Bidadari Ilahi

Bidadari Ilahi

Bidadari Ilahi

Oleh: El-Rash

Jam tanganku menunjukkan pukul 09.15. Sepoi bayu terus berlari-lari kecil di telinga, mengikuti putaran roda bus yang aku tumpangi. Terkadang aku menoleh dari balik jendela, melihat tarian-tarian pepohonan yang menghiasi melodi perjalananku saat itu. Sesaat aku menengadah pada langit dan berharap kesejukan menyelimuti kalbu. Tapi salah, malah hujan yang turun bersama gemuruh dan petirnya.

Selang beberapa jam menikmati cucuran rintik hujan dari balik kaca, sampailah pada saat di mana Tuhan menurunkan bidadari berkerudung merah dengan ketajaman matanya yang menusuk hingga menembus ke dalam hati, bersama pelangi yang melengkung di atas sana. Tiba-tiba aku teringat kisah Jaka Tarub yang mencuri salah satu selendang bidadari dan kemudian menikahi pemiliknya. Ingin juga rasanya aku membawa ia pulang menghadap Bapak Ibu di rumah. Namun, tak sampai kubawa, aku sudah terbangun dari lamunan.

“Mas, boleh saya duduk di sini?”

Seketika nadiku bergetar tak keruan. Kamu tahu rasanya ikut lomba lari maraton? Ya, seperti itu yang aku rasakan saat itu.

“Mas, ditanya kok malah bengong?”

Seketika wanita berkerudung merah dengan jaket biru yang menutupi tubuhnya, lagi-lagi menghempas jauh lamunanku untuk kesekian kalinya.

“Oh ya, boleh kok, boleh. Silakan,” nada gugup jelas-jelas terdengar saat aku mempersilakannya duduk di sampingku.
Diam seribu kata, hal yang sedang aku alami saat itu. Rasa malu dan rasa ingin tahu melebur dalam kebisuan ditemani rintik-rintik hujan sore itu.

***

Lima belas menit lenyap dalam kebisuan, mengalir bersama linangan hujan, menyisakan rasa penasaran untuk sekadar berkenalan dengannya.

“Mau ke mana, Mbak?” kucoba mencairkan suasana, meski saat itu masih diguyur hujan. Kubilang aja Mbak, meski aku tahu dia masih lebih mudah dariku.

“Ke Malang, Mas,” dia mencoba menjawab sapaanku sambil mencuri pandang ke arahku.

Astaga … betapa dag-dig-dugnya hati ini ketika mendengar suaranya yang mengalun merdu di gendang telingaku.

“Suaminya mana, kok sendirian?” kata itu terasa spontan keluar dari mulutku, karena terbiasa guyon dengan teman-teman.

“Ih, enak aja … masih muda gini udah ditanyain suami!” terdengar jelas dari responsnya bahwa ia merasa terganggu dengan pertanyaanku.

“Hehehe … ya, kali aja Mbak udah ada yang punya gitu.” Lagi-lagi sifatku yang satu ini sulit ditahan kalau sudah lihat yang bening-bening.

Setelah bercakap-cakap cukup lama, akhirnya suasana yang dari tadi terasa dingin seketika terasa hangat dalam obrolan membingkai tubuhku.

“Sampai lupa, Mas namanya siapa?”

“Mahendra Alonso, tapi biasa dipanggil Lo.”

“Oalah … saya Naila Agustin, biasa dipanggil Nana.”

Naila Agustin, nama itu terus menerus menari di atas gendang telingaku, kemudian melebur bersama darah dan melilit tubuh ini.

***

Tawa dan senyuman sudah semakin mencair bersama obrolan yang menghabiskan waktu berjam-jam, namun tak begitu terasa bagiku. Karena dia. Ya, karena aku sudah mulai mengenal tentangnya.

Deg!

Kepalanya bersandar ke dadaku. Seketika aku terkaget. Rupanya bus yang aku tumpangi bannya bocor.

“Maaf, Lo. Aku gak sengaja,” ucapnya karena merasa telah menggangguku.

“Tak apa kok, Na. Sengaja juga tak apa…,” jawabku sambil tersenyum.

Akhirnya kerena bus yang aku tumpangi harus diperbaiki, aku mengajak Nina untuk makan dulu, kebetulan ada warung makan. Suasana pun semakin indah dalam kebersamaanku dengannya. Inikah yang dikatakan cinta pada pandang pertama? Ataukah hanya apa? Entahlah, aku tak terlalu memikirkan itu. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana membuat Nina nyaman dan tidak merasa ilfill saat bersamaku.

Cahaya Ilahi kulihat tergambar dalam netranya, terlinang dalam canda tawa berlebur suka. Sepertinya Nina memiliki perasaan yang sama denganku, terlihat dari caranya tertawa saat kami mengobrol.

Selesai sudah, akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan. Kembali duduk berdampingan disaksikan pohon-pohon di jalanan yang terkadang melambai ke arahku.

***

Lebih dari satu jam dari tempat makan tadi, aku pun harus turun, karena arahku dengan Nina berbeda.

“Terima kasih, Lo, buat makannya,” ucapnya sebelum aku beranjak turun dari bus.

“Ah kamu, bisa aja. Malahan aku yang makasih karena kamu udah mau nemenin aku makan,” jawabku seraya mengambil tas di bawah kursiku.

“Hati-hati di jalan. Sampai jumpa, bye….”

Lambaian tangannya membuatku terpukul, karena itu menandakan perpisahanku dengannya. Tak sempatlah Jaka Tarub mengulang ceritanya.

“Astaga, aku lupa. Aku kan, belum minta nomor handphone-nya,” gumamku sendiri menyesali kesalahan terbesar dalam hidupku. “Ya sudahlah, foto di warung tadi sudah cukup memberiku kenangan hari ini.”

Aku menyusuri lorong menuju masjid untuk bersyukur kepada Tuhan atas kiriman bidadari-Nya.(*)

 

El-Rash, kelahiran Sumenep pada tanggal 05 April 1998. Merupakan salah satu mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah di salah satu kampus pesantren di Sumenep. Mulai mengenal dunia tulis-menulis sejak di bangku sekolah dasar, namun baru menekuninya sejak awal tahun 2018. Sebuah perjalanan pendek yang mengajarkan bahwa jangan pernah mengatakan tidak sebelum kita mencoba.

FB: Ach Faisol & El-Rash
IG: achfaisol01
WP: achfaisol
Email: achfaisol01@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita

Leave a Reply