Berpikir Positif atau Cerita yang Menarik?
Cerita apa pun ini, ia bermula dari keisengan saya menonton salah satu short movie yang sudah download sejak lama yang berjudul Alone. Awalnya tidak ada yang spesial dari film itu, ia dibuka dengan menampilkan seorang perempuan lajang pekerja kantoran yang nampak murung. Setting film ini berpindah-pindah dari kantor, jalan, stasiun kereta dan tempat tidur.
Suatu hari ketika ia meraih sesuatu di atas almari, ada yang tiba-tiba jatuh ke tangannya. Pada adegan ini sebenarnya saya masih ragu apakah benar benda itu yang ia cari atau apakah ia menemukan sesuatu tanpa disengaja. Yang jelas mimik wajahnya saat itu berubah semringah. Ia kemudian menelepon seseorang, entah siapa.
Pada menit berikutnya, terlihat ia menggunakan kaus, celana jins dan sepatu kets. Ia pergi mengendarai mobil dan turun di area hutan. Tas ransel menggantung di punggungnya. Ok, sampai di sini saya paham bahwa benda yang jatuh itu ternyata sebuah tenda, dan karena ia pergi sendirian, saya menebak kalau yang ia telepon sebelumnya adalah rekan kantornya—dengan tujuan untuk mengambil libur, bukannya menelepon seseorang untuk menemaninya berkemah.
Lalu ia melakukan apa yang biasa dilakukan orang yang berkemah, mendirikan tenda, menikmati alam dan mengabadikan tiap-tiap keindahan yang menarik minatnya dengan menggunakan kamera.
Sekembalinya ke rumah, ia tampak duduk di sebuah kursi sembari memegang setumpuk foto. Satu per satu ia mencermati foto-foto itu dan sesekali tersneyum karenanya. Sampai pada sebuah foto, wajahnya berubah heran, kemudian cemas. Apa pasal? Foto yang sedang ia lihat ternyata menampakkan dirinya sedang tertidur. Tidak hanya satu, tapi ada dua foto demikian. Perempuan itu menatap pada kameranya dengan mata yang nanar, dan film pendek itu pun terhenti di situ.
Sesaat setelah film pendek itu usai, saya lantas memikirkan hal-hal yang mengerikan tentang apa yang terjadi pada perempuan itu. Pikiran saya kepalang menyusun adegan-adegan thrilling tentang penguntit yang mengincarnya selama itu, atau yang terparah, saya memikirkan hal-hal yang berbau mistis. Saat itu saya tersadar bahwa saya pun sedang sendirian di kamar ini. Adik sekamar saya tak kunjung datang. Hufft.
Sambil menghela napas, saya membisiki telinga sendiri, “Ok, ini cuma film.” Dan daripada memikirkan soal penguntit dan hal-hal mistis, barangkali yang terjadi sebenarnya adalah tak sengaja terpasang timer atau jika tidak begitu, ada sesuatu yang terjatuh dan secara tidak sengaja menekan tombol kamera. Iya, jatuh dua kali dan di tempat yang sama. Mungkin saja. Jadi, saya mencoba berpikir positif seperti yang selalu diajarkan oleh para motivator.
Tiba-tiba saya mengingat seseorang yang entah-siapa mengatakan bahwa jangan mempercayai semua yang kita pikirkan. Ada juga yang mengatakan bahwa pikiran itu seperti ginjal yang gagal berfungsi sebab dibandingkan ginjal yang mampu menyortir kotoran-kotoran dalam darah, pikiran meloloskan hampir semua hal yang kadang-kadang lebih banyak “kotorannya” dibandingkan bersihnya.
Kemudian terlintas di benak saya, “Kalaupun asumsi yang positif itu beres secara logika, dan saya meyakininya, maka cerita dalam film itu menjadi membosankan, bukan?” Sejujurnya, ketika kita memilih cerita yang hendak kita baca atau tonton, apakah kita akan memilih cerita yang mana tokoh utamanya selalu berpikir baik atau situasi yang selalu berjalan baik-baik saja? Saya rasa tidak. Ketika menghadapi cerita, kita ingin menikmati naik dan turunnya kehidupan tokoh utama selayaknya roller coaster.
Kita tahu bahwa tidak ada kehidupan yang sempurna, hanya ada yang terlihat sempurna. Tidak ada yang benar-benar putih sebagaimana tidak ada yang benar-benar hitam. Dan dari sanalah inspirasi dari terciptanya semua cerita yang bagus.
Dan sesuatu yang disebut sebagai “pikiran”, sungguh tidak pernah bisa “diam”.(*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan