Ben
Oleh: Veronica Za
Pernahkah kamu merasa sangat bahagia? Sebahagia kamu bisa terbang bebas tanpa sayap hingga menembus gumpalan putih yang berserakan di angkasa. Rasa yang tak lagi bisa dijelaskan dengan kata-kata berdasarkan logika. Itulah yang saat ini sedang kurasakan seusai membaca isi surat bersampul putih itu. Tintanya yang berwarna merah menyiratkan gairah cinta itu masih membara di sana, di hati pemuda yang sudah genap dua tahun berkelana di negara tetangga demi sebuah cita-cita.
Aku berlari dengan napas memburu menuju stasiun kereta. Sepi, seperti biasanya. Mataku menyapu seluruh bagian dari bangunan tua itu. Ah, tak ada! Ke mana dia? Dengan kecewa, aku memutuskan untuk duduk di kursi panjang yang langsung menghadap rel kereta. Surat itu masih tergenggam erat, kemudian basah oleh tetesan air mataku.
“Kau menangis?” Suara yang kutunggu itu terdengar bagai alunan merdu biola Paman Joshua, mampu mengembalikan senyum yang sempat hilang sekejap tadi.
“Ah, kau dari mana saja?” Aku menoleh cepat menghadapnya, “dia akan datang … Diego akan datang. Sebentar lagi!”
“Benarkah?”
Aku mengangguk penuh keyakinan. Meski tak terlihat, aku tahu ia tengah tersenyum atau mungkin tertawa tanpa suara melihat reaksiku yang berlebihan ini. Aku tak peduli! Aku ingin memeluknya, tapi ia terlalu besar untuk kupeluk.
Surat itu berpindah ke tangan besarnya. Wajah tanpa ekspresi itu terlihat serius saat membacanya membuatku teringat wajah yang terpampang di dinding kamarku. Lucu dan menggemaskan.
“Aku pulang dulu!” pamitku saat ia mengembalikan secarik kertas berisi berita suka cita itu.
Kali ini aku tak berlama-lama di sini seperti biasanya. Hanya saja, rasanya kurang lengkap kebahagiaan ini jika tak melibatkan ia di dalamnya. Ia sudah menjadi bagian penting dari hidupku semenjak kepergian Diego. Di stasiun ini, tempat di mana kami saling bercerita menumpahkan segala rasa. Ah, salah! Tepatnya, hanya aku yang berkeluh kesah kepadanya sedangkan ia hanya menjadi pendengar setia.
“Tunggu!”
Suara samar itu membuatku berhenti melangkah dan berbalik kembali menghadapnya. Sebuah scarft merah yang semula menghangatkan tubuhnya tadi kini berpindah ke leherku. Hangat. Ah, dia memang perhatian sekali.
***
Pergantian musim gugur ke musim dingin membuat seluruh penghuni Kota Andalusia mengurangi kegiatan mereka di luar rumah. Mereka lebih memilih menghangatkan diri dekat perapian dan menghabiskan waktu bersama keluarga tercinta.
Sayangnya itu tak berlaku untukku yang sebatang kara. Hanya ada dua orang dalam hidupku saat ini. Diego yang berada nun jauh di sana dan seorang yang bersembunyi di balik tubuh putih berbulu.
Sesuai dengan isi suratnya yang menyatakan bahwa musim dingin tahun ini akan menjadi waktu untukku bertemu kembali dengan Diego, setiap hari aku menunggunya di stasiun. Ben—begitu aku memangil orang yang ada di balik kostum beruang itu—pun selalu menemaniku.
“Apa kau tidak lelah?” tanya Ben tiba-tiba saat aku selesai menceritakan persiapanku bertemu Diego.
“Tidak!” jawabku mantap.
Aku menatap manik biru yang mengintip dari celah mata palsunya. Ben segera memalingkan wajahnya, berusaha menghindar setiap kali aku mencoba mengorek identitasnya.
“Aku orang yang cukup gigih dalam memperjuangkan sesuatu.” Entah ia merasa atau tidak, sebenarnya kalimat itu juga aku tujukan untuknya. Aku masih belum menyerah mencari tahu sosok yang terus bersembunyi itu.
Tuuutt … Tuuutt …!
Asap berwarna kehitaman tampak mengepul di udara beriringan dengan kedatangan kereta yang kutunggu. Satu persatu penumpang tak luput dari mataku, berharap ada Diego di antara mereka.
Nihil. Hanya ada dua penumpang yang turun dari kereta. Seorang wanita berpakaian mewah yang harganya kuperkirakan sama dengan jatah makanku satu bulan. Warna merah di bibir, kelopak mata dan pipinya tampak sekali ia gunakan demi menutupi keriput yang mulai terlihat di sana-sini. Seorang pria tengah menyeret koper besar dengan susah payah. Penampilannya sangat kontras jika dibandingkan dengan wanita di depannya.
“Apa kau tahu, Bianca? Pria di belakangnya itu bukanlah seorang pelayan melainkan suaminya,” Ben berkata tanpa mengalihkan pandangannya dari pasangan itu. “Saat kau mencintai seseorang begitu dalam, maka kau akan menjadi pihak yang lebih lemah. Selalu berusaha membuat pasanganmu merasa nyaman meskipun kau sendiri merasa sangat menderita.”
Aku menatap beruang besar di sampingku. Kata-katanya jelas ditujukan untukku yang begitu mengharapkan kedatangan Diego dan berakhir kecewa. Kereta itu kembali melaju mengiringi harapan untuk segera bertemu Diego esok hari. Selalu begitu sejak seminggu berlalu.
Butiran salju turun perlahan. Topi rajut dan sarung tangan pun tak mampu menyembunyikan gigil dari balik jaket tebal yang kukenakan. Lagi, Ben melilitkan syal merah itu di leherku. Entah sudah berapa banyak syal merah yang ia berikan padaku. Tak menyerah, aku mencoba menelisik netra biru yang berada lima sentimeter dari wajahku. Gagal, dengan sigap ia menutupinya.
“Aku tahu jika yang lebih mencintai adalah pihak yang lemah, tapi apa kamu tahu juga jika pihak yang lemah itu adalah pihak yang lebih bahagia?”
Hening. Tak ada sanggahan darinya yang menandakan ia juga setuju atas kata-kataku itu. sepertinya ia pun sedang berada di posisi yang sama denganku. Tentu saja bahagia, karena semua yang kita lakukan dan kita terima didasari oleh ketulusan serta cinta yang besar.
***
Hari terakhir di penghujung tahun.
Salju menutupi sebagian besar jalanan dan pemukiman kota kecil kami. Jalanan yang licin membuat segala aktivitas terhenti. Bahkan, kereta yang selalu kutunggu kedatangannya pun tak lagi bisa melintasi rel kota kecil kami.
Entah kenapa aku masih ingin pergi ke stasiun itu. Menembus hujan salju yang memberikan sensasi beku di sekujur tubuh. Syal merah pemberian Ben terlilit sempurna di leherku. Ada kehangatan yang menyusup di antara gigil yang mulai menyiksa.
Kosong. Tak ada siapa pun ketika aku tiba di stasiun. Tak pula ada tanda-tanda kereta yang mungkin akan melintas. Namun, aku tetap duduk di kursi panjang itu sambil terus berharap akan sesuatu yang berbeda.
Satu jam berlalu tanpa ada perubahan selain gundukan salju yang kian tebal di sekelilingku. Tubuhku mati rasa dan membeku. Bahkan, nyaris tak lagi dapat bergerak bebas. Meski begitu, aku masih belum bisa beranjak dari sana. Seolah ada tangan-tangan tak kasat mata yang menahan pundakku untuk tetap diam di tempat.
Pandanganku mulai kabur bersamaan dengan hilangnya sebagian kesadaranku. Di detik-detik terakhir sebelum mataku tertutup, aku melihat sosok yang kutunggu itu menangkap tubuhku yang terjatuh. Aku tahu, akhirnya ia akan datang. Tak sia-sia aku menunggunya.
Aku membuka mata di tempat yang asing. Ruangan yang cukup besar dengan perapian yang hangat melingkupi setiap sudutnya. Sebuah lukisan menarik perhatianku. Lukisan seseorang yang sangat aku kenal.
“Kamu sudah bangun?” tanya suara yang sudah tak asing bagiku.
Secepat kilat aku menoleh ke arah sumber suara. Benar, dia orangnya! Orang yang membuatku terus menunggu hari ini. Ben alias si beruang putih yang selalu menemaniku.
“Kau–“ aku terbata melihat wajahnya yang tak tertutup topeng beruang itu.
“Ya, ini aku! Aku Ben yang selalu bersamamu.” Senyumnya terukir jelas di mataku.
Aku berlari ke pelukannya. Membenamkan kepala dalam-dalam di dadanya. Air mataku mengalir diiringi degup jantungnya yang seirama denganku. Aku tahu ia punya cinta yang sama denganku. Aku tahu itu.
“Kenapa lama sekali baru datang?” rengekku.
Ia meraih tanganku erat. Tatapannya menembus tepat ke dasar hatiku.
“Aku selalu di sana, Bianca. Di sisimu sepanjang waktu. Mendengar keluh kesahmu juga tentang kisah cintamu.”
Aku mengernyit mendengar akhir kalimat yang ia ucapkan.
“Kisah cintaku? Hanya aku?” tanyaku tak terima.
“Maaf, maksudku … kisah cinta kita!”
Aku kembali terbenam dalam pelukannya. Merasakan lagi debaran yang sama seperti dua tahun lalu. Saat Diego pergi demi berubah menjadi Ben, si beruang.(*)
Tangerang, 15 Juli 2018
Veronica Za, seorang pemimpi yang masih berusaha mewujudkan impiannya. Suka sekali genre romance dalam bentuk apapun, baik itu musik ataupun buku.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata