Berpisah?
Oleh: Jemynarsyh
Mayang mengurungkan niatnya mengambil lipstik saat terdengar dering panggilan dari gawai Ibram, yang tergeletak di meja rias. Dahinya mengernyit, melihat nama Marwa yang tertera pada layar tanpa foto profil. Belum sempat ia menekan ikon hijau, panggilan telah terputus, lalu muncul pesan yang belum sempat terbaca. Dengan segera jemari lentik itu bergerak cepat di atas keyboard membuka sandi dan menekan ikon WhatsApp. Jantungnya berdetak lebih cepat dan pandangan yang kian buram membaca satu per satu pesan dari Marwa.
“Jawab Mas, siapa wanita itu?” tanya Mayang, menatap nanar lelaki di hadapannya yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Ibram terdiam menatap Mayang lekat. Lalu dihampirinya sang istri yang tampak terguncang dan rapuh itu. Ia ingin segera memeluk Mayang, memberikan ketenangan tapi, saat ia coba mendekat, Mayang dengan brutal mengambil benda apa saja lalu melemparnya ke Ibram.
Lelaki yang memakai kemeja biru itu berdiri kaku tak jauh dari sang istri yang masih menangis, sesekali memukul dada. Pupus sudah rencananya untuk pergi makan malam di luar. Setelah berbulan-bulan LDR karena pekerjaan kini ia pulang membawa kekacauan.
“Dia … Marwa, istri sirihku,” ucapnya lirih sembari melangkah dengan pelan kalau-kalau Mayang melemparinya barang lagi. Hingga jarak kian dekat Mayang tak juga terusik. “Maaf ….” Ibram berjongkok di hadapan Mayang.
Jawaban dari Ibram membuat dada Mayang kian sesak seperti ada gumpalan tali yang melilit dada, membuat napasnya tercekat.
Mayang meremas erat gawai di tangannya hingga buku-buku jari memerah. “Me–nikah …”
Ia menangis tersedu, buliran bening mengalir membasahi pipinya yang berisi. Bibir yang belum dipoles lipstik itu bergetar menahan suara agar tidak terdengar oleh Anis, sang buah hati.
Mayang tak pernah menduga rumah tangganya akan retak oleh perbuatan Ibram, suaminya, membuat Mayang benar-benar kecewa. Di sisa usahanya menahan sesak Mayang merasakan usapan lembut di tangannya lalu rasa hangat menjalar saat jemari kokoh itu menggenggamnya, lelaki yang sangat ia cintai dan teganya menorehkan luka hingga ke relung hati.
“Maaf, Sayang. Aku bisa jelasin semuanya, ini enggak seperti apa yang kamu pikirkan,” tutur Ibram sembari menggengam erat tangan sang istri dan menatapnya lekat.
Mayang melengos, tak sanggup menatap Ibram lebih lama, perasaannya berkecamuk. Ada marah, kecewa, dan iba. Mayang pun tahu Ibram sama kacau dengannya, dilihat dari penampilan yang berantakan juga kemejanya yang kusut dan lingkar hitam di bawah mata.
Sudah tiga puluh menit pasangan suami istri itu diam membisu, Ibram masih berjongkok dan menyandarkan kepalanya di kedua lutut sang istri. Tangis Mayang pun telah reda, sekarang ia sudah bisa mengontrol emosinya. Bagaimanapun, ia harus mendengar penjelasan dari lelaki yang telah menghalalkannya itu. Mayang menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, “Sudah berapa lama, Mas?” tanya Mayang pelan.
Ibram lantas mendongak kala mendengar pertanyaan Mayang, ditatapnya wajah sembab itu, mata bengkak dan hidung memerah. Tangan Ibram terulur hendak mengusap wajah Mayang tetapi urung karena Mayang kembali menghindarinya.
“Aku dan Marwa sudah menikah siri satu bulan,”
Mayang terpejam erat menahan gejolak amarah yang kembali muncul ke permukaan, sudah selama itu Ibram merahasiakan pernikahannya. Andai ia tidak membaca pesan WA di gawai Ibram mungkin sekarang ia masih dibohongi.
“Sudah satu bulan dan kamu baru bilang Mas, tega kamu!” teriak Mayang, tangannya memukul pundak Ibram membabi buta hingga suara tangis menghentikan aksinya.
“Ibu … hiks.”
Di sana, tak jauh dari pintu, seorang gadis remaja berusia tiga belas tahun menangis tersedu melihat kedua orangtuanya bertengkar, Anis sedih melihat sang ibu menangis sembari memukul lelaki yang Anis sayangi dan hormati itu. Ia tampak pasrah dijadikan samsak oleh Mayang.
***
Sejak insiden terbongkarnya pernikahan siri Ibram, dunia Mayang tak lagi sama. Hari-harinya terasa berat. Ia selalu ingin menangis jika teringat kejadian lalu. Mayang tahu tuntutan pekerjaan Ibram yang harus LDR tapi Mayang tak benar-benar siap bila harus dimadu.
Sudah dua hari lalu Ibram pergi ke Kalimantan menyelesaikan pekerjaan di sana. Mayang tak perduli lagi hendak berapa lama Ibram di sana. Toh, sekarang sudah ada istri barunya yang akan memenuhi kebutuhan Ibram. Memikirkannya membuat Mayang terisak. Berbagi membuat batinnya meringis pilu.
“Bu ….”
Mayang tersentak, segera dihapusnya jejak tangis di pipi, menarik napas panjang lantas mengeluarkannya perlahan. Anis menghampiri Mayang. Tangannya terulur mengusap wajah sang ibu yang sembab dan mata bengkak.
“Anis sayang Ibu. Jangan nangis lagi,” ucap Anis, seraya memeluk Mayang erat.
Mayang tak kuasa menahan gejolak di dada, tumpah sudah air mata yang sedari tadi ia tahan.
“Maafkan Ibu, Nak. Terlalu larut dengan masalah hingga mengabaikan kamu.”
Dua wanita beda generasi itu saling berpelukan, saling menguatkan. Mayang melirik sekilas pada gawai yang berdering, Ibram kembali menghubunginya. Akhir-akhir ini Ibram sering sekali menelepon meski tak pernah diangkat oleh Mayang. Jika sudah begitu, Ibram akan menghubungi Anis dan Mayang tak pernah menanyakan pembicaraan apa yang dibahas ayah dan anak itu. Untuk saat ini, Mayang hanya ingin menjauh, menjaga jarak dari Ibram. Ia ingin menenangkan diri sebelum memutuskan berdamai atau berpisah dengan lelaki yang telah memberinya cinta juga luka. [*]
Palangka Raya, 15 November 2021
Jemynarsih yang sedang belajar menulis.
Editor: Vianda Alshafaq