Bik Marni
Oleh : Ina Agustin
Saat cahaya kemerahan menghiasi cakrawala, disusul merdunya suara kokok ayam jantan. Seperti biasa, aku membersihkan rumah. Mulai dari menyapu, mengepel dan cuci mencuci. Benda-benda berbentuk lingkaran dan tabung yang terbuat dari bahan keramik dan beling itu, kini sudah berjajar rapi di rak. Beberapa potong kain pembungkus badan yang kemarin dipakai sudah kubilas dan bertengger manis di besi halaman belakang. Huffft! Kuhela napas kasar. Kulihat sebuah benda yang menempel di dinding, menunjuk angka tujuh dan dua belas. Biasanya ada pedagang keliling yang menjual nasi uduk dan lontong sayur. Sambil mengurusi si kecil, aku memasang telinga lebar-lebar berharap suara pedagang keliling itu bisa kudengar. Tak lupa, pintu utama pun kubuka, agar suara pedagang keliling itu terdengar jelas. Namun, sudah lebih dua puluh menit, suara itu tak kunjung datang. Sepertinya pagi ini aku harus membuat sarapan sendiri untuk keluargaku. Aku bergegas menuju warung di gang sebelah.
Saat membuka pintu garasi, lamat-lamat kudengar suara itu. Ya, suara khas Bik Marni. Syukurlah, aku tak usah repot-repot pagi-pagi masak. Terlebih cita rasa uduk dan lontong sayur Bik Marni yang enak. Cocok sekali di lidahku. Pun dengan suami dan anak-anak kami. Aku memanggil Bik Marni. Tapi ada yang tak biasa kali ini. Di belakang Bik Marni ada seorang anak laki-laki membawa panci sayur. Kutaksir usianya sekitar lima belas tahun. Bola mata anak itu tidak fokus, bergerak ke kiri dan ke kanan dengan cepat. Juga wajahnya yang selalu tertunduk. Ditambah lagi dengan kakinya yang membentuk leter O. Saat ia berjalan itu terlihat jelas.
“Bik, ini siapa?”
“Ini anak bungsu saya, Neng. Saya ajak karena tangan saya lagi sakit, enggak bisa bawa beban terlalu berat. Kemarin saya jatuh di kamar mandi. Tangan saya kelipet terus ketindih badan.” Bik Marni memperlihatkan tangannya yang bengkak.
Ya Allah, Bik. Kenapa enggak istirahat dulu?”
“Kalau istirahat, siapa yang nyari uang, Neng?”
Walaupun Bik Marni adalah tukang uduk langgananku, aku jarang sekali bertanya tentang keluarganya. Aku khawatir menyinggung perasaannya, karena tidak semua orang suka ketika ditanya tentang urusan pribadi. Namun, kali ini aku dibuat penasaran. Dengan spontan aku bertanya-tanya.
“Memangnya suami Bibik kemana?”
“Sudah meninggal sekitar setahun lalu.”
Kulihat nasi uduk dan lontongnya masih banyak, sayurnya pun masih penuh. Biasanya Bik Marni keliling sendiri. Ia membawa uduk dan lontong di atas kepalanya dengan wadah yang terbuat dari bambu berbentuk lingkaran pipih. Tangan kirinya memegangi wadah itu untuk menjaga keseimbangan, sedangkan tangan kanannya membawa panci berisi sayur untuk lontong. Tapi kali ini, anak remaja itu membantunya. Bisa dikatakan remaja walaupun tak sempurna. Biasanya uduk dan lontongnya tinggal separuh saat ia menjajakan dagangannya padaku. Namun, kali ini masih sangat penuh. Apa karena para pelanggan enggan membeli karena melihat kondisi anak yang menyertainya itu? Entahlah. Yang kutahu, penyakit seperti itu tidak menular. Aku yakin saja membeli dagangannya.
“Sep, taro sini pancinya!” seru Bik Marni pada anaknya itu.
Kemudian ia menuruti perintah ibunya. Ajaib. Yang kutahu, anak seperti itu lambat merespons perintah, tetapi ini lain. Ia menuruti perintah walaupun dengan langkah lambat karena bentuk kaki dan tangannya yang tak lazim. Aku baru tahu saat ia mendekat, ternyata jari tangannya pun tak normal. Sepuluh jarinya itu melengkung tak beraturan, namun ia masih bisa memegang benda, bahkan panci sayur.
Dengan sigap, Bik Marni melayaniku. Dua piring nasi uduk dan semangkuk lontong sayur sudah siap disantap. Lontong sayur adalah kesukaanku. Sedangkan nasi uduk adalah kesuakaan suami dan anak kami. Asap sayur yang masih mengepul itu menari-nari menggelitik perutku. Ah, tak sabar rasanya aku ingin segera menyantapnya. Kuberikan selembar lima ribuan dan empat lembar seribuan. Harga jual nasi uduk dan lontong yang ditetapkan Bik Marni sangat murah. Selain rasanya enak, ia pun ramah. Kemudian ia mengangkat wadah yang terbuat dari bambu itu lalu diletakkan di atas kepala yang sebagiannya dihiasi rambut putih. Perlahan ia bangkit sambil meringis. Mungkin menahan sakit tangannya yang bengkak itu. Lalu anaknya kembali menenteng panci sayur. Perlahan tubuh mereka hilang ditelan jalanan.
Serang, 13 Oktober 2020
Bionarasi
Penulis bernama lengkap Ina Agustin ini adalah seorang ibu dari tiga anak laki-laki. Membaca, menulis, dan membuat kudapan adalah hobinya yang sangat didukung suami. Penulis penyuka warna merah marun ini memiliki motto “Hidup di dunia hanya sekali, hiduplah yang berarti!” Penulis bisa disapa di akun Facebook dengan nama yang sama.
Editor : Freky Mudjiono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata