Benalu (Part 1)
Oleh: Nuke Soeprijono
Aku mencari nama Dewi pada kontak ponselku. Setelah tiga hari aku pikirkan, inilah saatnya resah dalam hatiku harus segera mendapatkan obat penenangnya.
“Halo, Dew. Lagi apa? Sorry, ya, malam-malam ganggu,” kataku sedikit berbasa-basi setelah Dewi menerima panggilan telepon dariku.
“Lagi nyantai aja, Mel. Ada apa?” jawab Dewi.
Sejenak aku terdiam. Mencoba meyakinkan diri untuk menjawab pertanyaannya. Aku menggigit bibirku, berusaha menghalau segala rasa tak enak yang tiba-tiba menyergap. Lalu dengan hati-hati kuutarakan maksudku pada Dewi.
“Hmm … sepertinya aku mau datang ke rumahmu. Boleh, ya? Aku mau cari kerja aja di Surabaya. Kira-kira gimana, ya, Dew? Ada peluang enggak, ya?”
“Lho, kerjaan kamu kenapa memangnya? Hmm … tapi ayo aja, sih. Kalo gitu kamu kesini dulu aja. Kita pikirkan sama-sama setelah ketemu. Mungkin di kantor teman-temanku ada yang butuh orang.” Jawaban Dewi sedikit melegakan hatiku. Setidaknya, dengan Dewi mau menerima aku sementara di Surabaya, peluangku untuk segera lepas dari keluarga Mas Ibra akan segera terwujud.
“Oke, makasih, ya, Dew. Paling lama dua hari lagi aku berangkat dengan kereta pagi.”
“Siap, deh. Aku tunggu, Mel. Kabarin aja lagi kalo kamu sudah berangkat, ya,” kata Dewi terdengar tulus.
***
Sore ini, urusanku dengan Bu Mona selesai. Dengan wajah sendu, janda beranak dua itu merelakan aku keluar kerja. Maklum saja, Bu Mona begitu sayang dan sudah menganggap aku selayaknya anak sendiri. Mungkin ini karena aku adalah karyawan satu-satunya di toko kelontong yang miliknya. Dan, sebenarnya aku pun berat hati meninggalkan perempuan paruh baya–yang masih terlihat sehat dan cantik–itu untuk bekerja sendiri, sebab anak-anaknya sering sibuk kuliah hingga sore hari. Akan tetapi, bukankah aku juga berhak untuk memikirkan jalan hidupku sendiri? Kuharap Bu Mona benar-benar mau memaafkan keegoisanku ini.
Azan Magrib baru saja selesai berkumandang saat aku memasuki halaman rumah Mas Ibra. Terlihat dia sedang duduk di teras depan bersama Biyu, putra semata wayangnya yang baru berumur setahun. Bayi lelaki yang sedang lucu-lucunya itu terlihat menggerak-gerakan kedua tangannya untuk menggapaiku.
“Sebentar, ya, Anak Ganteng. Tante mandi dulu,” kataku lembut. Biyu terlihat meronta. Dia merengek pada papanya, ingin segera kugendong. Aku melirik sekilas pada Mas Ibra yang tampak sebal dengan tingkah bayinya. Namun, tak kuhiraukan hal itu. Biar saja Mas Ibra yang menenangkan Biyu. Toh, mungkin Mbak Lisbet pun ada di kamarnya meski Biyu menangis.
Aku dan Mas Ibra adalah dua bersaudara. Hidupku sebenarnya baik-baik saja sebelum kedua orang tuaku meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat dua tahun yang lalu. Aku masih kelas tiga sekolah menengah saat itu. Maka secara otomatis semua tanggung jawab beralih pada Mas Ibra, kakakku satu-satunya.
Tahun pertama aku menumpang hidup di rumah Mas Ibra, keluarganya masih baik-baik saja. Kami hidup sederhana dengan Mas Ibra yang mencukupi keluarga kecilnya. Istri Mas Ibra—Mbak Lisbet—sebenarnya juga bersikap baik padaku selama aku tinggal di sana. Namun, pandemi yang meluluh lantakkan hampir semua sumber penghidupan di negeri ini membuat Mas Ibra harus dirumahkan. Dari situlah awal keresahanku.
Sudah dua bulan ini hampir setiap hari aku mendengar Mas Ibra dan Mbak Lisbet bertengkar. Mulai dari soal Biyu yang masih sering mengompol, yang karena itu akan menambah volume cucian Mbak Lisbet; menu masakan Mbak Lisbet yang mendadak jadi itu-itu saja; hingga masalah yang sedikit berat dari pada hal-hal tadi: aku dianggapnya sebagai benalu.
Aku tidak tahu kenapa Mas Ibra bisa setega itu mengatakan adiknya ini benalu. Jika boleh aku membela diri, bahkan sebagian gajiku selama bekerja di toko Bu Mona kuberikan kepada Mbak Lisbet. Meskipun tidak bisa dikatakan besar, tapi kurasa itu cukup membantu dapur Mbak Lisbet tetap ngebul. Aku juga ikut membantu mengasuh putra mereka yang masih berumur setahun itu jika sedang libur kerja. Singkatnya, jika aku dikatakan benalu dalam keluarga Mas Ibra, aku tersinggung, dan ada rasa tak rela dalam hati.
Maka itu, aku putuskan akan berangkat ke Surabaya untuk menemui Dewi, sahabatku sejak kecil. Papaku dan Papa Dewi dulu karyawan di perusahaan perkebunan milik negara. Mereka sama-sama duduk sebagai staf pada posisi cukup penting di kantor tersebut. Sedangkan Mamaku adalah ibu rumah tangga biasa. Berbeda dengan Mama Dewi yang seorang dokter umum di rumah sakit swasta di Surabaya. Sejak kecil aku dan Dewi selalu bermain bersama. Rumah kami berdekatan dan kami seumuran. Saat itu aku dan Dewi duduk di kelas empat SD. Kami sering menghabiskan waktu dengan main bersama, sementara Mas Ibra—yang saat itu masih berseragam putih biru—lebih sering asyik sendiri dengan teman-temannya setiap pulang sekolah. Dan, hingga akhirnya saat aku dan Dewi kelas enam, kami harus berpisah sebab Papa dipindah tugaskan ke Semarang.
Semakin lama karir Papa semakin cemerlang. Hal ini ditandai dengan seringnya beliau mendapat mandat dari kantornya untuk mengecek kinerja divisi lain di luar kota. Biasanya Papa selalu berangkat seorang diri. Akan tetapi waktu itu Mama ikut serta menemani Papa ke luar kota. Dan seperti sudah diatur Sang Pencipta, perjalanan kerja Papa saat itu berujung petaka. Pesawat yang mereka tumpangi meledak di udara sesaat setelah take off dari bandara Ahmad Yani. Hidupku pun ikut hancur bersama musibah ini. Betapa tidak, di saat ujian akhir sekolah menengah di depan mata, aku harus kehilangan kedua orang tuaku. Sedikit beruntung, Mas Ibra sudah menikah pada saat itu, walau pun … ya, dia tentu saja lebih fokus pada keluarga kecilnya.
Mungkin kalian bertanya, kemana harta benda peninggalan orang tuaku? Bukankah itu bisa kujadikan bekal hidup–setidaknya untuk biaya kuliah–setelah menjadi yatim piatu? Memang benar orang tuaku meninggalkan beberapa warisan tanah dan rumah di Surabaya. Akan tetapi—aku benaran tidak menyangka—ternyata itu semua milik perusahaan dan harus dikembalikan jika yang bersangkutan sudah tidak lagi menjabat. Lagi-lagi aku terpukul dan harus berbesar hati menerima kenyataan ini.
***
Setelah selesai salat Subuh dan mempersiapkan segala keperluanku di Surabaya, aku memberanikan diri menemui Mas Ibra. Dia sedang bermain bersama Biyu di ruang tengah, sedangkan Mbak Lisbet sibuk di dapur. Sekilas semuanya tampak baik-baik saja. Entah mereka bermain apa, ayah dan anak itu terlihat tertawa lepas hingga kekehan suara Biyu terdengar lantang.
“Mas, aku mau pamit.”
Seketika Mas Ibra menoleh lalu memerhatikan aku dari ujung kerudung hingga ujung kaus kaki. Biyu tertatih-tatih berjalan ke arahku. Kusambut bocah menggemaskan itu setelah cepat-cepat berlutut. Kupeluk dia lalu kubelai wajahnya yang bening, yang sama sekali belum ada dosa.
“Kamu mau kemana?” tanya Mas Ibra kemudian.
“Aku mau ke Surabaya, Mas. Mau cari kerja saja di sana. Boleh, ‘kan?” kataku pelan sambil menatap dua bola matanya yang terlihat nyalang setelah mendengar perkataanku. Aku lalu duduk di hadapannya, mencoba menerka-nerka apa jawaban Mas Ibra. Namun, tak kunjung kutemukan jawaban apa pun. Ah, lebih tepatnya mungkin aku sudah menduga apa jawaban yang akan dikatakan kakakku itu.
“Boleh. Kapan berangkat?”
“Sekarang, Mas,” sahutku cepat.
“Liiis … Lisbet! Sini sebentar, Meli mau pamit, nih!”
Ada yang sedikit berdenyut lebih keras dalam dadaku. Semudah itu Mas Ibra melepas adik perempuan satu-satunya pergi tanpa rasa khawatir sedikit pun. Jangankan bertanya bagaimana aku nanti di Surabaya–akan tinggal dengan siapa? apa yang akan kulakukan di sana?–bertanya apa alasanku pergi saja tidak. Ya Tuhan, kakakku ….
“Lho, Mel, mau kemana kamu?” tanya Mbak Lisbet begitu dia muncul dari pintu dapur.
“Aku mau ke Surabaya, Mbak. Mau cari kerja di sana,” jawabku sambil menepuk-nepuk pelan pipi Biyu. Bocah itu anteng di dekatku. Sebenarnya berat meninggalkan bayi yang sedang lucu-lucunya, dan baru belajar berjalan ini. Biyu … maafkan Tante.
“Oalah … piye, tho? Mendadak sekali. Apa udah ada tempat di Surabaya nanti? Kerjaanmu di sini gimana?”
Ternyata tanggapan Mbak Lisbet masih lebih baik dari Mas Ibra. Sebenarnya yang saudara kandung itu siapa? Ah, persetan. Mungkin memang sebaiknya aku tak berlama-lama di sini.
“Ada, Mbak. Nanti ada teman di Surabaya yang bantu. Aku sudah pamit juga dengan bosku di toko,” jawabku mencoba tegar.
“Ya udah, aku pamit, ya, Mas, Mbak … makasih udah nampung aku selama ini. Aku udah banyak ngerepotin.” Kulirik wajah Mas Ibra saat mengatakan ini. Tak ada mimik wajah keberatan atau apalah layaknya saudara kandung yang akan berpisah. Raut wajah Mas Ibra begitu dingin menatap lurus ke arah Biyu. Apakah beban hidup yang berat sedemikian telah mengubah perangai manusia? Kakakku satu-satunya, masku … ah, tiba-tiba aku merasa sudah kehilangan satu saudara.
“Nggak repot, Mel. Ya udah, ati-ati di jalan, ya, Mel. Ati-ati juga di Surabaya. Mbak nggak bisa nyangoni kamu,” katanya lagi. Ada sedikit rona haru di wajah Mbak Lisbet. Akan tetapi bagiku itu bukan hal yang luar biasa. Bukankah sudah jamak jika hati perempuan mudah tersentuh; terharu dengan sebuah perpisahan.
“Jangan lupa ngabari kalo udah di sana, Mel.” Kali ini giliran Mas Ibra yang bicara. Yah, setidaknya dia masih menunjukkan sedikit perhatian kepadaku.
“Iya, Mas,” jawabku pendek seraya mencium punggung tangannya. Bagaimana pun dia adalah pengganti Papa. Waliku kelak jika aku menikah.
Setelah bergantian memeluk Mbak Lisbet dan Biyu, aku segera berjalan keluar rumah Mas Ibra. Angkutan kota di depan gang yang lalu lalang siap membawaku menuju stasiun. (*)
Nuke Soeprijono. Alter ego yang baru belajar nulis.
Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com