Bidara Itu Berduri

Bidara Itu Berduri

Bidara Itu Berduri

Oleh : Nining Kurniati

Mati, kata itu muncul di kepalanya hampir setiap hari. Tak tentu waktunya, kadang pagi, kadang siang, kadang juga malam. Dan bila keinginan itu muncul, maka ia akan mendongakkan kepalanya seolah dengan begitu Tuhan ada dan sedang bercokol di mana pandangannya terarah seraya menjawab setiap hal yang dikeluhkannya. Sayangnya tidak: langit-langit kamar tetaplah langit-langit kamar, kanopi pohon tetaplah kanopi pohon. Walaupun begitu, ia tetap yakin ada Tuhan, ada yang mendengar doanya meski wujudnya tak terlihat. Ia kemudian memperbaiki posisi duduknya di atas ranjang tersebut sambil berkali-kali menghela napas. 

“Aku ada maka Tuhan ada. Masalah ada maka solusinya juga ada. Jin bisa masuk ke tubuh manusia, maka ia juga bisa keluar, tentunya dengan izin Tuhan.” Ia berbicara dengan dirinya sendiri. Sejenak kemudian, ia tersenyum sinis sambil menatap layar ponselnya. Jari-jarinya lincah mengusap naik-turun, klik sisi kanan-klik sisi kiri. Perlahan wajahnya menjadi murung, lebih murung, lebih murung lagi, lalu ponsel itu dihempaskannya ke ranjang. 

Gadis itu keluar kamar, berbelok ke kanan ke ruang tamu, terus berjalan ke luar sampai ia tiba di pekarangan kecilnya. Di sana, di antara begonia, kaktus, kembang sepatu, dan lidah buaya, ia berdiri sambil berkacak pinggang seolah ada yang salah pada tanamannya.  Lalu ia jongkok ke rumpun lidah buaya. Di antara tanaman itu ada satu tanaman dengan duri di setiap tangkai daunnya. Ia meraba daun tanaman tersebut, memperhatikan bentuk daunnya, warna permukaan daun bagian atas lalu bagian bawahnya, lalu memeriksa ketajaman durinya yang menurutnya sangat tajam. Belum sepenuhnya yakin, ia menjulurkan kedua tangannya, meraba polybag. Dan ternyata tidak dibutuhkan dua tangan untuk mengangkatnya. Ia terhenyak. Tanaman itu berada dalam polybag yang sangat kecil, sudah tidak sesuai dengan tingginya. Lalu seakan merasa pemandangan itu berkaitan dengan kehidupannya, ia merasa kasihan berlebih melihat media tanam tersebut. 

Tetapi kemudian tanaman itu ia tinggalkan begitu saja. Gadis tidak lagi ada di pekarangan. Ke mana ia pergi? Di bagian ini sebelum kita melanjutkan ceritanya, kalian pembaca boleh berspekulasi di mana ia berada saat ini, apa saja yang dilakukannya, dan kenapa ia membiarkan tanaman tersebut begitu saja.

Jangan kesal, kenapa ada penulis macam saya yang seperti enggan bercerita. Sungguh, saya hanya ingin memberi jeda untuk kalian melatih pikiran. Bukankah hal ini sudah sering kalian lakukan? Jadi melakukannya sekali lagi bukan perkara yang berat. Cuma berpikir dan tidak ada yang bisa melarang kalian. 

“Mama sudah tanya penjualnya, itu bidara apa?”  Gadis kita sedang mencari kebenaran.

“Ya, katanya itu bidara arab. Sama seperti yang kamu mau.”

“Mama yakin penjualnya tidak bohong, tidak berniat membodohi-bodohi, ‘kan?”

“Ya, Sayang.”

“Baiklah, terima kasih, Ma.”

“Ya, Sayang.”

Gadis itu berjalan memasuki kamarnya. Ponsel yang tadi dihempaskan kembali ia ambil. Untuk sejenak, ia duduk di ranjang sambil menunggu ponsel itu menyala, menampilkan gambar langit biru dengan awan putih. “Langit cerah adalah langit yang diimpikan banyak orang, namun ada sebagian orang yang merindukan langit mendung.” Ia membaca kalimat itu, yang sebetulnya isinya sudah ia ketahui tanpa melihat, sebab ia sendiri yang membuat wallpaper tersebut tempo hari. Kadang ya itu, ada hal yang sudah pasti tetapi masih perlu pengecekan biar lebih yakin. Seperti yang akan dilakukan gadis kita ini lagi.

Setelah ponselnya menyala, ia mengusap layar tersebut, mengkliknya beberapa kali, lalu muncullah puluhan gambar tanaman. Gadis kemudian keluar kamar lagi, melewati ruang tamu lagi, lalu ke pekarangan lagi. Hal yang semestinya tidak perlu dilakukannya bila tadi ia membawa ponsel tersebut bersamanya. Sampai di bagian ini, kalian menganggap karakter gadis kita ini bagaimana?

Di pekarangan itu, ia kembali berkacak pinggang dengan tangan kanannya. Tangannya yang lain memegang ponsel dengan tampilan puluhan gambar tanaman. Matanya berpindah-pindah dari tanaman yang di hadapannya ke layar ponsel. Masih tidak yakin, gadis itu berjongkok, sama seperti tadi yang dilakukannya ketika sedang mengamati tanaman. Beberapa menit kemudian, barulah kepalanya mengangguk, seolah ia sudah setuju kalau memang tanaman itu adalah tanaman bidara. 

“Bidara itu berduri. Durinya tajam. Durinya panjang.” (*)

Sulawesi, 15 Septermber 2021

Nining Kurniati, seorang perempuan yang hanya ingin menjadi baik.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply