Bidadari Senja (Bag 1)

Bidadari Senja (Bag 1)

Terlihat senja melintas berselendang mega-mega, berumbai, teduhi dataran jingga cakrawala sebelum tirai sang raja diturunkan. Rintik-rintik air mendendangkan melodi indah kidung hujan sedari pagi buta.

Pria itu masih di sana, berdiri menyepi di balik pohon rambutan. Bersenda gurau bersama semut-semut hitam. Yang dilakukannya hanya satu. Menunggu.

Mungkin, simfoni yang bernyanyi di relung hati bukanlah bagian dari kebahagiaan sejati. Fauzan bertanya-tanya. Bolehkah ia memiliki rasa ini untuknya?

Gadis bermata ember jernih. Pencuri hatinya. Penjajah mimpinya. Sosoknya senantiasa berkelindan di kepala.

Fauzan menenggelamkan asa yang hendak ia siangi menjadi cita-cita. Meminang seorang anak kyai? Apa yang akan dilihat dari manusia sampah sepertinya. Yang bahkan tak mengenal nama huruf-huruf hijaiyah? Bersanding dengan seorang hafidzah, mahasiswi pentolan Kota Yaman. Dia pasti bercanda!

Sudah fitrahnya, laki-laki bajingan sepertinya sekalipun menginginkan bersanding dengan permen yang dibungkus dibandingkan menikmati permen yang telah hilang dan terlepas bungkusnya. Tetapi Naura, gadis itu begitu jauh dari jangkauannya.

Fauzan memandang nanar. Kapan ia dapat bersanding bersama wanita sebaik Naura?

Tembok pun ia tatap iri, karena dinding-dinding itu dapat bertemu langsung dengan bidadarinya setiap hari. Merasa iri pada sandal yang merasakan lembut pijakan kakinya yang penuh keberkahan. Merasa iri pada baju yang melekat merasakan kehangatan dekapan tubuhnya. Merasa iri pada kerudung yang merasakan lembutnya sentuhan surai indahnya.

Setiap hari, tak jemu ia mengkayuh sepeda menyusuri jalanan tak mulus sejauh sepuluh kilometer, hanya untuk menghabiskan waktu menatap tembok penghalang yang berdiri kokoh menjulang tinggi. Kahyangan milik bidadarinya.

Fauzan bukan tak tahu, bahwa penghalang itu hanya akan terbuka setiap setengah bulan sekali, pada saat itulah bunga-bunga bermekaran di puncak hatinya. Serabut akar keingintahuan yang menjeratnya untuk terus kembali dan kembali. Sampai orang-orang menyadari keunikan kisah cinta bertepuk sebelah tangan Fauzan.

“Dasar Majnun!”

Orang-orang dibuatnya geleng kepala. Fauzan berkilah bahwa ia masih sangat waras. Di samping perasaan rindu yang membiru membuatnya kehilangan kewarasan secara perlahan.

“Aku tak majnun!” tegasnya, sembari menyembunyikan tanah pondok dalam botol plastik sehabis dilewati sang bidadari di belakang punggungnya.

Bersambung ….

Heuladienacie:

Penyuka anime, wibu yang berkeinginan jadi penulis sejak kecil.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply