Bersaing dengan Bidadari
Oleh: Evamuzy
Aku mengerti, dengan siapa bersaing merebut hati. Ialah kau, perempuan cantik bermata bening, berilmu dengan setumpuk talenta pada tangan juga hati, indah bagai permata.
Jika aku bisa menulis lewat pena, kau sanggup memberikan nyawa pada setiap diksi, menghidupkan kembali kisah masa lalu lewat untaian kata, fiksi disulapmu rasa nyata.
Jika aku bisa melukis lautan biru, dengan kuas di tanganmu, pohon kelapa, awan bergulung-gulung, burung-burung di bawah langit juga wajah sang surya yang ceria tergores dengan indah. Lukisan penuh nyawa.
Jika aku bisa mewarnai dengan baik, kau mampu membuat gradasi warna di sebuah gambar dengan apik, dengan perpaduan warna-warna cantik.
Jika aku cekatan menanam bunga melati, di taman kecil depan rumahmu, berbagai kelopak warna warni bunga cantik tumbuh di pucuk tangkai, di atas gundukan tanah subur dan basah. Menarik para kumbang dan lebah untuk datang, juga kupu-kupu nan ayu.
Dan jika aku bisa menjahit, tangan telatenmu mampu memintal, menyulam, merajut benang, juga memasang bordiran yang cantik pada ujung kain kerudung panjang yang kau kenakan.
Kau, hawa dengan seribu keindahan.
***
Kau ingat? Tanggal delapan di bulan pertama musim penghujan, kita bertemu. Saat itu gerimis tipis sedang membasahi jalanan bus yang kita tumpangi. Kau, dengan tersenyum manis menepuk kursi di sebelahmu yang kosong. Mengisyaratkan agar aku yang tampak bingung mencari kursi, segera duduk bersamamu.
Aku mengangguk, melangkah menujumu yang duduk tiga deret ke belakang dari pintu bus. Duduk, memindahkan tas gendong warna cokelat muda ke pangkuan, melempar senyum untukmu dan mengucap terima kasih. Kau membalas, mengulurkan tangan kanan, memintaku menjabatnya.
Aku menerimanya. Sungguh, tanganmu terasa sangat lembut. Seumur hidup, mungkin kau perempuan pertama dengan tangan selembut ini. Lalu setelah melepas jemarimu, jari-jari lentik, jenjang dengan kuku yang teramat terawat milikmu terlihat. Berhias sebuah cincin perak bermata berlian di jari manis.
“Maryam.” Kau menyebut namamu. Ada sebuah buku bersampul gambar wanita bercadar merah dengan judul Cinta di Atas Haram, yang sengaja ditutup semenjak aku duduk di sampingmu.
Wajah cantikmu semakin kentara, saat senyum menyusup di setiap percakapan yang sengaja kita ciptakan. Matamu yang bulat indah berhias bulu panjang nan lentik, hidung tinggi dan pipi kemerahan alami pada kulit putih bersih membuatku merasa ciut. Bagai Sang Putri bertemu bidadari.
Tentang tempat tinggal, tentang bacaan kesukaan, sampai tentang kemuliaan dan kedudukan wanita dalam agama selayak mutiara, sehingga harus senantiasa dijaga. Adalah sajian percakapan kita sepanjang satu setengah jam perjalanan.
Meski baru pertama bertemu, sepertinya aku cukup nyaman bicara denganmu. Kau, wanita yang pandai membawa diri dan bersahabat. Gadis cantik nan berilmu. Begitu kira-kira kau di mataku.
Pertemuan pertama kita berakhir saat aku harus turun di depan kampus tercinta. Kita saling bertukar nomor telepon. Saat aku menyampaikan bahwa sedang menempuh semester ganjil, katamu ada seseorang yang kau kenal di sini.
Belum sempat mendengar nama yang ingin kau sebut, telepon genggamku berbunyi. Seorang teman memberi kabar, kelas sudah dimulai. Aku buru-buru meninggalkanmu. Sementara kau melanjutkan perjalanan ke tujuan yang kau sebutkan sebelumnya. Sebuah tempat belajar yang katanya kau buat bersama dengan teman-temanmu untuk anak-anak kurang mampu.
Sejak pertemuan pertama itu, aku dan kau menjadi sering bertukar kabar dan cerita. Ya, meskipun sayang tak pernah dipertemukan dalam satu bus kembali.
Aku merasa nyaman, seperti memiliki sahabat sekaligus saudara baru. Kau yang baik, lembut, pandai dan bijaksana membuatku terkagum-kagum. Mungkin, jika aku adalah seorang kaum berdasi, maka dari awal sudah jatuh hati, lalu kukhitbah sebagai calon istri.
Bidadari. Wanita tanpa cela. Kudoakan semoga kau mendapat jodoh anak Adam yang terbaik, sebanding dengan dirimu.
***
Tiga hari lalu, kau mengabariku. Bertanya, apakah aku bisa menemani pergi ke sebuah seminar literasi? Kau sengaja telah membelikan dua tiket peserta untuk kita berdua. Tempatnya tak jauh, kurang lebih satu jam dari tempatku biasa naik bus. Sebuah ballroom hotel di kota kecil kita. Aku bersedia dan kita sepakat bertemu di depan pintu masuk seminar.
Kau tampak sangat cantik nan anggun hari ini. Tak jauh berbeda dari pertama kali melihatmu. Balutan gamis bergaya hanbok warna toska dengan kerudung lebar putih gading motif bunga sakura merah muda, serta tas kecil dengan tali panjang yang menggantung pada bahu kiri, melengkapi sapaanmu yang lembut di pintu masuk.
Aku menghampiri, lalu kau menggenggam tanganku, melewati kursi-kursi peserta seminar yang mulai terisi. Mencari nomor kursi yang tertera pada dua tiket yang kau beli. Satu diberikan kepadaku dengan nomor tiga puluh tujuh, dan satu lagi kau pegang sendiri, tertera angka tiga puluh delapan.
Ruang seminar yang megah dan indah mulai ramai dipadati peserta. Kebanyakan mereka yang datang berbusana seperti kita. Kita diberi sebuah paper bag di bagian resepsionis tadi, berisi note dan bolpoin. Dan sebuah buku yang akan dibedah oleh sang Penulis sekaligus narasumber. Berjudul Memilih Bidadari.
Di bagian paling depan, tempat pusat acara, telah siap sebuah panggung rendah dengan lantai yang tertutup karpet bercorak modern. Ada satu sofa yang sedikit berjarak dengan lainnya—biasanya tempat duduk MC—berdampingan dengan sofa panjang yang cukup untuk empat sampai lima orang. Semua sofa berwarna merah marun.
Aku meminum air mineral yang kubawa saat sepertinya kau sedang memperhatikanku. Membalas pandanganmu, aku memasang wajah penuh tanya.
“Aku sudah merasa nyaman denganmu. Kau seperti sahabat juga saudara bagiku, Syabil,” ucapmu. Tentu dengan menyusupkan senyum yang selalu indah dilihat. “Hari ini aku ingin mengenalkanmu seseorang yang ada di hatiku. Seseorang yang istimewa, yang aku tunggu sampai dirinya siap dan datang menemui orangtuaku,” lanjutmu.
Aku tersenyum. Mengiyakan semua kalimat yang kau sampaikan.
“Sebentar lagi kau akan melihatnya. Saat acara inti tiba.” Kau menggenggam kedua tanganku. Mirip anak gadis yang ingin menunjukkan pria pilihan pada sang Ibu. Aku tetap tersenyum mengiyakan.
Acara dimulai. Satu per satu berjalan dengan baik. Aku bahkan larut pada setiap suguhan acara yang menarik bagiku ini. Sang pembawa acara sepertinya telah membaca buku yang akan dibedah. Dia terlihat cukup menguasai isi buku tersebut, hingga pandai menyampaikan nilai lebih yang ada pada buku dan membawa peserta seminar menciptakan pertanyaan-pertanyaan menarik yang nantinya akan ditanyakan kepada si penulisnya langsung. Sepertiku yang telah menyiapkan sebuah pertanyaan untuk si Penulis nanti. Maka aku pun menunggu-nunggu sosoknya hadir di tengah-tengah panggung.
“Baik, mari kita panggil narasumber yang sudah kita tunggu-tunggu. Aris Munandar.”
“Dia, Bil.” Kau mengarahkan matamu pada panggung. Entah, bersama dengan itu badanku lemas, tanganku tiba-tiba berkeringat di ruangan pendingin ini. Seketika sekujur tubuh seperti habis tenaga. Segera kucari botol air mineral yang isinya masih separuh untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba sekering sawah saat kemarau.
Aku kembali menatap ke sumber suara. Terlihat pria tampan dengan sepasang lenca kacamata. Dia, yang selalu menampakkan lesung pipinya saat memberikan buku-buku padaku di beberapa pertemuan yang sengaja kami buat. Dia, yang menjadi satu-satunya nomor kontak pria yang paling ditunggu-tunggu mengisi kotak pesanku di jam-jam biasanya kami saling bertukar kalimat sederhana. Dia, yang diam-diam setiap malam kuaminkan namanya untuk menjadi imam hidup kelak. Dan dia, yang berkata serius dan akan menemui Ayah Ibu setelah gelar sarjana kuraih. Dia, yang berjanji akan fokus pada cita-cita selama menungguku. Kak Aris Bima Putra. Nama yang pernah kutulis sambil tersenyum malu di sebuah halaman buku diary.
“Namanya Aris Bima Putra Munandar. Munandar nama ayahnya, makanya dia pakai untuk nama pena. Aku mengenalnya satu tahun yang lalu. Kita satu majelis ta’lim. Dan kau tahu, Bil. Aku jatuh hati padanya. Dan akan menunggunya siap dan datang menemui orangtuaku.” Kau, bidadari di sampingku kembali berujar. Namun, kini memberi sensasi yang berbeda pada sudut hati. Tak semenenangkan sebelumnya. Entah apa namanya? Namun, yang aku tahu, ini sesak di dada. Oh … Tuhan, kenapa harus bersaing dengan bidadari?(*)
Evamuzy, gadis kelahiran kota Brebes. Penyuka es krim rasa cokelat dan musik pop.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata