Berbagi Bintang

Berbagi Bintang

Oleh: Lutfi Rosidah

Riang, begitu Ibu memberiku nama. Seperti sebuah harapan, Ibu ingin aku tumbuh menjadi gadis yang bahagia. selalu, dia akan mengulang cerita bagaimana aku dilahirkan susah payah dengan taruhan nyawa. Sayangnya kehidupan tidak selalu semulus doa-doa yang dipanjatkannya. Bukan karena kurang keras usaha, jika sampai usiaku menginjak angka 30, aku belum bertemu jodoh, hanya mungkin butuh waktu dan kesabaran.

Saat sore menjelang Ibu mulai menyusun tangga pijakan doa. Dia memilih bambu terbaik yang dipesannya dari Pak Karim—seorang perajin di desa kami. Bahkan wanita yang kepalanya sudah dipenuhi rambut berwarna perak itu, ikut menyertai Pak Karim memotong bambu di kebunnya.

“Seharusnya kamu membeli bambu lebih banyak, Bu. Biar pijakan doamu tinggi. Lihat saja anak Pak Lurah, baru lulus SMA sudah mau menikah. Mereka selalu membeli banyak bambu terbaik setiap hari. Beberapa kali mereka mengundang tetangga, bersama memanjatkan doa di rumahnya.”

“Untuk makan sehari-hari saja aku pas-pasan, Pak. Bagaimana harus membeli banyak bambu terbaik setiap hari dan memberi makan para pembaca doa?” terang Ibu, saat tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan mereka di teras rumah.

Aku percaya dengan omongan Ibu. Dia tak pernah absen memanjatkan doa setiap malam. Tapi aku juga paham kondisi ekonomi membuat pijakan bambunya tak terlalu tinggi. Ada yang menyarankan untuk membuat Jarak lebih lebar demi bisa lekas mencapai langit dan kudapatkan bintang doaku. Tetap saja ada kesulitan, doa lebih sulit memanjat, langkah mereka menjadi lamban, terhambat jarak antar pijakan.

Pernah seorang pintar memberi nasehat padaku. Katanya bintangku terlalu tinggi, kemungkinan ada dosa yang pernah kulakukan sehingga tempat doaku digeser oleh malaikat. Aku mulai berfikir tentang dosa apa yang sudah aku lakukan di masa lampau.

Aku berusaha mengingat-ingat. Dulu sekali, ketika aku masih suka main layang-layang dengan anak-anak sekampung, aku pernah menolak pernyataan cinta bocah lelaki yang hidungnya selalu ingusan. Dia memohon-mohon sambil membawakan sekeranjang buah ceri yang dia petik dari pohon yang tumbuh di pinggir lapangan bola. Aku ingat sekali, mulai detik itu aku tak pernah mau menyapanya. Entah kenapa tetiba aku mual setiap melihat mukanya.

Aku ingin menemui bocah lelaki itu. Jika aku memperoleh maafnya, mungkin bintangku bisa digeser lebih rendah. Sayang, pemuda itu sudah pindah rumah setelah ibunya meninggal. Aku hanya menemukan rumah yang sudah ditempati orang lain. Pupus sudah harapanku.

**

Seorang pria berbicara sambil menunjuk sebuah boks bayi yang terletak di ruang isolasi—tempatku bekerjai. Ternyata ada anggota baru di ruang ini, sepertinya tadi malam, ketiaka pergantian shift ada pasien baru. Aku tak banyak bertanya lagi dan segera bergegas menuju boks yang dimaksud. Bayi malang. Dia berusia satu hari dengan infeksi pada pusar. Aku membetulkan letak selang oksigen yang sedikit bergeser dan mengecek selang infusnya.

Aku keluar setelah memastikan tak ada masalah. Dia menunggu di depan dengan sabar. Mukanya tampak letih dengan lingkaran hitam di sekitar matanya. Senyumnya tak bisa menutupi kekhawatirannya

Bulan telah bulat sempurna ketika aku melangkah pulang setelah perawat shif berikutnya datang. Tampak pria itu masih setia duduk di bangku besi di taman depan ruang isolasi. Ingin kuhampiri tapi kuurungkan. Sudahlah, aku harus segera pulang, Ibu pasti masih sibuk memanjatkan doa, aku akan membantunya.

Kelak ketika aku telah memiliki anak, aku juga harus menyusun tangga pijakan dan memanjatkan doa untuknya. Aku harus banyak belajar. Beruntung, sejak bekerja di sini, aku bisa menyisihkan uang untuk membeli bambu terbaik.

**

“Anda sepagi ini sudah di sini?” tanyaku melihat bapak muda itu, sudah duduk di bangku panjang yang sama.

“Eh! Mbak. Iya saya gak pulang semalam.”

“Anda tidur di sini? Sendiri?”

“Iya,” jawabnya sedikit menutupi wajah canggungnya. “Tolong bayinya dicek ya, Mbak,” pintanya mengalihkan pembicaraan.

Aku menganggguk dan berlalu menuju ruang isolasi.

Ada sedikit penasaran melihatnya, kenapa tak pernah nampak istrinya menjenguk? Ah! Mungkin istrinya sedang sibuk memanjatkan doa untuk si bayi.

Kembali aku mengecek pasien. Tak ada tambahan hari ini, malah berkurang. Dua bayi sudah dipindah, satu lagi kemungkinan besok baru pindah dan seorang lagi meninggal dunia. Selalu seperti ini, ada saja pasien yang akhirnya harus pergi selamanya. Selalu ada perih setiap menerima kabar duka. Tapi mau bagaimana, terkadang doa banar-benar tak mampu sampai pada bintangnya.

Malam ini aku tak bisa menemani Ibu memanjatkan doa, perawat shif setelahku harus absen. Anaknya sakit, harus segera memanjatkan doa malam ini. Aku pahami itu, ada hal yang tak mungkin diwakilkan pada orang lain.

Angin dingin terasa menusuk kulitku, aku merapatkan jaket wool yang kupakai tapi tak banyak membantu. Samar-samar kutangkap sosok bapak muda itu duduk sendiri di bangku di depan ruang isolasi. Hatiku tergerak mendekatinya.

“Akan bermalam di sini lagi, Pak?”

“Iya, Mbak. Gak tega rasanya meninggalkan bayi itu sendirian.”

“Anak pertama ya? Ibunya pasti sibuk memanjatkan doa.”

“Bukan anak saya, anak kakak saya. Hanya saja ibunya juga masih pemulihan pasca operasi.”

Terasa ada sedikit lega mengetahui dia bukan ayah si bayi.

Seminggu sudah pria itu menyapaku setiap pagi. Bangku panjang di depan ruang isolasi menjadi ranjang spesial baginya. Sejauh ini belum ada perkembangan yang membahagiakan. Aku merasa iba tiap kali melihatnya tampak letih dan berusaha menyembunyikan rasa khawatirnya setiap melihat keponakannya tak banyak bergerak di dalam boks.

Kali ini aku membawakannya secangkir kopi sambil mengajaknya berbincang. Dia menerima dengan ucapan terima kasih. Pandanganku masih lekat padanya saat dia menyeruput kopi. Sedikit salah tingkah saat dia memergokiku. Aku buru-buru menunduk.

“Anda tinggal di dekat sini?” tanyanya mencairkan suasana. “Boleh saya panggil kamu? Rasanya canggung sekali, ber-anda saya.” Mengapa tetiba dadaku terasa menghangat mendengar ucapannya?

Dia tersenyum seolah paham denganku yang mulai salah tingkah.

Kualihkan pandangan pada langit yang tampak cemerlang malam ini dengan sinar bulan yang berpendar membentuk seperti pelangi di sekitarnya. Sinarnya lebih terang dan lebih merah dari biasanya.

“Kabarnya malam ini sedang moonlight. Bagus ya?” ucapnya seraya meletakkan tangannya di sandaran bangku tepat di belakangku. Seketika detak jantungku terdengar lebih keras di telingaku. Aku merasakan hangat di wajahku tapi tak begitu di kedua tanganku, telapakku terasa sebeku es. Kugosokkan keduanya, lalu kusentuhkan pada kedua pipi.

“Kamu kedinginan?” serta merta dia melepas jaketnya dan meletakkan di bahuku. “Kira-kira bintang siapa saja ya, di sana?” lanjutnya seolah tak sadar perlakuannya membuatku kalang kabut.

“Entahlah, seandainya ada satu saja untukku. Setiap malam ibu memanjatkan doa dan menyusun bambu terbaik sebelumnya, namun tak juga kudapatkan bintang doaku.”

“Beruntung masih ada yang memanjatkan doa untukmu. Ibuku meninggal ketika usiaku 5 tahun. Aku dibesarkan oleh kakakku, dia rutin membelikan sebuah bambu terbaik, tapi sering lupa memanjatkan doa. Aku sendiri sudah lupa cara memanjatkan doa. Tak ada yang mengajariku.”

“Maaf,” sesalku.

“Aku percaya semua orang punya bintangnya sendiri. Hanya setiap orang membutuhkan proses yang berbeda untuk mendapatkannya. Aku sendiri tak begitu peduli.”

“Kamu gak punya keinginan?”

“Bohong kalau kukatakan, gak. Kamu sendiri?”

Aku bingung harus menjawab apa. Memalukan jika kukatakan aku ingin menikah. Dia tak lagi melanjutkan pertanyaanya, aku juga. Kami berada di dalam kesunyian beberapa saat.

Setiap malam aku memilih tetap tinggal dengan berbagai alasan. Setiap melihat perkembangan kesehatan bayi itu, hatiku gamang—antara lega dan khawatir. Hingga malam itu, dia datang menemuiku.

“Besok keponakanku pulang. Terima kasih telah membantu selama dia dirawat.”

Mungkin jika usiaku 20 tahun aku akan tersenyum tersipu, menjabat tangannya, sambil meminta nomor ponselnya. Tapi aku gadis berusia 30 tahun, tak pantas lagi bersikap sok imut. Aku hanya mengangguk dan tersenyum simpul saja.

Dia menahan tanganku agar tak berlalu dari hadapannya. Bibirnya membuka menutup beberapa kali sebelum dia berbicara. “Maukan kamu mengajariku memanjatkan doa. Kurasa kakakku terlalu sibuk dengan anaknya sekarang.”

Aku memandangnya, memastikan dia sungguh-sungguh dengan ucapannya.

“Mungkin kita kita bisa melakukannya bersama. Aku akan membuat pijakan lebih banyak dan kau memanjatkan doanya. semoga kita bisa berbagi bintang nantinya.”

Aku menggeleng tapi bukan menolak. Segera kuralat gelengan menjadi anggukan.” Iya! Iya! Aku pasti mau.” (*)

Lutfi Rosidah, perempuan yang punya banyak mimpi.

Leave a Reply