Bidadari Beraroma Kertas

Bidadari Beraroma Kertas

Bidadari Beraroma Kertas

Oleh: Retno Ka

 

Tuhan sudah benar, tidak mempertemukan kita sampai lama ini. Hidup rasanya tenteram dan membuatku jadi lebih produktif. Baru lima tahun saja, aku sudah bisa membuka laundry dengan tujuh orang pegawai di dalamnya. Tidakkah ini luar biasa?

Sialnya, duniaku yang tenteram harus porak-poranda dalam seketika. Tuhan kembali membawamu ke hadapanku. Malam hari saat aku telah bersiap di pembaringan, kau menghubungiku melalui sambungan telepon.

“Aku dapat nomormu dari Mak Iya.”

Begitu penuturanmu di seberang sana, membuat kantukku buyar. Bersusah payah aku mengganti nomor, pada akhirnya tetap bocor juga oleh ibuku sendiri.

“Kamu pasti sukses, ya, di sana? Sampai lupa sama aku.”

“Lebih baik kamu jangan basa-basi. Sudah malam.”

“Baru juga pukul sembilan. Apa karena sekarang jadi wanita sibuk jadi semuanya harus teratur, ya? Makan jam segini, tidur jam segini. Ha–ha–ha.” Kau tergelak sangat lama. Benar-benar tak berubah, caramu tertawa yang harus sampai tuntas itu.

Malam itu memang aku sudah berencana tidur lebih awal. Seusai lebaran membuat laundry jadi ramai. Orang-orang menaruh lebih banyak pakaian kotor dari biasanya. Aku ikut turun tangan menangani baju-baju itu, karena pegawaiku baru masuk tiga orang, selebihnya masih mengambil cuti. Mereka ada yang menikah, juga berlibur ke sanak saudara yang jauh. Libur lima hari tentu masih kurang bagi mereka. Tak masalah, aku yang memutuskan sendiri kapan laundry harus dibuka, semua konsekuensi sudah kuterima. Namun, tidak berarti kau bisa seenak jidat mengata-ngataiku begitu rupa!

“Aku bilang kau jangan ba–”

“Diang, kau masih ingat Amala?”

Hawa dingin serta-merta merebak di tubuhku saat itu. Beraninya kau, menyebut namanya bahkan sebelum menanyakan kabarku. Sungguh tidak tahu sopan santun!

“Apa kau percaya saat aku berkata mencintai Amala?”

Aku bergeming.

“Diang …?”

“Iya, aku dengar.”

“Aku tanya … apa kau percaya?”

“Kamu cinta dia, ya, cintai saja. Apa pentingnya ada orang yang percaya atau tidak?”

“Aku akan menikahinya.”

Detik itu, aku seakan-akan tak merasakan detak jantungku lagi. Kau menyampaikan semua informasi itu padaku, maknanya kau masih menganggap keberadaanku tapi tidak peduli dengan perasaanku. Entah aku harus senang atau marah.

“Kau gila?!”

“Ini kenapa tadi aku tanya apa kau percaya.”

“Cinta dan menikah dua hal berbeda.”

“Iya, benar. Datang, ya, nanti aku ceritakan.”

“Kenapa aku harus datang?”

“Karena kau sahabatku.”

Hm.” hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.

Aku langsung mematikan ponsel setelah itu. Tidak peduli lagi jika pada akhirnya kau mencurigaiku sedang cemburu. Itu memang harapanku sejak dulu. Andai saja itu yang terjadi, aku pasti akan dengan lantang mengaku.

“Ya, aku cemburu! Mau apa kau? Aku menyukaimu, mungkin sejak di dalam perut, saat ibu kita saling menyapa untuk pertama kali di Posyandu.” Sungguh, aku akan mengatakan kalimat yang selalu kurapal kepada dinding-dinding kamarku yang dingin itu andaikata kamu menuding. Namun, jangankan untuk menuding, sedikit kecurigaan pun tak pernah kutemukan di gurat wajahmu. Dalam hati aku kerap bertanya, apakah selama ini kamu benar-benar mengenalku?

Kita selalu duduk di bangku yang sama sejak taman kanak-kanak. Melakukan semuanya bersama. Aku pernah berharap ingin menjadi sahabatmu selamanya, tapi kemudian kutahu itu tak akan terjadi sejak merasakan ada yang tak beres dengan diriku. Entah kapan tepatnya, mendadak saja darahku berdesir dengan kederasan tak biasa saat berada di dekatmu.

Aku sudah berusaha menghindarimu semampunya. Namun, kau sungguh menyebalkan. Kau selalu mengikuti ke mana pun aku pergi. Ke kantin, ke aula sekolah, bahkan ke perpustakaan—tempat yang paling kau hindari.

Aku sempat mengira jika kau memiliki perasaan yang sama denganku. Bermula dari semua sikapmu yang aneh. Setiap kali kau tahu ada seorang siswa yang menaruh hati kepadaku, kau akan berlagak memanas-manasi mereka dengan sengaja berjalan sambil menggandeng tanganku ketika kita melewati mereka. Bukankah itu jadi seperti peringatan tak tertulis bagi mereka, bahwa Diang hanya milik Hanggar seorang? Aku sengaja membiarkanmu berbuat hal kekanak-kanakan itu sebab siapa tahu, hubungan kita memang sebenarnya sudah lebih jauh dari sekadar sahabat. Hanya, memang tak perlu ada embel-embel saling mengungkapkan perasaan sebagaimana kebanyakan orang.

Dulu, jujur saja, aku memang penganut paham cinta bukan terletak pada ucapan, melainkan tindakan. Dan tentu, pada akhirnya aku tahu bahwa pendapat itu memang seratus persen benar, hanya tidak berlaku untukku.

Kau menggugurkan semua harapan yang kau tanam sendiri. Kelas dua belas SMA, di kantin, saat makan bakso pada istirahat jam kedua, aku mencatat tebal-tebal kejadian itu. Bagaimana lemasnya tubuhku, bagaimana waktu seakan-akan berhenti.

“Diang–”

“Ya, Hang.”

“Amala cantik, ya?”

Sepotong bakso yang belum sempat kukunyah nyaris melesak masuk ke saluran pernapasanku saat itu. Namun, kau segera menepuk punggungku, dan mendekatkan segelas es teh untuk kuminum setelah bakso itu meloncat keluar dari mulutku. Saat itu, semuanya jadi masuk akal. Tentang mengapa seorang Hanggar tiba-tiba menjadi begitu rajin bolak-balik ke tempat fotokopi. Kau maju paling dulu jika guru kita memberi tugas untuk menyalin buku paket pelajaran untuk dibagikan ke seluruh siswa. Kau bahkan berkali-kali ke tempat itu hanya untuk membeli alat-alat tulis yang sebenarnya sudah kau miliki. Penggaris, pulpen, tipe-ex. Ketika kutegur, kau selalu berlagak bodoh dengan menjawab sekenanya.

Setelahnya, kau jadi gencar sekali membahas Amala. Tidak canggung, tidak pula kikuk. Katamu, dia adalah bidadari beraroma kertas. Tiap hari bergumul dengan kertas-kertas, tentu tidak salah jika tangannya jadi bau seperti itu. Akan tetapi, menganggapnya sebagai bidadari sangatlah berlebihan. Secantik bagaimanapun, kenyataannya kini dia hanyalah istri orang. Lalu, hal apa yang akan kau ceritakan padaku, mengapa kamu terang-terangan bilang akan menikahinya? Mereka sudah bercerai? Aku tak ingin tahu sebenarnya.

Satu hal yang pasti, adalah pada malam saat kau menghubungiku malam itu, hatiku rupanya belum sembuh dari menggilaimu. Aku menangis seperti orang gila, sampai pagi dan tak tahu jam berapa tepatnya saat pada akhirnya aku terlelap. Bukan main, rupanya aku tertidur di lantai dapur. Bunyi ketukan pintu berulang-ulang yang membangunkanku. Aku tak segera bangkit saat mendengarnya, karena tubuhku yang terasa remuk di semua bagian. Semula aku berencana untuk tidur sampai suara ketukan itu berhenti sendiri. Namun, yang ada justru aku tak bisa lagi melanjutkan tidur karena kebisingan. Sial, sial, sial!

Aku terpaksa bangun. Berjalan terseret-seret lalu membuka pintu. Seseorang mengulurkan sesuatu padaku dengan tangannya yang kurus. Aku tak melihat wajahnya dengan jelas, semata-mata sebab penglihatanku yang buram. Aku tak terpikirkan mengambil kacamataku.

“Siapa?”

“Nganterin undangan.” Dari suaranya, ia lelaki.

“Ah, ya, ya. Makasih.”

“Sama-sama.”

Aku menutup pintu, lalu duduk sekenanya di sofa. Apa orang lelaki tadi bilang? Undangan? Astaga! Demi mengingat pembicaraanmu malam itu, aku melempar kertas undangan yang kupegang. Aku benar-benar ingin pulang ke kampung, lalu marah-marah pada ibu. Sebab tak salah lagi, pasti Ibu pula yang sudah memberi tahu alamat rumahku padamu.

