Bilur

Bilur

Bilur

 

Oleh: Langit Renjani

 

“Baru datang?” Aku berbasa-basi ketika mendengar suara pintu dapur terbuka.

 

Kamu membuka jaket yang menutupi seragam pelayan dapur di restoran tempat kita bekerja. Kamu lepas topi yang menutupi wajahmu, menyamarkan lebam bersemu biru di pipimu. Bagiku, itu bukan pemandangan baru.

 

“Lagi?” tanyaku, masih berusaha memancingmu untuk bercerita.

 

Sepasang mata sendu mewakili mulutmu memberi jawaban tanpa kata.

 

“Dan kamu masih bertahan?” Kamu Mengabaikan tanyaku.

 

Kamu gelung rambut panjangmu, lalu kamu rapikan riasan wajah dan anak-anak rambut yang mencuat. Ritual yang sama yang selalu kulakukan setiap hari. Selanjutnya adalah melepas manset yang menutup lengan dan memakai celemek di pinggang. 

 

Kali ini kamu tidak bergegas, tetapi justru diam membeku.

 

“Perlukah kulepas mansetku?” Akhirnya kamu bersuara, kering dan getir. 

 

Perlahan tanganmu bergerak menggulung manset, menampakkan lebam lain. Dan yang ini lebih lebar dan hitam. Aku melengos. “Kalau tidak mau diomeli Bos, pakai manset dan maskermu dan bilang saja kamu kena flu.”

 

Kamu menuruti perintahku. Selalu seperti itu, kamu hampir tak membantah apa yang aku katakan. Kecuali yang satu ini. 

 

“Kamu yakin gak mau pisah?” Gelengan kepalamu menjadi jawaban.

 

“Padahal kamu masih muda dan cantik,” gerutuku.

 

“Aku cinta dia.”

 

“Cinta saja enggak cukup!”

 

“Cinta bisa mengubah seseorang,’ kilahmu.

 

Ya, aku bisa melihatnya. Cinta mengubahmu dari gadis belia pemberani menjadi perempuan dewasa yang bodoh dan penakut. Penyesalan terbesar dalam hidupku setelah susah payah membawamu pergi dari rumah adalah membiarkanmu bertemu dengannya. 

Kalian bertemu di sore temaram seperti ini, ketika hujan keparat waktu itu tak juga pampat. Satu per satu pelanggan restoran pulang menembus hujan, meninggalkan lelaki itu kuyu di sudut restoran. Harusnya waktu itu aku menyeretnya ke luar dan menutup restoran.

Sebaliknya, aku membiarkanmu jatuh iba padanya, lelaki bermata redup yang pijar matanya nyaris padam. Kubiarkan kamu membuat kopi untuknya. Dia bilang kopimu yang paling enak sedunia. Kamu terpesona lalu duduk mendengarkan dia bercerita. Satu cangkir kopi, berlanjut cangkir berikutnya, lalu berikutnya lagi. Seharusnya kopi tidak bisa membikin orang jadi mabuk, tetapi siapa yang tahu?

Siapa pula yang tahu tentang takdir?

Malam itu jadi pertemuan pertama kalian. Mengawali malam-malam berikutnya buatmu. Membuatmu datang ke dapur dengan wajah merona beraroma cumbu rayu. Kamu pun mulai bermimpi tentang pernikahan yang penuh bunga-bunga dan pelangi.

 

Aku mencoba menahanmu berpijak di bumi. Mengingatkanmu bahwa kita telah pergi diri dari rumah yang dibangun tanpa cinta di dalamnya, dari satu amarah ke amarah lain yang tanpa batas. Karena saudara mesti bersatu, bukan?

Namun setiap kali aku hendak menyelamatkanmu, mereka bilang aku hanya iri dengan kebahagiaanmu. Terpaksa kututup mata ketika sesekali kamu tak pulang ke kontrakan, pura-pura buta ketika di kulitmu mulai tumbuh lebam silih berganti. 

 

Lelaki itu makin sering datang ke restoran, memikat semua orang dengan leluconnya yang terdengar kosong di telingaku. Dalam hitungan bulan, dia membawamu pergi dengan dalih pernikahan. Aku mulai berhitung, harap-harap cemas setiap kali melihatmu muncul di pintu dapur. Alih-alih bunga-bunga dan pelangi yang kau impikan, pernikahanmu menyuburkan bilur-bilur di tubuhmu. Ketika aku bertanya apa yang terjadi, kamu menjawab, “Dia terlalu sayang padaku.”

 

Kamu pun makin lihai membuat alasan menutupinya, dari hari ke hari. 

 

“Dia takut kehilanganku,” ujarmu suatu kali. 

 

Sementara aku tahu, aku telah kehilangan dirimu sejak kamu melangkah pergi.

 

Kubilang padamu kamu bisa mati. Kamu tidak percaya. Hingga suatu kali kamu nyaris merangkak memasuki pintu dapur. Kamu bilang pada samua orang bahwa kamu jatuh dari motor. Meskipun tak ada seorang pun yang percaya, mereka semua diam. Kamu sembuh dan kembali masuk dalam khayalanmu yang membutakan. Kamu kembali merangkak ke dalam labirin cinta matimu. Hingga akhirnya sekeping pecahan piring nyasar nyaris menyambar kepalamu meninggalkan goresan pada pelipismu. 

 

Kesabaranku habis. Awalnya aku menasihatimu lalu aku memarahimu, kemudian aku meneriakimu, memakimu sebagai perempuan tolol. Kamu bergeming. Sia-sia juga usahaku menyeretmu untuk melapor. Bukannya rasa aman yang kamu dapat, tapi tambahan makian, bahkan ancaman. Makin seringlah lebam-lebam itu muncul di tubuhmu, nyawamu pun jadi taruhan.

 

“Kalau kami punya anak, dia akan berubah.”    

Kalau apa yang kamu katakan itu benar, maka seharusnya tak perlu kita lari dari rumah.

 

Kamu masih juga tak mau bangun dari mimpi burukmu. Baiklah, biarkan aku yang akan menuntaskannya. Aku tahu, kamu sudah tak mampu bergerak sendiri. Otak dan hatimu sudah lama lumpuh. Seharusnya aku melakukannya sejak awal karena bukan hal yang mustahil menyingkirkan monster itu. 

 

Dia suka makan enak dan gratis, maka aku akan memberikannya sebagai pengantar ke neraka. 

 

Bumbu istimewa kudapatkan saat Chef yang menyuruhku belanja ikan ke pasar. Semirip gula, larut dalam air, dan tak berbekas warnanya. Persiapan sempurna. Tinggal menunggu waktu mengizinkanku melakukannya.

 

Sore itu kamu kembali datang dengan merangkak, nyaris benar-benar merangkak karena tak sanggup lagi memacu motor bututmu. Tangismu tak mau berhenti. Kusembunyikan dirimu di celah sempit di gudang dapur.

 

“Dia tuduh aku selingkuh dengan chef baru itu,” kamu mengadu. Aku tak ingin menjawab, tuduhan selingkuh juga bukan hal baru bagimu.

 

“Dia bilang, malam ini dia mau ke sini, mau jemput aku supaya chef enggak antar pulang,” ucapmu di antara isak tangismu

 

Senyum sinis terbit di bibirku. Sudah saatnya semua harus diakhiri, batinku.

 

Aku berjongkok, berbisik tepat di telingamu–adik kesayanganku, “Kalau dia mati, apa kamu akan menangisinya?” 

 

Mendengar ucapanku isakanmu terhenti, mulutmu ternganga dan matamu terbelalak menatapku. Kuletakkan telunjuk di bibir, tersenyum lembut padamu.

 

Titimangsa: Monsela, 20 Oktober 2021

Biodata narasi: Langit Renjani, penyuka dini hari dan secangkir kopi susu, yang menulis untuk untuk meredakan badai di kepala.

 

Link gambar

https://pin.it/2fOJIZE

Leave a Reply