Biar Cinta yang Memilih
Oleh: R Herlina Sari
Aku melihat kamu berpelukan dengannya di depan mata. Kuputuskan untuk meneleponmu saja. Tak sengaja, kita berada pada tempat yang sama, udara yang sama, tapi dengan atmosfer yang berbeda. Kamu dengan segala pendar cahaya berwarna merah jambu semu biru. Sedangkan aku dikelilingi cahaya merah pekat, penuh rasa cemburu.
“Hai, Sayang. Kamu lagi di mana?” Aku berkata saat panggilanku kamu angkat.
“Lagi jalan. Sama temen,” jawabmu.
Ah, ternyata begitu. Lagi-lagi kamu membohongiku. Untuk ke sekian kali. Kini aku benar-benar dilema. Melepasmu begitu saja, atau menggenggammu dengan erat.
Aku dihadapkan pilihan
Antara benar dan salah
Aku mencintai kamu
Sangat mencintai
“Cewek apa cowok?” tanyaku lagi. Aku melihatmu sedikit menjauh darinya. Mungkin, kamu takut jika perkataanmu akan menyakitinya. Atau kamu tak mau jika kebohonganmu terbongkar di depannya. Entahlah, apa pun alasanmu, semua tidak bisa dibenarkan.
“Cowok, kok. Kita lagi ngopi bareng ini,” katamu sambil berbisik.
“Berapa orang? Tumben gak pamitan?” tanyaku lagi.
“Ada tiga orang. Bareng sama Andre, Dika dan Devran. Ngopi di Janji Jiwo. Aku gak bilang, karena tahu kamu juga sedang sibuk seminar, kan?” jelasmu sambil bertanya balik.
Kamu berjalan bersamanya
Selama kamu denganku
Begitu rumitnya dunia
Hanya karena sebuah rasa
Cinta
“Iya … aku sedang seminar. Dan kamu tahu, aku seminar di Taman Pelangi. Bersama anak-anak kurang beruntung. Membawa mereka ke sini agar bisa melihat keindahan alam dan bunga-bunga yang sedang bermekaran.” Aku menjelaskan.
Sengaja aku tak memberitahumu, kalau sedari tadi aku sedang melihatmu bercengkerama mesra bersama gadis itu. Bercanda tawa dan terlihat bahagia. Kamu bahkan bisa tertawa lepas bersamanya. Tawa yang tak pernah aku lihat saat kamu bersamaku.
Jadilah aku, kamu, dan dirinya
Berada di dalam dusta yang tercipta
“Benarkah?” Hanya satu kata. Kamu terlihat terkejut, sambil melihat sekeliling. Beruntung waktu itu aku segera menyembunyikan diri di balik tanaman perdu, sebelum tertangkap oleh matamu.
Apakah rasanya sesakit ini saat pasangan kita berdusta, Tuhan? Dada ini begitu sesak. Aku ingin menangis, tetapi tak bisa begitu saja membiarkan air mata ini jatuh dan luruh. Aku harus kuat.
“Eh … sudah dulu ya, Ndra. Anak-anak sudah memanggil. Sepertinya acara akan segera dimulai. Nanti aku kabari kalau sudah balik.” Aku berpamitan, sebelum kamu menyadari, ada getar suara yang berbeda. Getir dan penuh isak tertahan.
Mengapakah harus kurasa?
Sepenting itukah cintamu?
Kita berawal karena cinta
Biarlah cinta yang mengakhiri
Mengapa aku sekecewa ini? Begitu tidak pentingkah aku di hatimu sehingga kamu tega menduakan cinta seperti ini? Bahkan hubungan kita baik-baik saja. Komunikasi selalu lancar, baik telepon maupun berbalas pesan di media sosial.
Jelas aku tak akan pernah mengerti, jika kamu telah menduakan hati. Ataukah? Aku yang terlalu tak peka dengan keanehan tingkahmu akhir-akhir ini?
[Aku lebih sibuk sekarang. Jadi kurang ada waktu buatmu.]
Itu adalah pesan darimu seminggu yang lalu dan aku memahami, karena diri ini pun sama. Mengambil pekerjaan terlalu banyak untuk beberapa minggu ke depan. Namun, aku masih berusaha untuk mengirimkan pesan-pesan padamu. Walau hanya sekadar sapaan. Setidaknya aku tak lupa.
Lalu, apakah aku harus mendatangimu sekarang? Bahkan, seusai menutup telepon, dengan gegas kamu berlari ke arah gadis itu, merangkulnya dan mengajak pergi. Apakah kamu ketakutan, Ndra? Takut jika ketahuan olehku?
Jadilah aku, kamu, dan dirinya
Berada di dalam dusta yang tercipta
Kuputuskan untuk mengejarmu. Walau aku tahu mata ini sembap oleh air mata yang turun sesaat. Namun, aku tak ingin terlalu menggengammu dengan erat. Walau aku tahu, hati ini akan terluka atau mungkin patah untuk ke sekian kalinya. Aku sadar jika akan terus merasa tersakiti bila bersamamu di kemudian hari.
“Ndra … selamat, ya!” teriakku sambil tersenyum.
Kamu menoleh dan ada tatapan terkejut dari sorot matamu.
“Dina … apa maksud kamu?”
“Selamat berbahagia bersamanya, Ndra. Aku turut bahagia dengan luka yang masih menganga dan belum menutup sempurna,” kataku sambil berbalik pergi. Sesaat sebelum aku berlari, kulihat gadis itu terkejut. Entahlah. Aku sudah tak akan peduli lagi.
Mengapakah harus kurasa?
Sepenting itukah cintamu?
Kita berawal karena cinta
Biarlah cinta yang ….
“Kamu salah paham, Din!”
Kamu berlari mengejar dan segera meraih tanganku, memelukku dengan erat.
“Cukup, Ndra. Aku sudah mengikhlaskan. Jadi sudah tidak perlu lagi alasan.” Aku melepaskan pelukamu dan berjalan menjauh.
Kubiarkan dirimu berdiri terpaku. Jika kisah kita diibaratkan sebagai pasir, aku bukanlah pasir pantai yang mampu mengikuti gelombang. Aku akan bertahan walau akhirnya harus melepaskan.
Namun aku sadar, pasir tetaplah pasir. Jika aku genggam terlalu kuat, ia akan meluncur begitu saja, menyisakan sedikit rasa yang tercipta. Jika aku membiarkannya, maka ia akan tetap pada tempatnya. Dengan rasa yang penuh dan terus tumbuh di dalam hati.
Begitu pun seorang pria, jika terlalu digenggam erat, saat ada kesempatan, ia akan terlepas. Baginya, kebebasan adalah sebuah alasan untuk bisa lebih mencintai dengan tulus. Entahlah!
Sub, 251020 (Revisi)
RHS, penyuka hujan dan lumba-lumba.
Editor: Imas Hanifah N