***

Aku selalu berdoa kepada Tuhan, agar hanya mempertemukanku denganmu jika kita berjodoh saja. Jika tidak, aku bersedia untuk menyimpan kerinduan hingga akhir hayat. Aku ingin mencintaimu dengan tenang, tanpa disertai rasa ingin membunuh dan sebagainya. Jika perasaanku harus berakhir, maka ia harus bersih tanpa noda-noda benci. Apakah surat undangan yang kau kirimkan adalah sebuah tanda atas terkabulnya doa-doa itu? Jika memang begitu, seharusnya aku tidak perlu untuk datang ke pernikahanmu. Toh, yang penting aku sudah dapat peringatan dari Tuhan bahwa kau bukanlah jodohku. Namun, segala hal seolah-seolah tak pernah bisa sederhana. Aku masih saja dilema, masih saja pusing, masih saja kesal.

“Baiklah. Ini yang terakhir. Aku pastikan.” kataku pada cermin.

***

Di sinilah aku sekarang. Ruangan serba putih dengan berbagai hiasan dan bunga melati.

“Sudah lama sekali, ya.” Kau berujar, dan menatapku dengan wajah itu.

Kau mungkin sudah berubah jadi pria dewasa, mungkin akan dipanggil ayah tak lama berselang. Akan tetapi, di mataku, kau masih bocah ingusan dengan wajah dan tubuh gosong karena sengatan matahari. Ini mungkin jadi terdengar seperti aku adalah ibumu.

“Selamat, akhirnya kau akan menikahi Bidadari Beraroma Kertas.”

“Kau masih ingat itu, Diang?”

“Kau mengatakannya hampir setiap hari.”

Kau tergelak. “Aku juga tak menyangka.”

Tak lama, ibumu datang. Aku mencium tangannya, lalu memeluknya sangat lama.

“Semoga kamu segera nyusul, ya, Sayang,” ujar ibumu.

Aku tersenyum. Ibumu mengajakmu keluar karena penghulu sudah siap. Namun, sebelum kamu melangkah, kamu berbalik dan berbisik di telingaku.

“Maafkan aku, ya, Diang. Aku sudah terlalu sering menyakitimu, ‘kan?”

Pertahananku runtuh mendengar itu. Sebenarnya aku malu sekali, harus menangis di depan ibumu apalagi para tukang rias itu. Takut mereka berpikir macam-macam, meskipun itu sebuah kebenaran. Namun, aku sungguh tak bisa lagi mengendalikannya.

Ijab kabul begitu lancar kau ucapkan. Aku jadi curiga, jangan-jangan kau sudah belajar menghafalnya sejak sepuluh tahun silam. Di sampingmu, Amala cantik sekali dengan gaun putih itu. Jika putrinya yang berusia tujuh tahun itu tidak ikut duduk di sana, para tamu undangan mungkin akan berpikir bahwa Amala masih seorang gadis. Dia bahkan terlihat jauh lebih muda darimu. Sepertinya, aku jadi setuju jika kau menyebutnya sebagai bidadari.

Kau tersenyum saat melihatku, lalu kau berbisik kepada perempuan yang sudah resmi jadi istrimu itu. Setelah itu, Amala ikut tersenyum dan melambaikan tangan ke arahku. Aku tentu saja membalas senyumannya.

“Dianggi Rahmaya?” Tiba-tiba seseorang yang duduk di sampingku bertanya. Lelaki dengan kemeja batik berwarna biru. Putih, tinggi dan hidungnya runcing. Mungkin usianya beberapa tahun lebih muda dariku. Aku seperti tak asing dengan suaranya, tapi aku tak merasa pernah mengenalnya di mana pun.

“Kau mengenalku?”

“Aku yang tempo hari mengantar undangan.”

“Ah, begitu.” Sejujurnya aku ingin kabur saja, mengingat betapa memalukannya penampilanku saat itu. Rambut acak-acakan juga mungkin bau air liur. Astaga!

“Kemarin kebetulan aku di kota, jadi dimintai tolong Mas Hanggar untuk mampir sekalian.”

“Oh.”

“Aku adiknya Mbak Mala.”

Aku baru tahu Amala punya adik. Seingatku, dia hanya bersama dengan suaminya saat di fotokopi dulu.

“Namaku Rib.” Dia mengulurkan tangannya kepadaku.

Aku hanya memandangi tangan itu hingga beberapa jenak sebelum akhirnya menyambutnya. “Aku Diang.”

“Iya, aku sudah tahu.” Bibirnya merekah, membuatku kian tak berkutik.

Betapa aku baru tahu, ternyata ada senyuman yang lebih manis dari senyummu. (*)

 

Jepara, 15 Desember 2021

 

Retno Ka. Ibu dari seorang anak lelaki. Suka menulis dan tidak tahan gelap.

 

Editor: Dyah Diputri

Pict. Source: https://pixabay.com/id/illustrations/wanita-menulis-kantor-kantor-kerja-5835657/

Leave a Reply