Belum Waktunya

Belum Waktunya

Belum Waktunya

Oleh : Medina Alexandria

 

Bukan kali pertama, tapi mengapa hati ini terus mengulang rasa yang sama?

***

Kangkung tumis saus tiram dan pindang goreng di meja tak lagi menggugah seleraku, tidak seperti biasa-biasanya. Hari ini, Diana sengaja memasak menu sarapan—yang ketika makan bersamanya biasa kuhabiskan dua piring nasi. Wanita yang telah lima tahun mendampingiku itu paham, pagi ini mungkin suaminya hanya akan memasukkan satu-dua suapan ke dalam mulut, karenanya ia berharap kangkung dan pindang itu akan mampu merayu kerongkonganku yang menciut sebab stres.

Seolah ada gumpalan menyesaki rongga dada, lalu mendesak naik dan bergulung-gulung dalam kerongkongan. Berkali-kali aku menelan ludah, menarik napas dalam, kemudian mengembuskannya, sampai rasanya benar-benar tak tersisa dalam kedua paru. Hari ini, pukul delapan, sembilan puluh enam menit dari angka yang tertera pada jam tangan di pergelangan tangan kiriku, hasil ujian penerimaan tenaga kontrak daerah akan diumumkan.

Terngiang kembali percakapan beberapa waktu lalu dengan Erlangga, sahabatku yang pekerjaannya sulit dipastikan konsistensinya itu. Kadang sebuah tanda pengenal bertuliskan “Pers” menggantung angkuh di lehernya, pernah juga ia mengaku bekerja untuk sebuah LSM lokal, dan sekarang, walaupun tak secara terang-terangan, tampaknya dia menjadi narahubung bagi orang-orang yang bersedia membayar untuk menjadi pegawai kontrak daerah bahkan pegawai negeri sipil. Semacam makelar.

“Ini daftar nama yang akan lolos, Don. Kudapatkan jauh hari sebelum ujian dilangsungkan,” katanya.

Erlangga menyodorkan secarik kertas, beberapa nama tertulis di sana, aku memang sedang menunggu pengumuman hasil ujian penerimaan pegawai kontrak yang kuikuti beberapa hari sebelumnya.

Entah dari mana dia mendapat nama-nama itu, yang jelas namaku tak tertera di dalamnya.

“Kau tahu dari mana? Bukannya pengumuman masih dua hari lagi?” tanyaku. Pria di seberang meja itu mengangkat bahu, ujung bibirnya bergerak turun.

“Kau lihat saja dua hari lagi, nama-nama itulah yang akan tertempel di papan pengumuman,” katanya. Dia berdiri, bersiap mengakhiri perbincangan.

“Selama kau masih berjalan lurus, kau tak akan ke mana-mana, sukarelawan selamanya!” pungkasnya. Ditepuknya bahuku kemudian melangkah pergi.

Kubaca lagi deret nama dalam kertas itu sebelum meremas lalu membuangnya ke dalam tong sampah.

Erlangga, tiada bosan dia membujuk agar aku “membayar” untuk sebuah pengakuan dalam sederet angka nomor induk pegawai di secarik kertas keramat.

Aku terus memikirkan ucapannya, sebobrok inikah negara ini? Sehingga orang-orang dengan skill mumpuni harus tersingkir oleh amplop-amplop upeti.

Sudah enam tahun aku bekerja sebagai pegawai sukarelawan di sebuah instansi, jangan bertanya gaji, karena sejak awal mengajukan lamaran, kepala instansi sudah menyampaikan dengan gamblang bahwa kantor ini tidak punya alokasi dana untuk menggaji sukarelawan.

Tiap tahun, aku tak pernah absen mengikuti ujian rekrutmen pegawai, baik calon pegawai negeri sipil, maupun pegawai kontrak daerah. Namun keberuntungan belum berpihak padaku. Tak apa, mungkin belum waktunya. Aku akan terus berusaha.

“Yah, belum mau berangkat?” pertanyaan Diana melemparkanku kembali ke alam sadar.

Dia tersenyum, menyingkirkan peralatan makan, lalu mencium takzim punggung tanganku.

“Semoga hari ini adalah hari keberuntungan kita, Ayah.” lanjutnya.

Kulajukan motor menyibak dinginnya udara pagi, harap dan cemas melebur dalam irama jantung yang berdegup kerap. Sepanjang perjalanan, permohonan demi permohonan lolos dari bibir yang tak henti-hentinya melafalkan doa. Semoga hari ini rezeki berpihak padaku. Semoga kali ini Tuhan menurunkan belas kasih atas bertahun-tahun pengabdianku.

Beberapa orang terlihat berkerumun di halaman instansi yang kutuju. Setelah memarkir motor, kulangkahkan kaki dengan gamang. Ada keraguan dalam setiap ayunan. Akankah namaku tertulis di sana?

Sedikit bergetar telunjukku menelusur deret nama di papan pengumuman, dari atas ke bawah. Ingatanku membaca ulang nama-nama dalam kertas yang berakhir dalam tong sampah dua hari yang lalu.

Ya, seperti kata Erlangga … tak ada namaku di dalamnya.

Aku kembali kecewa. Namun rasa ini tak akan lama, mungkin hanya sedikit lebih panjang dari sebelumnya, atau malah lebih cepat berlalu karena hatiku telah terbiasa.

***

“Sampai kapan kau akan percaya? Bahwa mereka akan melihat kemampuanmu, skill-mu!” sergahnya gemas.

“Mungkin belum waktunya,” sahutku. Dia mendengkus, detik kemudian tertawa.

Ya, belum waktunya. Dan di sini, aku masih menunggu dengan keyakinan yang sama. (*)

 

Medina Alexandria, bidan yang suka menulis.

Editor : Tri Wahyu Utami

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply