Benih Manis Berbuah Pahit
Oleh: Lutfi Rose
Kukira semua adalah hal yang wajar, ketika kita mencoba hal baru setiap bertemu. Bagaimana segala hal yang berhubungan denganmu adalah menyenangkan. Setiap kali tanpa sengaja tangan kita bersentuhan, ada sengatan listrik yang tiba-tiba membuat otakku serasa berhenti berpikir jernih. Apalagi melihat senyum malu-malumu, argh! Itu membuat debaran jantungku benar-benar berdetak lebih kencang. Kamu tahu, ini berat bagiku. Semua darah seakan naik ke ubun-ubun, memenuhi semua jaringan otak hingga serasa ingin meledak. Sulit sekali menggambarkannya, seperti sesuatu dalam diriku mempunyai cara sendiri untuk merespons segala hal tentang dirimu. Aku seketika terjatuh lalu bertekuk lutut di bawah kakimu.
Kamu bilang semua akan baik-baik saja, ketika langkah kita sudah semakin jauh dan semakin dalam. Kamu menceritakan, pernah suatu malam kamu melakukannya dengan mantan pacarmu yang saat itu masih menjadi pacarmu tentunya. Aku mendengarkan semua ceritamu dengan saksama, bukan sepenuhnya mendengar tepatnya, tapi memperhatikan setiap gerak bibirmu yang semua itu membuat naluriku ingin menyentuhnya. Kamu tahu? Makin aku mendengar makin aku merasa segala yang kamu ceritakan menarik dan aku juga ingin merasakan dengan mencobanya. Pikiranku menggiringku pada pembenaran atas apa dan bagaimana kita akan melakukannya. Aku katakan sepertinya aku mulai memahami ceritamu, sepertinya ini bukan hal yang asing, ya! Aku pernah tanpa sengaja melihat ayah dan ibuku melakukannya di tengah malam, ketika aku terjaga, lalu mendapati mereka yang bergerak serupa yoga yang tak terarah. Aku takut, takut sekali, kemudian menutup mukaku dengan selimut, lalu tanpa sadar aku kembali tertidur. Kukira jika orangtuaku bisa melakukannya, tentunya kita boleh mencobanya.
Siang itu, siang di mana rumahmu sedang sepi. Kamu mengajakku masuk ke dalam kamarmu. Kamu meyakinkanku semua akan baik-baik saja—kamu pernah melakukannya, itu sangat menyenangkan, dan sampai hari ini kamu masih baik-baik saja. Aku merasa ada sisi lain diriku yang melarang mengikutimu, namun insting lelakiku sungguh tak mampu aku tahan. Aku kalah dengan debaran yang membuncah yang terus naik ke ubun-ubun, gerah dan ah! Aku ingin menerkammu. Aku mau! Aku ingin semua yang kamu tawarkan kali ini. Ya! Persetan dengan apa yang akan terjadi, kita saling mencintai dan saling menginginkan, kurasa itu alasan yang cukup kuat untuk melakukannya. Semua luruh, aku cecap semua suguhanmu, aku raih segala puncak kenikmatan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Ini sungguh luar biasa, aku bahagia dengan sesungguhnya.
Rasa yang kita raih satu waktu itu, memberi sensasi yang mencandu. Rasa rindu kerap mengganggu di sela senggangku. Wajahmu, senyummu, sentuhanmu, serta segala suguhanmu membuat rinduku makin menggelora. Aku meminta meski kamu tak menawarkan lagi. Rasa khawatir tak lagi aku takuti. Bodo amat dengan semua itu, aku ingin lagi dan lagi. Dan dengan senang hati kamu berikan semuanya. Kita berubah jadi dua mahluk yang sudah sakau dan saling mencandui.
Semua masih baik-baik saja, sangat baik dan bahagia. Hingga … di sebuah pagi, kala kita hendak berangkat ke sekolah, kamu bercerita, bulan ini kamu datang terlambat. Ayahmu mulai bertanya mengapa pembalut bulananmu masih utuh di atas lemari. Wajahmu mulai gusar, matamu memandang tak terarah, mencari arah pandangan yang sekira mampu menenangkanmu. Aku? Tak tahu harus menghiburmu dengan apa. Satu-satunya jalan adalah berterus terang pada orangtua kita. Dan kamu menyetujui usulanku.
Seperti kesatria berpedang, aku menghadap ayahmu pagi itu juga. Kita duduk di ruang tamu tempat biasanya kita bercanda berdua. Namun entah mengapa pagi ini ruangan tiba-tiba terasa dingin, lebih dingin dari terpaan angin pagi tadi, ketika aku keluar rumah hendak menjemputmu. Kamu menggenggam tanganku erat, seolah memberi penyemangat bahwa semua akan baik-baik saja.
Hari itu akhirnya menjadi pilihan kedua keluarga kita. Janji suci aku ikrarkan di hadapan ayahmu sebagai bukti bahwa aku adalah lelaki yang bertanggung jawab dan bisa diandalakan. Sebuah pilihan dengan konsekuensi yang berat. Kita harus berhenti sekolah di usia yang masih belia. Kita harus menandatangani surat pernyataan dengan meterai, karena usia kita yang masih belum cukup umur untuk menikah.
Sehari-dua hari semua tampak mudah. Hal yang paling aku suka, setelah prosesi itu adalah kita bisa melakukannya kapan pun. Setiap aku ingin, takkan ada yang melarang kita. Rumah yang disewakan ayahku untuk kita tinggal berdua, membuat kita leluasa berbuat apa pun yang kita mau. Semua bagian rumah ini menjadi saksi, bagaimana dua anak manusia dimabuk kepayang. Aku berpikir, mengapa tak dari awal kita minta menikah saja.
Bulan pertama kita lalui dengan sangat menyenangkan. Uang saku yang kita dapat dari hadiah pernikahan lumayan bisa memenuhi segala kebutuhan sehari-hari. Tapi bagaimana uang yang terus dipakai takkan berkurang? Mustahil. Lama kelamaan uang itu makin menipis, membuat kita harus berbicara serius di sore itu. Aku harus bekerja, demikian jalan keluar yang kita dapatkan dari diskusi berdua.
Aku mulai menghubungi beberapa orang yang kukenal, barangkali mereka bisa memberi pekerjaan. Aku menelepon seorang teman Ayah untuk mencari kerja. Dia menanyakan ijazahku, aku bingung mau menjawab apa, secara aku tak lulus sekolah menengah atas. Dan ternyata mencari kerja dengan ijazah tamatan SMP itu susah.
Pada akhirnya aku menerima tawaran seorang kenalan menjadi kuli angkut di pasar di pagi hari, dan menjadi pekerja serabutan ketika tetangga membutuhkan tenaga mengecat rumah atau membersihkan kebun. Aku mulai merasa lelah menjalani semua ini. Rasa iri ketika melihat pemuda sebayaku berjalan memakai seragam sekolah seraya bercanda bersama teman-temannya. Aku mulai menyadari betapa menjadi lelaki bertanggung jawab itu tak semudah bayanganku. Aku harus tetap bekerja meski badan setiap hari terasa remuk redam. Belum lagi kamu mulai rewel ingin makan ini-itu, atau mengeluh kakimu yang sering pegal ketika berjalan seiring bertambahnya usia kandunganmu dan mulai bengkak. Meski lelah dengan terpaksa aku tetap memijat kakimu menjelang tidur.
Perutmu makin membesar dan kita semakin gusar. Orangtua kita menyuruh agar kita mulai menabung untuk persiapan persalinan, tapi apa yang harus ditabung, jika untuk keperluan setiap hari saja kita masih berantakan. Kita bahkan harus benar-benar berhemat dalam memilih menu makanan, memilih makanan yang paling murah di warung, karena kamu tak bisa memasak. Ingin merutukimu tapi aku tak tega saat melihat genangan air mulai menganak di kedua matamu.
Kalau aku boleh jujur, aku menyayangimu dan bahagia menikahimu, tetapi mengapa ini terlalu berat untuk kita lalui. Kalau saja boleh, aku ingin mengibarkan bendera putih dan menyerah. (*)
Lutfi Rose, seorang ibu yang belajar banyak hal dari putra putrinya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata