Bertemu Mantan
Oleh : Cokelat
Aku melangkah masuk ke cafe tempat Mas Raka ingin bertemu. Tidak banyak yang berubah dengan tempat ini, masih sama seperti beberapa tahun yang lalu, saat kami sering menghabiskan waktu bersama di sini.
Aku memilih tempat terbuka di bagian belakang cafe, tepat berhadapan dengan kolam ikan yang dilengkapi air mancur mini. Tadi saat masih di mobil, Mas Raka menelepon dan menyampaikan akan terlambat beberapa menit karena kemacetan di depan kampus.
“Ini menunya, Bu.” Seorang pelayan berwajah cantik dengan rambut diikat ekor kuda tersenyum seraya menyodorkan daftar menu.
“Simpan aja, dulu, ya. Sekalian nungguin teman saya.” Aku membalas senyum manis di wajah chubby itu.
“Siap, Bu.” Dia mengangguk dan berlalu dari hadapanku. .
Aku menarik napas panjang. Apa yang kulakukan di sini? Setelah empat kali Mas Raka memohon untuk bertemu, aku akhirnya menyerah. Entah apa mau lelaki itu. Lelaki yang pernah mengisi hari-hariku. Lelaki yang menjadi ayah dari anak-anakku. Lelaki yang kupikir akan menjadi imamku, dunia akhirat. Tapi ternyata … aku salah.
“Maafkan aku, Mel. Aku jatuh cinta padanya.” Aku masih ingat wajah Mas Raka yang memerah dengan kepala yang tertunduk lesu saat kutunjukkan foto-fotonya dengan seorang gadis. Gadis cantik yang mengikuti mata kuliah Mas Raka di kampus tempatnya mengajar.
Sungguh, kurasa duniaku runtuh dalam sekejap. Aku merasa tak punya harga sebagai seorang istri. Bagaimana bisa Mas Raka melakukan itu padaku? Kami saling mencintai. Kami mempunyai dua balita yang lucu dan menggemaskan. Kami mengisi rumah kami dengan kenyamanan dan kehangatan. Kami … kami bahagia. Setidaknya, itu yang kupikir dan rasakan. Dan saat Mas Raka mengakui perbuatannya, semua seolah menguap. Tak bersisa.
Aku tak punya pilihan, perpisahan adalah yang terbaik. Dengan segala kemampuanku, aku memperjuangkan hak asuh anak-anak dan juga rumah yang kami tempati. Aku juga meminta pembagian harta yang adil, demi masa depan anak-anak.
Kedua mertuaku sangat murka. Tapi mereka tak bisa mengucapkan sepatah kata pun saat melihat foto-foto Mas Raka dan gadisnya yang kujejer rapi di atas meja. Ayah mertuaku bahkan terduduk lemas, dan memohon agar aku tak membeberkan masalah ini kepada siapa pun. Rektor di sebuah perguruan tinggi ternama itu tentu tak ingin reputasi keluarganya hancur. Perceraian tak ada dalam kamus keluarga mereka selama beberapa generasi, apalagi akibat perselingkuhan.
Aku beruntung mempunyai senjata untuk melawan keluarga Pak Rektor yang terhormat. Beruntung, punya sahabat yang mengirimkan foto-foto Mas Raka yang sedang mengikuti seminar di Pulau Bali. Sayangnya, ada peserta gelap dalam seminar itu. Peserta gelap yang menghancurkan hidupku.
Sudah hampir dua tahun kami berpisah. Perlahan aku bangkit dari keterpurukan. Harus, demi anak-anak. Mas Raka pergi hanya dengan membawa dua koper berisi barang-barang miliknya. Rumah dan kendaraan, semua jadi milikku. Dia juga harus menafkahi anak-anak sampai mereka dewasa. Semua sudah diatur dalam perjanjian tertulis yang disusun oleh pengacara-pengacara kami.
Aku juga kembali bekerja. Empat bulan yang lalu, seorang senior saat kuliah mengajakku bergabung dalam perusahaan jasa konsultan miliknya. Tentu saja aku menerimanya. Keinginan yang sempat terkubur saat menikah akhirnya bisa kuwujudkan.
Sekarang, aku sedang menjalani hidupku dengan bahagia. Bahagia untuk diriku sendiri, dan juga anak-anak. Luka yang ditinggalkan Mas Raka mulai kering. Mungkin tetap akan membekas, tapi setidaknya aku tak lagi merasakan perih yang tertoreh.
“Melati?” Suara itu … suara yang sangat aku kenal.
Aku mendongak, mengalihkan mataku dari daftar menu yang sejak tadi kupegang, tapi aku bahkan tak membaca isinya.
Lelaki itu berdiri tepat di hadapanku. Masih dengan kharisma yang sama. Wajah tampannya tidak berubah, hanya sedikit dihiasi cambang di kedua rahang kukuhnya. Mata elang itu pun masih sama. Dan … masih menatapku dengan penuh kelembutan.
Astaga Melati, sadar!
Aku segera berdiri menyambutnya, sekaligus untuk menutupi kegugupan yang mulai melanda. Kusodorkan tangan sambil tersenyum. “Apa kabar, Mas?”
Dia menyambut tanganku, lalu kami berdua duduk berhadapan. Setelah itu kami berada dalam keheningan selama beberapa saat. Aku memandang ke arah kolam dan memperhatikan ikan-ikan yang ramai berkejaran, menyambut makanan yang dileparkan oleh seorang pengunjung.
Aku masih belum bisa menebak maksud Mas Raka mengajakku bertemu. Apakah dia ingin menambah jatah bertemu anak-anak? Sebulan sekali sudah cukup menurutku. Atau jangan-jangan dia ingin mengantar undangan pernikahannya? Seketika, aku merasa ada yang perih di di dadaku. Padahal, baru saja aku yakin, luka itu sudah sembuh. Apakah aku masih mencintai lelaki ini?
Seorang pelayan menghampiri meja kami. Mas Raka memesan minuman untuk kami berdua, tanpa bertanya padaku. Dia menyebut minuman favoritku setiap kali kami datang ke sini. Tuhan … beri aku kekuatan. Setelah hampir dua tahun, aku tak menyangka, pesona Mas Raka masih begitu kuat mempengaruhiku.
“Mel, Mas ingin menyampaikan sesuatu.” Akhirnya …. Tuhan, jika itu undangan pernikahannya, aku mohon beri aku kekuatan.
Tiba-tiba Mas Raka meraih kedua tanganku, dan menggenggamnya erat di atas meja. Aku tiba-tiba merasa ada yang bertalu-talu di dadaku. Desiran halus mulai menjalar di punggung. Sekarang aku yakin, aku masih mencintai lelaki ini. Bahkan setelah semua yang dia lakukan padaku, aku masih sangat merindukannya.
“Mel … Mas ingin rujuk.” Aku refleks menarik tanganku dari genggaman Mas Raka. Sungguh, kejutan demi kejutan yang dia berikan membuatku tak bisa berpikir jernih. Aku benar-benar tak tahu harus berkata apa.
“Mel?”
“Bagaimana dengan perempuan itu, Mas? Mas mencintainya.” Aku berkata pelan. Luka di hatiku kembali terkoyak-koyak. Aku mengerjap berkali-kali, semoga bisa menahan air mata agar tak tumpah.
Mas Raka menarik napas panjang, lalu bersandar pada kursi. “Untuk apa cinta, kalau harus kehilangan keluarga dan rumah, Mel. Keluarga dan rumah yang sebenarnya, yang selalu ada dan memberi kehangatan. Tempat untuk pulang di saat lelah. Mas merindukanmu, Mel. Merindukan kalian semua.”
“Tapi Mas bilang, cinta yang utama. Mas gak bisa hidup tanpa cinta. Dan perempuan itu adalah cinta Mas.” Kuusap kedua sudut mata, menghapus air yang menggenang. Aku tak tahu, harus sedih atau bahagia mendengar kata-kata Mas Raka.
“Mas dibutakan oleh nafsu, Mel. Itu bukan cinta.”
Aku memandang Mas Raka. Matanya memerah.
“Mel, kita rujuk, ya?” Wajah ayah dari anak-anakku itu kelihatan lelah.
Entahlah, Mas. Jika memang itu nafsu, seharusnya dirimu mampu melawannya, bukan terhanyut olehnya. Aku tiba-tiba merasa kasihan pada lelaki ini, lelaki yang tak bisa membedakan antara kehangatan, kenyamanan, cinta dan gairah. Dan sekarang aku yakin, apa yang kurasakan untuknya bukanlah kesedihan atau kebahagiaan, tapi kehampaan.(*)
Kamar Cokelat, 4 April 2021
Cokelat, jatuh cinta pada cokelat dan semua turunannya.
Editor : Uzwah Anna