Bingkisan Perpisahan
Oleh: Ray Eurus
Sikap tegas seorang lelaki yang berusia empat puluh tahun itu sungguh mampu membuat dia tak berkutik. Di sebelah lelaki tersebut, seorang wanita anggun duduk sambil tertunduk. Sementara di seberang kedua orang itu, dia bungkam tak mampu menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.
“Dad sudah menghubungi Grany May!” cetus sang lelaki, “kamu segera bersiap. Akhir pekan, Mom dan Dad akan mengantarkanmu,” imbuhnya, seraya berlalu.
Dia seakan-akan membeku. Dia terpaku di atas bantalan empuk kursi jati. Tepatnya di hadapan meja kerja lelaki tersebut, demi menerima keputusan yang tak dapat digoyahkan. Sementara, wanita berparas ayu khas pribumi di hadapannya, tak memberikan pembelaan sedikit pun. Tampak sekali wanita tersebut turut memendam kecewa.
“Mom …,” rengeknya dengan suara bergetar.
Wanita itu menghela napas dalam. “Tak ada yang bisa Mom lakukan. Hadapi saja keputusan ini,” ucap wanita itu, tampak berusaha tegar. Bagaimana tidak, selama ini dia tak pernah hidup berjauhan dari anak perempuan satu-satunya itu. Namun kini, dia harus merelakan anak perempuannya yang baru saja mekar untuk diterbangkan ke negeri kanguru, kampung halaman sang suami.
Dia kembali ke kamar sambil terus merutuki satu nama. Nama seorang kawan sekolah yang selama ini dipercaya. Sebuah nama yang membuatnya harus menerima hukuman ini.
“Yena. Sialan!”
Kenangan menariknya kembali pada kejadian lima hari yang lalu, saat hari terakhir menghadapi ujian kenaikan kelas. Yena tiba-tiba melemparkan kertas kecil ke mejanya yang duduk persis di belakangnya. Dia sempat heran, tumben sahabatnya tersebut meminta contekan. Dia pun jatuh iba karena dalih persahabatan mereka.
Nahas, pengawas ujian memergoki di saat dia hendak memberikan jawaban kepada Yena. Akhirnya, dia dipanggil ke ruang guru untuk memberikan penjelasan atas ketidakjujuran tersebut. Sayangnya, ketika dia menjelaskan duduk perkara sebenarnya, Yena justru mengelak. Sahabatnya tersebut menyangkal semua yang disampaikan olehnya.
Predikat juara umum yang selalu disandangnya seketika dipertanyakan karena kejadian ini. Sekolah tempatnya saat ini menimba ilmu merupakan sekolah teladan, sehingga tak peduli dengan statusnya sebagai seorang anak dari keluarga terpandang. Ketika ada sebuah ketidakdisiplinan, maka jangan berharap kau akan mendapatkan perlakuan istimewa. Tak ayal kedua orang tuanya diberitahukan mengenai kejadian tersebut.
Semburat kemerahan mulai menghiasi langit sore saat dia meminta seorang supir pribadi mengantarkannya ke rumah Yena. Bunga-bunga dari pokok trembesi di halaman rumah sederhana yang ditujunya itu berserakan di atas tanah basah. Pastilah hujan angin yang baru saja reda menceraikan keindahannya dari atas pohon yang berdiri tak lebih dari dua kaki itu. Badai yang baru saja reda, seolah-olah menjadi gambaran duka hatinya saat ini.
Dia sudah berdiri di ambang pintu dan mulai mengetuk. Cukup lama dia berdiri menunggu sahutan dari dalam rumah. Tak berapa lama, seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Senyum tipis sempat terukir dari wajah pucat sang wanita yang seperti kapas, lalu digantikan batuk yang seperti saling berkejaran. Kain lusuh yang tersampir di bahu kirinya menjadi penyumpal mulut setiap kali beliau batuk. Dia terenyuh.
Beliau adalah ibunya Yena. Dia cukup dekat dengan wanita itu. Awalnya, dia berniat akan mengadukan kelakuan Yena yang menyebabkan kesusahan padanya. Akan tetapi, lidahnya seketika kelu.
“Maaf, Auntie, jika saya mengganggu. Em, saya hanya … mengantarkan ini, semoga Auntie segera pulih.” Dia menodorkan bingkisan berisi buah-buahan yang sempat dibelinya saat menuju ke rumah Yena.
“Terima kasih, Zelda.” Ibunya Yena menerima bingkisan tersebut dan mempersilakan dia masuk.
“Mohon maaf, saya harus segera pulang, Auntie. Semoga suatu saat, kita berjodoh kembali.”
“Kamu mau ke mana? Sebentar lagi Yena balik, dia hanya ke apotek di klinik simpang jalan sana. Kamu tak ingin menunggunya?” Susah payah beliau menjelaskan di sela-sela derai batuk.
“Salam saja buatnya. Semoga dia berhasil di kemudian hari,” harapnya tulus, “lusa saya ‘kan pindah ke rumah Grany. Entah sampai kapan saya di sana. Sekali lagi, semoga Auntie cepat sembuh.” Dia menyalami beliau yang sedang batuk sambil menyumpal mulut dengan kain lusuh, sebelum beranjak dan pergi meninggalkan rumah itu.
Nanar tatapan sang wanita melepas kepergiannya. Sesekali dia berdeham karena tenggorokan yang begitu gatal. Besar harapan wanita itu dapat menahannya lebih lama sampai Yena kembali. Andai kata batuknya tak sedang meradang, mungkin dia bisa lebih leluasa untuk mencari topik pembicaraan.
***
“Harusnya kamu lebih hati-hati, gak seceroboh itu,” sesal sang ibu sambil terbatuk-batuk kepada Yena, saat gadis itu menjelaskan kejadian yang bisa saja menjadi alasan sampai sahabatnya tersebut dipindahkan ke luar negeri.
“Yena gak nyangka, Bu, kalau kejadiannya sampai seperti ini. Ck!” Yena pun tak kalah gusar.
“Harapan Ibu, kamu bakal kecipratan hoki kalau dekat sama Zelda dan keluarganya di kemudian hari,” tuturnya, setelah menenggak air hangat yang cukup melegakan tenggorokan.
“Sayangnya, kamu malah ….” Wanita itu lagi-lagi menyumpal mulutnya dengan kain lusuh untuk meredam suara batuk. []
Ray Eurus adalah nama pena dari seorang penulis asal Kota Minyak yang baru setahun lalu mendalami dunia fiksi. Penulis sudah menelurkan dua novel solo dan belasan antologi. Penulis dapat disapa pada akun Facebook: Ray Eurus, Instagram: @rayeurus, dan pos elektronik Hyperlink: mail to:rayeurus87@gmail.com rayeurus87@gmail.com.
Editor: Imas Hanifah N