Bibir, Sampah, dan Kebebasan

Bibir, Sampah, dan Kebebasan

Bibir, Sampah, dan Kebebasan

Oleh : Rainy Venesiia

 

Sudah tiga hari Tita tak muncul di depan pintu dengan senyumnya yang lebar atau bola matanya yang berputar seperti bola mata penari saat menarikan tari pendet. Kadang wajahnya ditekuk, meskipun hal yang satu ini sangat jarang terjadi. Yang lebih sering dan ini yang justru menempel di kepalaku, adalah bibir kering dan pecah-pecah yang selalu bergerak ke depan saat menceritakan seseorang yang dia temui tadi pagi di tukang sayur. Tita adalah gerakan bibir itu dan gerakan bibir itu adalah Tita. Tanpa gerakan bibir yang bagiku sangat lucu dan menarik itu, dia bukanlah siapa-siapa. Bahkan mungkin saja dia tak akan pernah kukenali jika bertemu di suatu tempat. Seperti hari ini, kami bertemu di alun-alun yang tetap ramai meskipun anjuran tidak boleh berkerumun tiap jam tayang di televisi.

Dia memanggilku dan meraih tanganku, menanyakan kabarku dan keluargaku. Aku menatapnya cukup lama dan tertawa ketika dia menyebutkan namanya. Beruntunglah dia tipe wanita yang lebih tertarik pada cincin di jari temannya, atau paket yang datang ke rumah sebelahnya. Dia bukan tipe orang yang akan tersinggung jika sahabat atau bisa jadi kerabatnya lupa padanya. Sama sekali dia tak akan mempermasalahkan hal seperti itu. Seperti saat ini, matanya langsung melotot pada baju yang kupakai.

“Senengnya bisa seperti Nyonya, gak perlu repot mencari uang seperti saya ini,” katanya sambil memperlihatkan kantung keresek hitam di tangannya. Lantas, berceritalah Tita tentang kepergiannya dari rumah, meninggalkan tiga bocah lelaki yang usianya berdekatan. Paling besar mungkin berusia delapan tahun. Bocah-bocah itu tinggal bersama neneknya di kontrakan yang hanya terdiri dari satu kamar berukuran tiga meter persegi. Suaminya belum pulang sejak tiga bulan lalu berangkat ke Lampung. Katanya, suaminya belum pernah mengirimkan uang sama sekali dan tak bisa dihubungi. Sebenarnya pernah kudengar bahwa suaminya pergi lantaran tak tahan dengan tingkahnya yang boros. Aku merasa geli saat ibu mertua Tita berkata seperti itu.

“Jadi kamu sekarang tinggal di mana?” tanyaku setelah Tita selesai menjelaskan padaku bahwa dia tak tahan dengan ibu mertuanya yang selalu menuduhnya pemalas, hanya menadah tangan pada suami. Dia nekat pergi di suatu subuh setelah ibu mertuanya melemparnya dengan piring berisi nasi sisa kemarin yang akan dia goreng sebagai bakal sarapan anak-anaknya. Aku bilang padanya bahwa semua sudah mafhum bahwa ibu mertuanya sudah pikun, tapi tenggorokanku terasa seret, tak bisa menyuruhnya untuk bersabar. Aku tak mungkin memintanya bersabar setelah dia membuktikan bahwa dirinya lebih sabar dariku, dari teman-temannya, dan dari seluruh istri di lingkungan kami. 

“Kamu tidak kasian sama anak-anakmu?” tanyaku sangat hati-hati. Aku baru sadar sisi lain dari sosok Tita. Kali ini aku tak melihat bibir yang selalu bergerak ke depan darinya. Bibir itu bergetar saat dia bilang menyesal telah mengabaikan ketiga anaknya. Dia khilaf, katanya. 

Aku memandangi wajahnya yang tegak, matanya menatap lurus ke depan, bibirnya tersenyum. Aku penasaran apa yang membuatnya tersenyum seperti itu hingga tampak manis sekali, dan aku tertegun melihat dua bocah lelaki sedang bermain bola bersama ayahnya. Ibunya terdengar riuh berteriak-teriak memberi semangat memanggil nama bocah-bocah tersebut. Aku berpaling pada Tita. Aku kaget melihat dia masih tersenyum sementara air mata meleleh di pipinya.

“Pulang bersama Ibu, ya.”

Tita menoleh. 

“Anak-anak pasti merepotkan Ibu, ya?”

“Tidak sama sekali. Anak-anakmu sangat manis. Mereka sangat membantuku dan Bapak. Kamu tahu bukan, pinggangku sudah semakin rapuh, sering sakit. Tak bisa nyuci piring lagi.”

“Saya tidak tahu jika tak ada Ibu.”

“Sudahlah kita pulang saja. Kamu pasti kangen kan sama mereka.” Aku menepuk pundaknya dan merangkulnya. Kuizinkan dia menangis di pundakku agar dadanya plong. Aku tahu setiap wanita hanya butuh tempat untuk menangis, butuh waktu untuk merasakan kebebasan—bebas dari pemandangan anak-anaknya yang sangat kekurangan. Dan setelah itu, ia akan merasakan bahwa dirinya baik-baik saja. 

“Cincin Nyonya baru lagi ya?” 

Aku tertawa. Seperti yang pernah kubilang bahwa bola mata yang berputar dan bibir yang selalu bergerak ke depan itu, bagiku sangat lucu dan menarik. Aku menikmati keseruan ini, saat dia bersemangat menceritakan bahwa cincin baru Nuri yang besar dan bermata hijau yang pernah jadi bahan rumpiannya dan kawan-kawannya ternyata terbuat dari emas palsu. Dia terus bercerita seperti dulu, seperti tiap sore saat datang ke rumahku menawarkan tenaganya. Dia tampak bergembira seolah-olah dukanya yang barusan tumpah di depanku sudah menjadi sampah yang tak layak dipungut lagi, menjadi sangat tak berharga dibanding sampah-sampah yang berserakan di gang-gang menuju rumah kami. (*)

Bandung, 17 Januari 2021

 

Rainy, perempuan yang selalu bahagia.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply