Bermula dari Rangkaian Bunga
Oleh: Lutfi Rosidah
Ia tak pernah berfikir akan berada di titik ini: mencintai orang yang jelas tak mungkin dimiliki. Ia sadar bagaimana posisi mereka bagaikan langit dan bumi, tak akan pernah bisa saling berpelukan.
“Ini kebodohan!” Ia mendengkus dengan kesal.
“Tapi aku mencintaimu, Mas.” Gadis di depannya memelas penuh harap.
Ia tak juga bergemim, dikepalkannya tangan menahan konflik batin yang bergejolak di dalam dirinya. Tak mampu Ia pungkiri, betapa cintanya begitu dalam untuk gadis di hadapannya. Tapi jika mengingat bagaimana ayah gadis itu mengacungkan telunjuk ke arah matanya dengan tatapan menghina. Ia sakit hati.
Ia memandangi lagi gadis itu, sorot mata itu yang telah menaklukan jiwa liarnya selama ini. Mata itu membawanya pada suatu siang di halaman belakang sekolah dua tahun silam. Hatinya berdebar, tangannya gemetar, rasa yang sama sekali belum pernah Ia rasakan. Dia mengira mungkin Tuhan salah menurunkan bidadari, hingga tersesat di bumi.
Gadis yang begitu sempurna. Setiap pijakan kakinya mencipta alunan simfoni yang menghanyutkan, senyum malu-malunya menghentikan gerak jarum jam dan kerling matanya membuat jantungnya berhenti berdetak seketika.
Ia terpesona.
Setiap pagi, ketika sekolah masih sepi, Ia sudah datang. Dengan sigap, Ia membersihkan seluruh halaman sekolah. Ia seolah mendapat begitu banyak energi menyongsong pagi setiap hari. Ada harap di setiap pergantian waktu, Ia bakal bertemu dengan bidadari.
Benar kata pepatah bisa karena terbiasa atau witing trisno jalaran soko kulino, jatuh cinta karena bertemu setiap hari. Itu yang Ia dan gadis itu alami. Dengan berbekal niat tulus mencintai, setiap pagi, Ia merangkai bunga dari taman belakang sekolah, menaruhnya di dalam vas di meja kerja gadis itu. Gayung bersambut, seolah Tuhan telah membidik anak panah asmara tepat di dada keduanya. Gadis itu perlahan tanpa sadar telah jatuh cinta pada Ia.
Bukan rasa yang biasa tapi luar biasa. Gadis itu merindukan sosok yang tak pernah dia pahami siapa sesungguhnya. Ini sebuah rahasia. Rasa yang dirahasiakan dalam hati dua insan.
Rindu kerap hadir ketika satu hari Ia tak pergi ke sekolah saat demam membuat kakinya tak mampu melangkah. Si Gadis mendapati karangan bunga segar di vas di meja kerjanya telah layu dan tak berganti baru. Dia merasa ada yang berongga di dadanya.
Cinta kadang sesederhana itu, merindu tanpa tahu siapa yang dituju. Dia mulai mencari-cari kabar berita, barangkali ada yang tahu siapa Ia. Sehari, dua hari, tiga hari, vas bunga tak lagi terisi. Kembali Si Gadis memasang telinga dan mata mencari jawaban.
Hingga libur sekolah menjadi tak menarik lagi. Gadis itu duduk di bangku porselen di belakang sekolah. Para guru mengatakan ada tukang kebun yang setiap hari menata taman di sekeliling sekolah dan pandai merangkai bunga. Dia ingin bertemu Ia. Barangkali Ialah yang dirindukannya.
Seperti sebuah pertemuan antara Adam dan Hawa setelah ratusan tahun dipisahkan, mereka berjumpa. Mereka bersitatap, mereka saling menyumpan rindu. Hingga pada menit ke 10 mereka tak mampu menahan rindu.
“Aku merindukan bungamu.”
“Aku lelah menahan rinduku.”
Mereka akhirnya memilih duduk, diam dalam beberapa lama. Mereka membiarkan waktu menentukan jalan cerita. Hingga … suatu siang, di pertemuan Ia dan Gadis itu yang ke 175 kali, Ia membuat pengakuan cinta.
“Mungkin ini lancang, tapi saya harus jujur. Saya mencintai Nona sejak pertama kali kita berjumpa.” Ia menunduk, tak berani menatap dua bola mata indah gadis di sampingnya.
“Mungkin jika kamu mengatakan ini ketika kita baru bertemu, aku akan menamparmu, Mas. Tapi sekarang aku gak mungkin berbohong dengan perasaanku. Aku juga sayang padamu.”
Mereka mulai menautkan hati. Ada tali tak kasat mata yang menjerat dua hati menjadi satu sejak saat itu. mereka kerap kali mencuri pandang, mencuri waktu untuk sekadar duduk sebentar dan bercengkrama membicarakan hal remeh temeh di sela tugas masing-masing. Semua tampak begitu indah dan sederhana.
Waktu melesat seperti busur panah, tak terasa dua tahun Si Gadis menjalani pendidikannya di sekolah menengah atas di kota Surabaya. Akhir bulan Juni, dia bakal wisuda. Ia mulai resah. Ia tak siap melepas kekasih hatinya pergi jauh. Tapi pendidikan harus dilanjutkan, masa depan harus dipersiapkan.
Si Gadis melanjutkan kuliah di Semarang. Kota yang berawalan dengan huruf yang sama tapi berjarak begitu jauh. Ia mulai resah, Ia mencoba peruntungan di kota yang sama. Ia mencari pekerjaan di sebuah proyek pembangunan di Semarang demi dekat dengan belahan hatinya.
Semua masih bisa dikondisikan. Mereka bisa rutin bertemu dan melepas rindu.
Hingga suatu ketika, ayah Gadis itu memergoki mereka sedang duduk di depan rumah kos Si Gadis. Dimualailah interogasi: siapa namamu? Di mana rumahmu? Sampai mana pendidikanmu?
Kisah indah musnah sudah. Harapan dan impian membentuk keluarga sakinah mawadah warahmah seketika berubah menjadi petaka. Ayah Gadis itu menarik paksa tangan kanannya.
“Bagaimana bisa kamu membuat hubungan dengan lelaki yang gak jelas begitu!” Sang Ayah naik pitam.
“Dengarkan penjelaskanku dulu, Ayah.” Gadis itu memohon dengan linangan air mata. Dia mempertahankan tubuhnya hingga kakinya tersaruk tanah diseret oleh ayahnya.
Tak ada yang peduli, tak ada yang mengerti. Cinta dua manusia dengan latar belakang ekonomi yang berbeda adalah kesalahan. Itu haram dalam keluarga Si Gadis.
**
Selain rasa sayang, dendam juga bisa mengubah seorang sabar menjadi keras hati. Membuat seorang yang lemah menjadi perkasa. Itu yang terjadi pada Ia. Lelaki lembut yang penuh kasih itu bertekad mengubah takdirnya. Jika Tuhan tak memberikan, setan pun boleh diajak bekerja sama.
Dia mulai merintis usaha, mengumpulkan seluruh uang yang Ia punya untuk modal dagang. Social media membantu langkah-langkahnya lebih mudah. Pembawaannya yang hamble, mudah bergaul, membuat Ia tak butuh waktu lama menemukan orang-orang dengan passion yang sama.
Sebuah toko bunga Ia buka. Bermodal uang tak seberapa, dia mulai memajang gambar-gambar rangakaian Bungan hasil tangannya di dinding akun social medianya: Intagram. Facebook, Juga beberapa web yang dikelolanya.
Tuhan punya banyak cara mendatangkan keajaiban. Seorang kolektor seni tak sengaja melintas di depan toko bunganya. dia tertambat pada sebuah rangakaian bunga krisan berwarna ungu dengan beberapa mawar merah di tengahnya. Perpaduan yang unik dan manis. Menurutnya.
“Berapa aku harus membayar untuk bunga secantik ini, Anak Muda?” Tanya jutawan yang baru saja turun dari mobil Alphard silvernya.
“Bapak serius? Itu bukan bunga untuk dijual sebenarnya. Sebentar lagi akan layu. Itu hanya iseng saya lakukan pada sisa dagangan saya kemarin.”
“Hanya iseng? Wah! Kamu luar biasa. Kalau begitu buatkan saya rangkaian seperti itu, 10 dululah.”
Ia diam mematung. Ia mengira pria di depannya sedang mengajak bercanda.
Si Pria menggoyangkan telapak tangannya di depan Ia. “Kamu mendengarkan saya?”
“Oh, iya, Pak. Baik saya segera buatkan.”
Pria itu berlalu begitu saja. Ia termangu, bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Beberapa menit berlalu, ketika kesadarannya kembali pulih sepenuhnya, Ia seperti kesetanan, berlari mengumpulkan semua bahan bunga yang dibutuhkan dari beberapa toko tetangganya. Tak terlalu sulit, pasar bunga dengan banyak penjual bunga menyediakan berbagai macam bunga segar yang bisa dia beli sewaktu-waktu. Masalahnya, dia bahkan lupa meminta uang DP dari pemesan tadi.
Ia menepuk kepalanya frustrasi. Bagaimana bisa, dirinya seceroboh ini? Ragu-ragu dia meminta pembayaran di belakang pada beberapa toko penjual bunga. Tuhan maha baik, mereka tak mempermasalahkan kapan pembayaran dilakukan. Mereka percaya, Ia tak akan curang.
Ia mulai bekerja. Membuat 10 rangkaian bunga sendirian, bukan perkara sederhana. Dia mulai menghitung mundur pekerjaanya. 3 jam bukan waktu sebentar, tapi cukup singkat untuk sebuah pekerjaan yang butuh ketelitian.
Keringat mulai bercucuran. Kios yang selalu sejuk, tetiba terasa panas. Sesekali tangan Ia menyeka bulir yang mengalir di dahinya. Tangannya cekatan, menyambung, menggunting, menusuk dan mengikat bunga-bunga.
10 menit sebelum 3 jam yang dijanjikan, sepuluh rangkaian Bunga telah tertata rapi di atas kaca etalase toko. Ia tersenyum puas.
Waktu yang dijanjikan telah terlewat 15 menit. Ia mulai khawatir, bagaimana jika pria itu hanya omong kosong belaka?
Ia mondar mandir di depan toko. Ini jauh menegangkan dari sekadar menanti sebuah lotre di gang pasar bunga, tempat Ia sering mengadu nasib bersama beberapa teman kuli bangunan. Ini urusan hidup dan mati, gumamnya.
“Sudah siap semua?” Pria itu sudah berdiri di samping etalase sambil berdecak kagum. “Kamu bisa diandalkan ternyata.” Segepok uang diulurkannya pada Ia.
“Saya suka cara kerjamu, mulai besok kamu bisa menyediakan rangkaian bunga sesuai pesanan saya?”
“Seperti apa, Pak?”
“Saya akan kirim gambarnya padamu. Kamu tinggal mencari bahan dan segala perlengkapannya. Bagaimana?”
“Saya bisa Pak.”
“Oke, kita buat kontrak kerja mulai besok. Ini cukup?” Kembali segepok uang dari saku Pria itu diakeluarkan.
“Cukup, Pak. Cukup.”
“Baiklah. Masukkan semua bunga ke dalam mobil pick up saya. Besok saya akan kembali.”
Begitulah hidup, mudah sekali berubah. Ia yang biasanya tak pernah memegang uang jutaan, hari ini menggenggam puluhan juta.
Waktu kembali melesat pada dua insan yang dirundung kegalauan.
“Mas, kamu gak akan berusaha mengambil hati ayahku?”
“Dengan apa? Aku tak punya apa pun untuk dibanggakan.”
“Kamu sudah sukses sekarang. Kamu pantas dihargai, Mas.”
“Oleh ayahmu? Aku tak berharap banyak. Aku sudah sangat terluka.”
Ia memilih pergi, membiarkan Gadis yang dicintainya memohon sambil berlutut di depannya. Ia tak mau mengemis, Ia tak mau direndahkan. Ia butuh waktu untuk memaafkan dirinya. Jika memang ayah Gadis itu menerima, bukan karena kebangkrutan usaha keluarganya atau karena Ia telah kaya raya.