Bibir Indah Berwarna Merah Muda
Oleh : Anasera Pratista
“Aku cinta kamu.” Gambar hati kutambahkan pada wajah lelaki berlesung pipi itu. Senyumnya menawan dan selalu membuat aku mabuk kepayang. Ada yang berdesir saat pandanganku mengarah pada bibirnya. Bibir itu seolah mengundangku untuk datang, lalu melumatnya hingga tak bersisa. Manis.
Masih teringat jelas saat awal kami bertemu. Malam itu sepulang dari mengajar les privat, sebuah mobil dari arah berlawanan melaju dengan kecepatan tinggi dan berhasil membuatku terpental. Sepedaku rusak, untungnya tubuhku terjatuh di pinggir trotoar.
Tak terbayang jika aku terjatuh ke arah jalan raya. Mungkin saja saat ini aku sudah mati karena ditabrak mobil dari belakang. Lecet dan kaki yang membentur beton di trotoar membuatku susah untuk berdiri. Sialnya, pengendara mobil terus melajukan kendaraannya, tak memedulikan aku. Dasar setan!
“Kamu gak papa? Sini aku bantu.”
Kepalaku mendongak saat mendengar suara disusul dua telapak tangan yang menjulur ke arahku.
Ya Tuhan, apa ini malaikat yang kau turunkan untukku? Sungguh, aku belum pernah bertemu lelaki setampan ini. Wajahnya bersih, tidak putih, tapi tidak juga gelap. Hidungnya mancung dengan mata yang teduh.
“Eh-eh terima kasih.” Setelah membetulkan letak kacamata, tubuhku dipapah lelaki itu menuju bangku tak jauh dari tempatku terjatuh tadi.
Bukan hanya itu, malaikat tampan itu juga mengantarkan pulang setelah menitipkan sepedaku pada bengkel di ujung jalan. Berada dalam boncengannya membuat jantungku berdegup kencang.
“Auh ….”
“Ada apa?”
”Gak papa. ”
Aku tersenyum saat mengelus tangan kiri yang sengaja kucubit demi memastikan yang terjadi saat ini bukanlah mimpi. Ya Tuhan … rupanya ini nyata.
***
Setelahnya aku tak pernah bertemu kembali dengan lelaki itu. Sudah beberapa kali aku sengaja mengitari jalan tempat kami dipertemukan, tapi hasilnya … nihil.
Setiap detik, wajah tampan, senyum menawan, dan kepeduliannya kepadaku selalu memenuhi angan. Ada sedikit sesal, kenapa saat itu aku tak menanyakan namanya.
Pagi ini aku menyiapkan sarapan lebih banyak. Siska, kakakku yang bekerja di ibukota, akan pulang. Pasti dia lapar setelah melalui perjalanan yang cukup panjang.
Suara bel pintu menghentikan gerakan tanganku mencuci peralatan masak yang kotor. Setelah mencuci tangan, kuraih lap kain di meja, memastikan tangan kering dan bersih sebelum beranjak ke luar membukakan pintu.
“Kakak!” teriakku gembira menyambut orang yang kutunggu sedari tadi.
Setelah berangkulan sesaat, kutarik tangan Siska untuk masuk ke dalam. Aku ingin mendengarkan bagaimana serunya kehidupan dia di ibukota. Kami duduk menghadap meja makan yang di atasnya sudah terhidang masakan kesukaan kakakku: ayam bumbu rujak dan tumis kangkung. Aku ingin mendengarnya bercerita sambil sarapan bersama.
Baru beberapa suapan, bel pintu berbunyi kembali. Siska tersenyum setelah melihat ponsel di tangannya. Dirinya segera berlari menuju pintu.
Selang berapa menit, Siska kembali ke ruang makan dengan menggandeng seorang lelaki. Napasku tercekat, melihat malaikat tampan itu tampak mesra merangkul saudariku. Bagaimana Siska bisa mengenal lelaki itu?
Aku berusaha tersenyum, berharap lelaki itu mengingatku. Menurut penuturan Siska, lelaki itu teman dekatnya saat di ibukota.
Lelaki itu tersenyum, mengulurkan tangan, dan menyebutkan namanya. Sam, nama malaikat tampan yang sudah beberapa minggu ini mengisi mimpi-mimpiku. Sepertinya dia memang lupa, atau mungkin malah tak pernah menyadari pernah menolongku malam itu.
Aku mencoba menahan diri, meneruskan sarapan yang kini terasa hambar di lidah.
Tak kuasa menahan sesak di dada, aku pun beranjak ke kamar. Air mataku luruh, mengingat saat di meja makan tadi sepasang manusia itu saling melempar pandang dengan tangan yang saling berpegang erat. Menyakitkan!
Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada lelaki yang menjadi kekasih kakakku sendiri? Kenapa lagi-lagi harus aku yang kalah?
Setelah kejadian itu, Sam mulai sering datang ke rumah menemui Siska. Terkadang dia juga menginap. Aku berusaha menahan diri saat telingaku menangkap desahan dan lenguhan dari kamar sebelah. Kamar Siska.
Hingga suatu malam ….
“Kenapa kamu kemari?”
“Hanya ingin bertanya, kenapa kamu selalu menghindariku?”
Lelaki itu semakin mendekat. Detak jantungku semakin tak keruan saat lelaki itu mulai melangkah mendekatiku. Kini, bahkan aku dapat mencium aroma tubuhnya. Paduan aroma mint dan citrus memenuhi rongga penciumanku. Keringat dingin mulai membasahi kening. Tubuhku mendadak layu seakan tak bertulang saat jarak kian terkikis
Ya Tuhan … apa yang harus aku lakukan?
Entah bagaimana awalnya, malam itu sang malaikat tampan berubah menjadi setan, yang dengan beringas menikmati setiap jengkal tubuhku. Rasa cinta yang baru pertama kali terasa rupanya telah menutup semua akal sehatku. Hanya ada hasrat yang menderu, bersatu dalam gumul yang seharusnya bukan milikku.
Pagi hari saat mataku terbuka, tak lagi kudapati Sam yang semalam memelukku erat. Dari kamar sebelah, terdengar tawa cekikikan. Rupanya Sam sudah kembali ke kamar Siska.
Sejak kejadian itu, aku merasa Sam bukan hanya milik Siska, tapi juga milikku.
Kali ini, aku tak ingin kalah dengan Siska! Cukup sudah aku mengalah selama ini! Meskipun kami saudara kembar, tapi entah kenapa sejak kecil keberuntungan selalu berpihak kepada Siska.
Wajah kami memang tidak mirip, karena kami bukan kembar identik. Wajah Siska lebih mirip dengan Ibu: cantik, dan memiliki sex apple yang tinggi. Beda dengan diriku yang lebih mewarisi gen Ayah. Warna kulitku lebih gelap, juga memiliki kelainan pada penglihatan, sehingga harus menggunakan kacamata sejak kecil. Jadi bukan hal yang aneh jika kami berjalan berdua, maka Siska yang akan selalu menjadi bintang.
Meskipun dalam akademis nilaiku lebih tinggi, tapi teman-teman lebih senang bergaul dengan Siska. Bahkan aku pernah merasa sangat tak berharga ketika kedua orang tuaku melarang cita-citaku untuk meneruskan sekolah kedokteran dengan alasan biaya, tapi malah mendukung dan membiayai keinginan Siska menjadi model di ibukota. Tidak adil!
***
Suara desahan dari kamar Siska sungguh menyiksa. Hatiku sudah tak mampu menahan ini semua. Cukup! Cukup sudah aku menahan sesak dan gejolak di dalam dadaku.
Dengan pasti aku melangkah ke kamar Siska. Malam ini, semua harus berakhir. Kapak di tangan memudahkan aku membuka pintu kamar Siska. Kedua manusia tanpa sehelai benang itu terkejut karena kedatanganku yang mungkin tak pernah mereka duga. Ketakutan tampak jelas dari wajah mereka.
“Jane … apa kau sudah gila?!” Siska melompat dari ranjang, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
Sam sepertinya shock, lelaki itu tak bersuara. Tubuh yang malam itu pernah kunikmati kini membatu dan terlihat tidak menggairahkan.
“Iya! Aku memang gila!”
Dengan membabi buta kulayangkan kapak pada kedua manusia di hadapanku. Tanganku penuh darah saat kedua manusia itu terkapar tak berdaya.
Aku terduduk lemas dengan kapak masih di genggaman. Mataku berair menatap kedua mayat yang yang pernah menjadi manusia-manusia yang kucintai dengan tulus. Kemudian aku tertawa terbahak saat mengingat pembicaraan yang tak sengaja kudengar dari lelaki berbibir manis itu.
“Tenang, Sayang. Aku sudah merekam kejadian malam itu. Jika bukan karena inginmu, mana mungkin aku mau meniduri gadis jelek bermata empat itu. Sebentar lagi rumah ini akan jadi milikmu. Kita akan terbebas dari jerat rentenir.”
Saat itu, tubuhku gemetar dan membatalkan keinginanku yang akan mengambil minuman di dapur.
Setelah lelah tertawa, aku berjalan ke arah mayat Sam. “Tenang, Sayang. Aku tak akan melupakanmu. Akan kusimpan bagian dari dirimu yang membuatku mabuk kepayang.”
Bibir indah berwarna merah muda. (*)
Surabaya, 24122020
Anasera Pratista. Manusia biasa yang suka membaca dan sedang belajar menulis. Berharap dapat meninggal jejak dengan tulisannya.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata