Binatang, Hati dan Sepenggal Cerita Abi
Oleh: Evamuzy
“Coba elus kepalanya, Sayang.” Aku mengulurkan tangan kanan putraku saat seekor rusa Kebun Raya Bogor dengan jinak mendekati kami yang sedang duduk santai di atas rerumputan rendah. Bertamasya kecil-kecilan sering kulakukan di akhir pekan, berdua bersama jagoan kecil, putra semata wayang kesayangan.
“Tidak mau, Abi. Dawud takut.” Jagoan kecilku bergidik lucu. Menggemaskan.
“Dia tidak akan gigit, Nak. Ayolah.”
“Tidak mau, Abi. Kan, Abi tahu kalau Dawud takut dengan semua binatang. Mereka mengerikan.”
“Sayang, tidak semua binatang itu mengerikan. Memang ada yang liar dan membahayakan, tetapi juga banyak yang jinak dan penurut. Bahkan, bisa jadi sahabat dan teman bermain. Dan untuk yang liar, mereka tak akan membahayakan selama kita berhati-hati dan tidak mengganggunya. Jadi, belajarlah untuk tidak takut dan belajar menyayangi mereka, Nak. Jagoan Abi, bisa?”
“Dawud akan coba, Abi. Apakah kali ini Abi punya satu cerita? Abi mau ceritakan itu untuk Dawud?”
“Boleh. Duduklah di sini, Jagoan.” Aku menuntun putraku untuk duduk di pangkuan.
“Bismillah. Jagoan Abi, siap?”
“I’m ready, Abi.” Senyumnya mengembang menghiasi sepasang matanya yang binar.
“Daud ingat binatang unta?” tanyaku sambil mengelus lembut rambut legamnya.
“Binatang berkaki empat, yang kakinya sangat panjang juga lehernya. Yang badannya berwarna cokelat dan putiih?” tanya balik jagoan kecil berumur mendekati empat itu.
“Hehe …. Bukan, Sayang. Itu jerapah namanya.” Aku mencium pucuk kepalanya yang harum sampo. “Yang punya punuk di pundaknya. Yang pernah Abi ceritakan kalau punuk itu berguna untuk menyimpan cadangan air yang dibutuhkan dia di tempat hidupnya yang berupa gurun pasir.”
“Yang badannya berwarna cokelat? Yang banyak hidup di negeri yang sangat terik?” jawab Dawud antusias.
“Yah, betul sekali. Anak soleh Abi pintar. Itulah binatang unta, Nak.”
“Abi akan bercerita tentang unta?”
“Benar. Ceritanya, dulu di zaman Rasulullah, hidup seekor unta yang sudah sangat tua. Meski badannya kekar, tetapi terlihat tatapan sayu di kedua matanya. Setiap hari dia mengamuk pada pemilik dan orang-orang yang berada di sekitar. Mereka yang menjadi korban amukan si unta, selalu berakhir babak belur dengan banyak luka. Juga beberapa bangunan berbahan kayu yang tak luput dari tendangan kaki kuatnya. Roboh dan rusak parah. Meski dia sendiri selalu mengakhiri aksinya dengan napas tersengal-sengal.”
“‘Kan, apa kubilang. Binatang itu mengerikan.”
“Tunggu dulu, Sayang. Cerita Abi belum selesai.” Aku berhenti sebentar, mengambil napas untuk kembali melanjutkan cerita. “Lalu, seorang sahabat menceritakan ini kepada Rasulullah. Beliau langsung menuju tempat si unta berada. ‘Berhenti di sana, Baginda. Engkau akan terluka jika mendekatinya. Sungguh,’ teriak beberapa sahabat melihat Rasulullah berjalan mendekati si unta.” Aku menghentikan cerita, memastikan jagoan kecilku tak tertidur sebab tak terdengar lagi suara darinya. “Kau tertidur, Nak?”
“Tidak, Abi. Dawud masih mendengarkan cerita Abi. Ayok, lanjutkan. Apa Rasulullah tak jadi mendekatinya?”
“Rasulullah itu selain berhati lembut juga pemberani, Nak. Dia maju tanpa rasa takut sama sekali. Berapa sahabat semakin meninggikan jeritannya. Bahkan sahabat Umar yang tadinya kuat melarang, hanya bisa pasrah, menutup mata karena tak tega dengan apa yang akan terjadi pada Rasulullah. Dan … ketika Rasulullah semakin mendekat, berada tepat di depan si unta tua itu, semua orang yang ada di sana terperangah.”
“Pasti melihat si unta memberikan amukan kepada Rasulullah,” tuturnya yakin.
“Justru yang terlihat sebaliknya, Sayang. Semua orang heran. Si unta begitu tunduk saat Rasulullah mengelus lembut kepalanya. Dan dengan pelan, dia menekuk keempat lutut, menurunkan badannya di depan Rasulullah sambil menitikkan air mata.”
“Benarkah itu, Abi?”
“Benar, Nak. Dan si unta berkata ini pada Rasulullah. ‘Aku sudah tua, mungkin hidupku tak lama lagi akan selesai. Tenagaku juga tak lagi sekuat dulu. Sungguh, aku lelah, Baginda. Namun, mereka tak habis-habisnya memintaku membawa beban berat di atas punukku. Tumpukan kayu bakar, berkantong-kantong gandum dan benda berat lainnya harus kubawa setiap hari. Aku tak sanggup. Mereka tak ada yang mengerti, dan satu-satunya jalan agar mereka menghentikan ini adalah dengan mengamuk. Aku lelah, aku marah,’ begitu kata si unta.”
“Kasihan yah, si unta.”
“Nah, sekarang jagoan Abi sudah tahu ‘kan, kalau mereka, para binatang juga punya hati dan perasaan. Saat Dawud menghindari mereka dan tidak mau menyentuhnya juga tak menyanyangi, maka mereka akan merasakan itu. Menganggap Dawud tak menyukai mereka juga. Lalu bagaimana coba perasaan mereka?”
“Sedih.”
“Nah, jagoan Abi tahu itu. Jadi?”
“Jadi mulai sekarang Dawud akan belajar untuk tidak takut dengan binatang dan akan belajar menyayangi mereka.”
“Hebat. Jagoan Abi memang hebat. Betul, Nak. Laa yarham walaa yurham. Siapa tidak sayang, maka tidak disayang.”
“Iya, Dawud akan sayangi binatang agar mereka juga sayang kepada Dawud. Dan Allah juga akan sayangi Dawud.”
“Jagoan Abi memang pintar.”
“Hihi …. Amin, Abi.”
“Ok. Waktunya pulang, Jagoan. Ummi sudah kirim pesan. Katanya, kita disuruh pulang sekarang. Waktunya makan siang. Ummi sudah buatkan opor ayam kesukaan Dawud.”
“Wah, Asyik. Ayok Abi, kita pulang sekarang.”
Evamuzy, seorang pendidik tingkat anak usia dini di sebuah kota kecil.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata