Berdamailah, Iman!
Oleh : Laely Maulidyah
Prolog
Santri ialah bukan seorang yang mondok saja, melainkan siapa pun yang berakhlak santri, maka dialah dapat disebut santri.
_Gus Mus_
***
Salju perlahan turun memadati ruas jalan menuju kompleks Prospect Mira. Bak kapas yang beterbangan, salju menutupi semua bangunan yang tersaji di jalanan. Katedral-katedral yang menjadi bangunan pokok Kota Moskwa pun mulai tertutup salju. Begitu pun deretan pohon bereozka yang telah memutih. Di Bandara Sheremetyovo, Haikal Kamil bertemu dengan Kaffa Aloyoshenka, seorang berkebangsaan asli Rusia dan memeluk agama yang sama, yakni Islam. Mereka pertama kali dipertemukan di sana, tetapi percakapan yang mereka obrolkan selama perjalanan menuju tempat yang dituju menunjukkan bahwa pertemanan mereka telah berlangsung lama.
Haikal Kamil ialah seorang penulis asal Indonesia yang hendak mengisi pada beberapa acara di ibu kota Rusia tersebut. Ia mengenali Kaffa Aloyoshenka sejak satu tahun lalu. Mereka dipertemukan pada acara yang sama saat berada di Sydney untuk memenuhi panggilan seminar kepenulisan bersama beberapa penulis yang berasal dari negara yang berbeda. Mereka sama-sama sedang menjalani studi sarjananya dan berada dijenjang semester yang sama. Kaffa ialah seorang mahasiswa prodi filologi di Universitas Lomonosov Rusia atau yang biasa dikenal dengan sebutan MGU.
Sepanjang jalan mereka mendapati muda mudi yang tengah memadu asmara dan melakukan hal-hal yang tak layak dilakukan di muka umum. Kemudian terdapat pula seorang perempuan berwajah jelita membawa biola dan berkostum lengkap menggunakan palto berwarna marun. Beberapa detik kemudian, Kaffa melemparkan pertanyaan kepada seorang yang berada di sampingnya.
“Haikal, bagaimana menurutmu tentang pemandangan Moskwa sepanjang jalan ini?” tanya Kaffa penasaran dengan bahasa Rusia yang fasih.
“Hhmmm, pemandangan yang mana, Kaffa? Perempuan pembawa biola tadi?” jawab Haikal menggunakan bahasa Rusia yang fasih pula.
“Bukan, sebelumnya … ingat, kan?”
“Oh, itu …. Iya, sedikit ingat, muda-mudi yang berciuman tadi?”
“Iya, jangan kaget, ya, di negara yang penduduknya banyak menganut kepercayaan Kristen Ortodoks ini memang sudah tidak asing pemandangan seperti tadi!”
“Iya, sudah tahu kok, dari buku-buku yang sempat ditamatkan sebelum aku memutuskan untuk benar-benar pergi menuju Rusia ini,” jawabnya tenang.
“Wah, baguslah … aku tak perlu menceritakan mengenai banyak hal tentang Rusia ini, tapi kalau kamu butuh informasi tentang kota ini, aku siap membantu kok,” tutur Kaffa ramah.
“Ashiyap! Tapi, kamu hebat, ya, bisa bertahan di kota ini, tanpa khawatir imanmu akan luntur, Kaffa!”
“Alhamdulillah karena aku tinggal di lingkungan yang tepat. Jalan Prospect Mira, tepatnya. Di sana terdapat masjid yang letaknya di samping bangunan Olympic Indoor Stadium Pusat Kota Moskow. Masjid tersebut biasa disebut masjid Katedral. Tuh, masjidnya di depan kita!” ucap Kaffa sambil menunjuk ke arah masjid yang berada di depan mereka.
“Aku juga akan tinggal di lingkungan sini, kan, selama tiga hari di Moskwa ini, Kaffa?” tanya Haikal.
“Iya, tenang saja, tapi aku nggak bisa selalu standby bersamamu. Besok ada pertemuan yang harus dihadiri di Jalan Novokusnetskaya Ulista.”
“Oh, ya udah, mangga … aku nggak bisa melarang,” pasrah Haikal.
Keesokan harinya, salju kembali turun. Suhu udara menunjukkan pada angka -15◦C. Namun, seusai salat Duha, Haikal telah bersiap menuju MGU untuk mengisi seminar di almamater sahabatnya, Kaffa. Mereka berdua termasuk orang-orang yang berlatar belakang religius. Haikal telah menghabiskan waktu 7 tahunnya di salah satu pondok pesantren di Kediri, sedangkan Kaffa telah menamatkan SMA-nya pada salah satu negara di Timur Tengah. Tak lupa, sebelum berangkat menuju MGU, Haikal disuguhkan beberapa makanan khas Rusia, seperti sop ukha, sop bros merah, roti baton, dan lain-lain.
Satu jam sebelum acara seminar kepenulisan di MGU dimulai, Haikal telah berada di ruangan yang telah disiapkan oleh pihak kampus tersebut. Kaffa berpamitan kepada Haikal setelah Haikal memasuki ruangan tersebut. Sedetik kemudian, seorang perempuan berhidung mancung dan bermata biru terlihat mendekati Haikal yang tengah santai di luar ruangan tersebut. Tiba-tiba ia mendekati Haikal dan berdiri di sampingnya.
“Dabro dent! Kak vasha dela?” tanya perempuan beramput pirang itu.
“Dabro dent. Ya vso kharasyo,” jawab Haikal tenang dengan mata berbinar.
Gadis yang memiliki nama lengkap Evgenia Nikolaevna tersebut memperkenalkan diri dan mengajak Haikal berbicara mengenai “Asyiknya Jadi Mahasiswa” dan Haikal pun menyanggupinya hingga 20 menit terakhir menuju acara yang akan diisi oleh Haikal. Ia pamit kepada gadis berambut pirang yang berada di hadapannya, dan mencoba mengajaknya untuk menjadi salah satu pendengar seminar yang diisi oleh dirinya. Namun, gadis itu menolaknya karena ada hal lain yang lebih diprioritaskan, dan Haikal tak berpikir panjang, ia meminta nomor ponsel gadis itu dan tak lama ia meninggalkannya.
Dua jam berlalu, seminar yang diisi oleh penulis dari beberapa negara tersebut telah usai. Haikal dan beberapa pengisi seminar pun saling berjabat tangan menandakan perpisahan di antara mereka. Haikal yang kala itu adalah pembicara terakhir yang meninggalkan gedung itu seusai melaksanakan salat. Kedua bola mata Haikal tertuju pada seorang yang berada di seberang dan sedetik kemudian, Haikal menuju gadis yang menyuguhkan senyuman nan menawan itu. Mereka kembali bercengkerama mengenai hal apa pun, baik tentang Indonesia maupun Rusia hingga langit menampakkan sisa senjanya.
Bulan telah menampakkan cahayanya. Haikal menceritakan kejadian yang terjadi di MGU tadi siang kepada sahabatnya, Kaffa. Ia menceritakan tentang gadis jelita yang ia temui sebelum dan sesudah mengisi seminar kepenulisan itu. Ia memujanya bak tak ada wanita lain yang lebih jelita darinya. Pada akhir ceritanya, ia berniat menikahi wanita tersebut. Sedetik kemudian, Kaffa memberikan nasihat akan kehidupan wanita Rusia, apalagi kalau ia berbeda agama.
“Siapa namanya, Haikal?” tanya Kaffa penasaran dengan bahasa Rusia yang fasih.
“Namanya cantik seperti parasnya, Evgenia Nikolaevna,” jawab Haikal sambil mengingat gadis itu.
“Hah? Serius, Haikal?” tanya Kaffa memastikan.
“Emangnya kenapa? Ada apa dengan dia?”
“Dia itu seorang Yahudi yang taat, dan atas hal tersebut, ia pun terkenal sebagai orang yang memiliki kekuasaan untuk melakukan apa pun yang ia mau dan dengan siapa pun,” jelas Kaffa dengan nada agak tinggi.
“Wah, berarti dia pemberani, ya, Kaffa?” tanya Haikal dengan mata berbinar.
“Ah … maksudku ia seorang yang sangat bebas hidupnya atau dapat disebut dengan pekerja seks komersial, atau bahasa halusnya guide, tetapi untuk kalangan tertentu saja,” tambah Kaffa.
“Hah, kamu serius, Kaffa? Tapi tadi dia terlihat baik-baik saja,” ungkap Haikal membela gadis yang baru ia temui itu.
“Iyalah, dan kalo dia tau agamamu adalah muslim, ia akan berusaha untuk menyingkirkanmu atau paling tidak menyakitimu!” ucap Kaffa memberi tahu.
“Ah, jangan suuzan gitu, Kaffa … kan, agama kita mengajarkan kita untuk berbaik sangka!” ucap Haikal membelanya kembali.
“Nggak gitu, Haikal, tapi ini kenyataan, kalo kamu nggak percaya, coba besok kamu ke MGU lagi dan tanyakan kepada beberapa mahasiswa yang kamu temui di sana, tentang nama gadis yang kamu puja tadi!”
“Iya, besok aku ke sana lagi, Kaffa.”
“Baguslah. Saranku, kalo kamu berniat menikahinya, pikirlah dua atau tiga kali dalam mengambil keputusannya, karena menikah adalah ibadah yang paling lama dalam kehidupan kita,” tutur Kaffa lembut.
“Ah, gampang kalo pun ia berbada agama, aku akan mengajaknya menjadi seorang muslimah!” bantah Haikal.
“Nggak mudah, Haikal … dia seorang Yahudi yang taat, Haikal, nanti yang ada malah kamu yang terbawa! Kamu harus ingat, kamu pernah berada di pesantren selama tujuh tahun, dan waktu tujuh tahun itu bukan waktu yang singkat untuk mendidik imanmu, jadi jangan sampai kamu meninggalkan imanmu demi satu orang yang kamu agung-agungkan kecantikannya! Ingat itu, Haikal!”
“Udah, ah, aku masuk kamar duluan, ya!” ucap Haikal menyudahi pembicaraan.
Hari berganti, fajar telah menjemput di balik dedauan walaupun tak sempurna. Tak luput, salju tipis masih bertebaran dengan riang. Seusai Subuh, ia mencoba menelepon gadis yang semakin membuatnya gelisah akan kecantikannya yang selalu ia tampakkan pada setiap bola mata yang tertuju padanya. Ternyata, beberapa kali Haikal menelepon, tetapi tak kunjung terjawab, dan ia pun memutuskan untuk mengirimkan pesan untuknya yang berisi permintaan untuk sebuah pertemuan.(*)
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata