Benggol dan Natal yang Sepi
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda
Benggol kembali bersandar di birai jendela, memperhatikan hujan yang terus membasahi desanya. Ini sudah jam sebelas siang. Di hari biasa, alias hari libur sekolah, ia serta teman-temannya sudah pasti tengah bermain entah di mana, seperti kutu loncat, dan baru akan pulang saat Zuhur. Benggol akan mengikuti teman-temannya ke musala terdekat, menunggu mereka salat seraya duduk termangu di teras depan. Kemudian, setelah seseorang yang disebut “imam salat” mengucapkan salam, teman-temannya akan menemuinya, dan mereka akan pulang bersama-sama. Mengulang rutinitas serupa esok hari.
Itu kalau hari biasa.
Benggol mengetukkan jari ke birai kayu berulang kali, kemudian mengingat-ingat rutinitasnya selama ini: sebelum Natal, mayoritas warga desa akan berkumpul di Gereja St. Hilarius, membantu persiapan penyambutan kelahiran Yesus, sedangkan Ibu akan menyiapkan makanan serta camilan untuk disajikan saat Hari Natal. “Orang-orang akan datang ke rumah kita dan kita wajib menjamunya dengan baik. Sama seperti yang mereka lakukan bila kita berkeliling saat Idul Fitri,” jelas Ibu dulu sekali, sambil tersenyum.
Benggol sendiri selalu menantikannya. Usai Misa Natal, ia akan duduk di ruang tamunya yang sederhana bersama Ibu dan Bapak. Suasana rumah menjadi ramai, dan Benggol menyukainya. Ia bahkan selalu siap ketika Ibu memintanya “menjaga” ruang tamu sebentar, sementara Bapak dan Ibu beristirahat di rumah belakang. Baginya, pintu tidak boleh ditutup agar orang-orang bisa terus datang, dan Natal menjadi ramai, hangat, kendati selalu bersamaan dengan musim penghujan.
Namun, tahun itu Ibu tidak mempersiapkan apa pun. Ia tidak memasak atau menyiapkan camilan. Pohon natal dihias sekadarnya. Ketika pergi ke Gereja St. Hilarius, membantu persiapan Misa Natal, pun hanya sedikit orang yang datang membantu—hanya sedikit anak kecil yang bisa diajak bermain di sana.
Ketika menanyakannya, hujan lamat-lamat turun, dan Ibu menjawab, “Hari ini orang-orang sangat sibuk, karena itu tidak bisa membantu persiapan Misa Natal. Atau, berkunjung ke rumah kita saat Hari Natal. Jadi, kita tidak perlu menyiapkan apa pun di rumah. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya.”
“Kesibukan seperti apa?” tanya Benggol dengan nada kecewa.
“Sawah, perayaan Tahun Baru … banyak, lah.”
“Tahun lalu juga begitu.”
“Tapi, kali ini pekerjaannya jadi lebih berat dari tahun lalu.”
“Bukankah kunjungan seperti ini tidak butuh satu-dua jam? Kalau memang sibuk, bukankah Bapak mestinya juga ikut membantu mereka?”
Ibu berjongkok, kemudian mengusap rambutnya. “Ada beberapa ‘kesibukan’ orang dewasa yang tidak dapat kamu mengerti sekarang, Nggol.” Ibu memandangnya dalam, dan Benggol temukan ceruk lengang yang menggelisahkan. Lengang yang sejak tahun lalu ia rasakan melingkupi desanya.
*
Benggol menyukai keramaian. Ia suka keramaian yang terjadi saat ada salah seorang warga mempunyai hajat, saat desa menggelar perayaan besar, atau saat rapat bulanan perangkat desa diadakan di rumahnya. Ia suka gema azan yang terdengar minimal lima kali sehari serta suara orang yang mengaji di musala dekat rumahnya. Bahkan, ia kadang kala mengajak beberapa temannya ke Gereja St. Hilarius pada hari Minggu dengan dalih agar tidak bosan. Keramaian membuat orang merasa aman dan dicintai, entah kenapa.
Namun, setelah beberapa orang pindah dan berita-bising-yang-tidak-dapat-Benggol-pahami berkali-kali tayang di televisi, orang-orang menjadi lebih banyak diam. Saling pandang tajam. Benggol pernah mendengar, warga desa mempermasalahkan program beras gratis oleh Gereja St. Hilarius. Ia pun merasa canggung setiap duduk di teras musala, entah untuk menunggu teman-temannya keluar atau karena ingin mendengar orang-orang yang mengaji. Itu tentu saja menyebalkan, terutama bagi Benggol yang memang menyukai keramaian.
Oleh karena itu, malam sebelum pergi ke Gereja St. Hillarius—setelah percakapannya dengan Ibu—ia lekas mendatangi teman-teman yang tinggal cukup dekat dengan rumahnya, mengundang mereka datang untuk membuka kado Natal dan bermain seharian. Benggol memaksa Ibu untuk tetap membuka pintu saat Hari Natal, bahkan berencana akan membungkus barang-barang miliknya kalau memang hadiahnya kurang.
Ibu menyerah.
Pintu dibiarkan terbuka.
Benggol duduk di meja tamu. Menunggu. Seperti biasa.
Namun, tidak disangka, hujan turun amat deras. Meramaikan rumah yang lengang. Menjauhkan Benggol dari fantasinya beberapa waktu lalu.
*
Sebetulnya, yang Benggol nanti setiap Hari Natal adalah interaksi yang terjadi setiap ada tamu yang datang; pembicaraan tentang sawah, jalan makadam yang belum juga diaspal oleh Pemerintah, serta persiapan untuk memeriahkan Tahun Baru; teman-teman Benggol yang datang untuk bermain seharian di sana. Waktu itu, kendati udara sangat dingin, sebagaimana suasana khas musim hujan di dataran tinggi, keramaian tersebut dapat menghangatkan rumah Benggol. Dan, Benggol menyukainya. Sangat.
Namun, hal-hal berubah. Natal tahun lalu, warga desa hanya sedikit yang bertamu. Kalaupun bertamu, biasanya hanya membicarakan hal-hal remeh selama beberapa menit, kemudian pergi dengan canggung. Tanpa makan. Tanpa minum. Tanpa kehangatan.
‘Mungkin, karena mereka sudah kenyang, atau ingin makan dan minum sesuatu yang lain’, demikian Benggol berpikir, tetapi suasana berangsur menjadi sepi. Bahkan tahun ini, Ibu berkata mereka tidak perlu menyiapkan camilan di meja tamu, karena orang-orang sangat “sibuk”. Entah sibuk apa.
“Mungkin, karena orang-orang mesti lebih ekstra mengurusi sawah mereka. Atau, karena ini musim penghujan, dan menghabiskan waktu di rumah sendiri sepertinya lebih asyik daripada bertandang ke rumah orang lain.”
Atau, yang lain.
Benggol ingat, malam 25 Desember tahun lalu, Bapak menggerutu pada Ibu, “Wong-wong wes padha mikir seng ora-ora[1].”
Ibu meliriknya. Menarik Bapak menjauh. Membiarkan angin menggigil memeluk Benggol yang termangu sambil mengusap kotak kado yang belum dibuka.
*
Hujan masih saja turun. Malah, tambah deras. Langit kelabu. Jalanan lengang. Benggol masih bersikeras, memaksa Ibu agar tidak menutup pintu, tetapi udara makin dingin, dan warga desa belum juga datang.
“Mungkin, karena hujan. Atau, kesibukan. Bapak-bapak biasanya bersikeras pergi ke sawah untuk mengecek air. Atau, orang-orang memang ingin berada di rumah, bersama ‘keluarga’ mereka. Ya, ya, bisa jadi seperti itu. Dan, karena itu teman-teman tidak datang ke sini.”
Benggol menghela napas, kemudian memutar pandangan: meja ruang tamu yang kosong; pohon natal yang berpendar membosankan; salib di atas pintu masuk. Ia teringat omongan ibunya tentang orang-orang yang sibuk dan tidak akan berkunjung di Hari Natal, sehingga mereka tidak perlu mempersiapkan baju baru atau jamuan sederhana untuk menyambutnya, sebagaimana yang biasa dilakukan di tahun-tahun sebelumnya. Ia teringat ajakannya pada teman-temannya untuk berkunjung sehingga mereka bisa membuka kado Natal bersama-sama. Ia teringat hujan yang terus turun sejak Misa Natal, kemudian, alih-alih menggerutu, ia menalikan jemari, lantas berdoa: semoga hujan segera reda … dan Natal tidak lagi sesepi apa yang ia rasakan tahun ini. (*)
Ponorogo, 6 Desember 2019
[1] (bahasa Jawa) Orang-orang sudah berpikir yang tidak-tidak
Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.