum ramuan herbal itu bergelas-gelas, tetapi sakit yang dideritanya tidak juga berkurang. Tiga hari kemudian, ia mengembuskan napas terakhirnya setelah dengan susah payah menarik lengan Guntur hingga kepala mereka hampir bersentuhan, lalu berbisik, “Ma-maafkan saya, Mas.”

Ucapan itu terus terngiang di telinga Guntur hingga acara tahlilan selama tujuh hari telah usai. Ia tidak juga bisa mengerti dan selalu bertanya-tanya dalam hati, mengapa istrinya harus meminta maaf. Baginya, Asih adalah cerminan sosok istri dan ibu yang sempurna.

Guntur merasa sangat beruntung, ketika akhirnya bisa mempersunting bunga desa itu. Memang tidak mudah. Ia harus sabar menunggu, hingga Asih bisa sepenuhnya melupakan kedukaannya akan kematian Nugroho. Selama tiga tahun, Guntur harus menahan kecemburuannya, mendengarkan semua keluh kesah gadis patah hati itu. Dengan penuh kesabaran dan kelembutan, laki-laki itu terus mengucapkan kalimat penghiburan dan dorongan semangat, hingga akhirnya Asih luluh dan bersedia menerima lamarannya. Dari pernikahan yang hampir mencapai usia emasnya itu, mereka dikaruniai empat orang anak dan sepuluh orang cucu. Dan selama itu, hampir tidak pernah ada guncangan yang mengancam laju bahtera perkawinan mereka.

Di hari ketiga belas kematian Asih, Guntur mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.

Ketika sedang memilah pakaian Asih yang akan disumbangkan, Guntur menemukan selembar foto lama, tersembunyi di bawah tumpukan baju istrinya di lemari. Ia menggertakkan gigi begitu melihat sosok pada potret yang sudah lusuh dan menguning itu. Darah di kepala laki-laki itu seolah mendidih, dadanya panas oleh amarah yang menggunung, mendesak hingga ke pangkal tenggorokan, dan keluar sebagai umpatan kasar.

“Dari mana Asih mendapatkan foto ini?!”

Guntur kembali mengumpat sambil menarik semua pakaian istrinya dan melemparkannya hingga berserak di lantai, lalu ia bergegas ke dapur, secepat kaki pincangnya bisa membawanya.

“Maaf, saya tidak bisa memaafkan kamu, Sih.” Ia berucap pelan sambil menatap nanar pada potret Nugroho yang menggulung, terbakar dalam kobaran api di tungku.

Guntur ingat sekali, seharusnya, ada dua orang yang berpose di dalam foto itu: dirinya sendiri dan Nugroho. Keduanya mengenakan pakaian seragam Laskar Hizbullah, berdiri gagah dengan penuh kebanggaan. Teman-teman laskar yang berdiri berkelompok-kelompok, ikut terekam di latar belakang.

Beberapa bulan setelah pertempuran terakhir yang diikuti Guntur, seseorang mengirimkan hasil jepretan kamera awak media itu, beserta surat kabar yang memberitakan keseluruhan peristiwa Palagan Ambarawa. Memandang wajah Nugroho dengan tatapannya yang tajam di dalam foto itu, membuat Guntur merasa terintimidasi.

Guntur kemudian menggunting foto tersebut menjadi dua bagian, memisahkan gambar dirinya dengan gambar Nugroho. Bagian yang berisi gambarnya sendiri, ia simpan. Setelah menikah, ia me-repro foto itu menjadi seukuran A4 dan menambahkan bingkai, lalu memajangnya di samping plakat berisi lencana bintang jasa.

Sementara itu, gambar Nugroho ia berikan kepada Mbah Karmin, yang menerimanya dengan air mata berlinang dan berkali-kali mengucapkan terima kasih. Entah bagaimana foto itu bisa berada di tangan Asih. Guntur menyesal tidak sejak dulu memusnahkannya hingga tidak bersisa.

Pikiran laki-laki itu lalu melayang pada peristiwa pertempuran terakhirnya, yang tidak semua ia ceritakan pada acara “Pejuang Bercerita”.

***

November 1945, usia Guntur dan Nugroho masih sembilan belas tahun. Sebagai bagian dari Unit Batalyon Basuni Laskar Hizbullah Yogyakarta, ketika itu mereka tengah bersiap untuk berangkat mengepung tentara Sekutu, yang pada Pertempuran di Ambarawa mundur ke daerah Mranggen, Semarang. Seseorang yang mengaku sebagai wartawan menghampiri dan meminta izin untuk mengambil gambar kedua sahabat itu.

“Kalau nanti kita bertemu lagi, saya bisa minta hasil fotonya, ndak, Mas?” Guntur bertanya penuh harap. Ia ingin menunjukkannya kepada Asih, gadis manis yang sudah lama memikat hatinya. Asih pernah mengaku sangat suka kepada tentara yang gagah seperti Seto, pimpinan pemuda di kampung mereka.

“Siap! Semoga kita menang dan bisa bertemu kembali!” Si wartawan menjawab penuh semangat seraya mengacungkan kepalan tangannya dan berseru, “Allahu Akbar!”

“Allahu Akbar!” balas Guntur dan Nugroho bersamaan, dengan suara bergetar oleh semangat perjuangan.

Guntur, Nugroho, dan Asih berteman sejak kecil hingga beranjak remaja. Asih-lah yang menyemangati kedua pemuda itu untuk ikut bergabung bersama Laskar Hizbullah. Ketika itu, Mei 1945, Seto baru saja pulang dari latihan militer di Cibarusah, Jawa Barat. Seluruh anggota laskar yang telah menjalani latihan, diminta pulang ke daerah asal masing-masing. Mereka mendapat tugas untuk merekrut lebih banyak lagi santri dan pemuda muslim yang bersedia menjadi bagian dari Laskar Hizbullah.

Pada hari keberangkatan ke Mranggen setengah tahun kemudian, Seto menunjuk Nugroho untuk membantunya mengarahkan pasukan pemuda kampung mereka. Laki-laki itu juga memberikan lencana bintang jasa yang pernah diterimanya, sebagai hadiah bagi Nugroho sekaligus penyemangat.

“Bagus, ya, Tur?” ucap Nugroho kepada Guntur, ketika menyematkan lencana itu pada seragam Laskar Hizbullah-nya dengan penuh kebanggaan.

Guntur menanggapi dengan senyum tipis. Ia merasa, Seto telah melakukan kesalahan dengan memberikan lencana itu kepada Nugroho. “Seharusnya saya yang dapat bintang itu! Saya memang sedikit lebih pendek, tapi saya lebih kuat dari dia! Lari saya juga lebih cepat!” gerutunya, di dalam hati.

Beberapa saat sebelum si wartawan mengambil gambar mereka, Guntur merayu Nugroho untuk meminjamkan lencana itu kepadanya. Ia ingin tampak gagah dalam foto. Pemuda itu berharap, setelah melihat hasil jepretan kamera si wartawan, hati Asih akan luluh dan lebih memilihnya sebagai calon pendamping hidup,

“Sebentar saja, Nug! Sehabis foto, saya kembalikan, kok!”

“Betul, ya? Langsung kembalikan?”

“Iya! Masak saya bohong.” Guntur menjawab dengan gusar.

Begitu si wartawan selesai mengambil gambar, Nugroho segera mencabut lencana itu dari pakaian Guntur sambil terkekeh. “Takutnya kamu kelupaan,” kilahnya.

Wajah Guntur memanas, tetapi ia tidak berani melampiaskan kekesalannya di hadapan anggota laskar yang lain. Apalagi, Seto sedang berdiri tidak jauh dari mereka dan memerintahkan seluruh anggota pasukan untuk bersiap.

“Sebentar lagi kita akan berangkat. Kita harus usir tentara Sekutu l*knat itu dari tanah air kita! Kita sudah merdeka! Indonesia negara berdaulat! Merdeka! Allahu Akbar!” seru laki-laki itu dengan wajah membara.

Anggota laskar menyambut dengan pekik merdeka dan seruan takbir yang membahana, menggetarkan hati siapa pun yang mendengarnya. Suara mereka terus bersahut-sahutan, selagi seluruh pasukan mulai bergerak beriringan.

Perempuan dan anak-anak melepas kepergian para pejuang kedaulatan bangsa Indonesia itu dengan lambaian tangan. Beberapa dari mereka, terutama anak-anak, ikut berteriak, menyerukan pekik merdeka dan takbir dengan penuh semangat.

Asih menyeruak ke bagian paling depan dan berseru lantang, “Merdeka! Allahu Akbar! Doa kami menyertai kalian! Pulanglah dengan selamat dan membawa kemenangan!”

Seruan itu membuat Nugroho dan Guntur yang berdiri di dalam truk yang membawa mereka, tersenyum dan melambaikan bendera merah putih yang mereka pegang. Semangat juang berkobar di dada mereka. Guntur bertekad untuk pulang dengan selamat agar bisa mengambil hati gadis itu.

Dengan gagah berani, Laskar Hizbullah Batalyon Basuni yang dikomandoi oleh Khudhari, menghadapi tentara Sekutu yang ingin menguasai Indonesia sekaligus melucuti senjata Jepang yang telah kalah perang. Pertempuran berlangsung dengan sengit. Suara tembakan dan desingan peluru diiringi pekikan kata merdeka dan seruan takbir dari anggota laskar bergema menggetarkan langit Mranggen. Banyak personil dari kedua pihak yang mulai tumbang karena terluka, termasuk Nugroho. Beberapa bahkan meregang nyawa tanpa sempat mendapatkan pertolongan, di antaranya Khudhari dan juga Seto. Kematian sang komandan sempat menimbulkan kekacauan.

Guntur berusaha menyeret Nugroho yang tertembak, menjauh dari arena peperangan. Ia membaringkan sahabatnya yang merintih kesakitan itu di bawah sebatang pohon kelapa di sisi sebuah ladang yang kosong. Peluru menembus bahu kiri pemuda itu, hanya beberapa senti dari tempat jantung bersemayam. Satu peluru lagi bersarang di pangkal kaki kanannya, membuat ia banyak kehilangan darah. Pakaian seragam, sepatu, dan lencana kebanggaannya bersimbah cairan merah dan lengket itu.

Melihat lencana itu, kegusaran Guntur yang sebelumnya ia rasakan kembali menyeruak, mendesak akal sehat keluar dari tempurung kepalanya. Apalagi, malam sebelum pertempuran ia sempat melihat Asih dan Nugroho duduk berduaan di beranda rumah gadis itu.

“Besok hati-hati, ya, Mas Nug.” Kata-kata Asih malam itu terdengar sampai ke balik semak tempat Guntur mengintip.

“Doakan Mas bisa kembali dengan selamat, ya. Biar kita bisa bertemu lagi,” sahut Nugroho.

Membayangkan kejadian itu, api cemburu kembali membara di dada Guntur. Ia mendengus lalu mengokang bedil dan mengarahkan senjata mematikan itu pada Nugroho yang sudah setengah sekarat, tepat di bagian jantungnya.

“Kamu pasti kesakitan dan sepertinya sudah hampir mati, Nug. Saya cuma bantu mudahkan jalannya.” Guntur tidak tahan untuk tidak terkekeh pelan ketika melihat mata Nugroho yang terbeliak penuh kengerian.

Satu letusan dan seruan tertahan memecah udara yang dipenuhi debu peperangan. Lalu satu letusan lagi, kali ini disertai teriakan kesakitan.

Guntur menyeringai, antara merasa puas dan kesakitan. Ia telah menembak tumitnya sendiri, setelah sebelumnya mencabut lencana bintang jasa milik Nugroho dan menyematkan benda itu pada pakaian seragamnya sendiri.

“Tolong! Siapa saja, tolong kami! Kami tertembak!” seru Guntur dan kembali merintih kesakitan.(*)

Ciawi, 19 Maret 2022

Ika Mulyani, mamak-mamak yang cinta damai dan selalu tiba-tiba merasa lemas bila melihat pertengkaran, apalagi tawuran dengan senjata tajam. Dan sekarang mendapat tantangan untuk menulis bertema perang. Entah tulisan ini cukup berhasil atau belum, yang jelas, semoga perang segera berakhir dan dunia kembali damai. Aamiin.

Komentar juri, Freky:

Jujur saya mengakui, awalnya saya mengira cerpen ini hanya akan mengisahkan sebuah kisah klasik seputar kepahlawanan seseorang. Namun saya salah. Semakin lama membaca, saya semakin terpikat.

Dengan plot yang jelas, penulis tidak membiarkan pembacanya berhenti di tengah-tengah. Hingga kita tiba di bagian akhir yang mengejutkan dan memberikan kesan yang kuat secara keseluruhan. Tidak salah bila cerpen ini dipilih sebagai salah satu dari 20 cerpen yang lolos dalam tantangan lokit kali ini.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply