Bella Tak Berlengan

Bella Tak Berlengan

Bella Tak Berlengan

Oleh: Ika Marutha

 

 

Deepika lahir sebelum waktunya. “Oh, dia bayi yang mengerikan,” komentar ibu mertuaku saat pertama kali melihat Deepika.

Bayi Deepika sangat kecil dan berkulit sangat merah. Begitu kecilnya sampai perawat hanya memerlukan satu telapak tangan saja untuk menggendongnya. Aku tidak suka melihatnya. Bayi-bayi semestinya digendong dengan segenap jiwa, direngkuh dengan kedua tangan, ditempelkan ke dekat dada, sehingga
mereka tak merasa sendirian.

Deepika kecil jarang menangis. Dia tidur sepanjang hari. Sampai-sampai aku harus memaksanya untuk menyusu dari payudaraku yang bengkak oleh ASI. Mulutnya kecil, aku khawatir membuatnya tersedak. Namun, dia baik-baik saja.

“Mama, kau bisa memperbaiki Bella?” Kini, Deepika yang bukan bayi lagi, menyodorkan sebuah boneka kain lusuh dengan rambut terbuat dari wol berwarna kuning.

“Mama sudah sering bilang untuk berhati-hati dengan barang-barang milikmu. Sudah berapa kali aku menjahit lengan bonekamu, heh?”

Deepika menunduk memandangi ujung kakinya sendiri.

“Dia sudah terlalu besar untuk bermain boneka. Berapa usiamu, sekarang?” Pavan, suamiku, menyahut.

Rambut Pavan masih basah. Dia baru selesai mandi. Aku menyingkirkan boneka Deepika, berjalan ke dapur untuk meraih handuk yang dijemur di atas tambang yang melintang tepat di atas kompor. Pavan sering mengeluh handuknya berbau kari dan aku menjawab kalau tidak ada lagi tempat untuk menjemur handuk.

“Putrimu baru sembilan tahun. Tak ada salahnya bermain dengan boneka.” Aku memberikan handuk kepada Pavan.

“Sonny menikahkan putrinya di usia sepuluh dengan pedagang beras. Sungguh sangat beruntung. Kita harus mencarikan Deepika jodoh yang lebih baik dari pedagang beras. Kau tahu Mr. Kumar?”

“Mr. Kumar pegawai pemerintahan itu? Yang istrinya baru saja meninggal?”

“Ya, dia. Aku bertemu dengannya kemarin. Kau tahu apa yang dia tanyakan kepadaku?”

“Apa?” Aku memicingkan mata. Aku tak suka arah pembicaraan kami.

“Deepika. Dia melihat Deepika berlarian dengan anak-anak lain di pinggir jalan dan katanya, Deepika anak yang cantik, paling menonjol di antara anak-anak lainnya.”

“Deepika, mulai hari ini, jangan berkeliaran di jalan. Kau dengar Mama?” Aku memelototi Deepika yang duduk di lantai, asyik bermain-main dengan boneka kainnya yang sebelah tangannya nyaris putus.

“Tapi aku bosan terus di rumah, Mama,” Deepika mengeluh. 

Sebenarnya aku ingin sekali memasukkan Deepika ke sekolah, tetapi Pavan selalu saja menolak. Katanya, untuk apa perempuan susah payah belajar? Buang-buang uang saja. Lihat dirimu sendiri. Kau juga tidak sekolah, tidak bisa membaca, tetapi aku tetap mau menikah denganmu. Begitu pula nanti dengan Deepika, dia akan baik-baik saja. Lebih baik kita menabung uangnya untuk pernikahannya nanti. 

Aku patuh. Sebagian uang yang diberikan Pavan kepadaku, kusimpan sedikit-sedikit di dalam kaleng bekas biskuit. Jumlahnya saat ini kurasa sudah lumayan banyak, cukup untuk membeli kain sari berkualitas bagus dari toko Mr. Rohit.

Pavan terkekeh kemudian menghampiri Deepika. Dia membelai-belai kepala Deepika. “Kau pasti akan menjadi pengantin tercantik.”

Deepika mendongak kepada Pavan, memandang papanya dengan mata cokelatnya yang besar.

“Pengantin seperti Rakhi?” Dia menyebut nama teman perempuannya yang minggu lalu menikah dengan resepsi besar-besaran.

“Lebih cantik daripada Rakhi. Kami akan menghiasi tanganmu dengan gelang warna-warni, juga akan ada lebih banyak manisan, musik, dan tarian,” ujar Pavan.

“Aku suka sekali menari, Papa. Kau mau lihat? Mama bilang aku pandai menari.” Deepika berdiri dan mulai berputar-putar. Pavan tertawa.

Aku  lalu berkata sambil meremas-remas ujung sariku, “Berhenti menari Deepika. Pavan, kau harus segera bekerja.”

Deepika bergeming, Pavan mengecup ubun-ubunnya. Aku mengambilkan tas selempang yang biasa dibawa Pavan bekerja dan memberikannya kepada Pavan.

“Aku akan pulang terlambat malam ini. Mr. Kumar mengajakku minum, dia berkata ada lowongan pekerjaan di kantornya. Gajinya dua kali lipat dari gajiku saat ini.” Pavan tersenyum lebar. “Kalau beruntung, kita bisa pindah ke apartemen yang lebih bagus dari ini.”

“Kau tahu aku tidak pernah menginginkan apa pun, Pavan.” Aku tersenyum lemah.

“Tapi aku ingin melihatmu memakai sari baru dan gelang sungguhan.” 

“Pergilah. Semoga Dewa memberkatimu.”

Pavan melemparkan senyum lagi sebelum menghilang dari balik pintu.

“Mama, aku juga ingin jadi pengantin yang cantik seperti Rakhi.” Deepika menghampiriku, tangan kecilnya menarik-narik ujung sariku, sementara satu tangan lainnya masih menggendong boneka.

“Dasar anak bodoh! Kau tak tahu apa yang kau minta!” Aku menarik boneka Deepika kasar sampai sebelah tangan kainnya yang sebelumnya sudah robek separuh, kini benar-benar putus seutuhnya.

“Bella!” Deepika menjerit lalu menangis. “Mama jahat! Kau merusak bonekaku.”

“Berhenti menangis atau aku akan memukulmu. Hari ini, awas kalau kau berani keluar rumah! Akan kupotong semua lengan bonekamu itu!”

Sesuatu dalam dadaku bergemuruh. Aku tahu tak seharusnya aku membentak Deepika. Namun, itulah cara termudah untuk menyalurkan emosiku. Deepika jauh lebih lemah dan tak berdaya dariku. Sekeras apa pun sikapku kepadanya, dia tidak akan bisa menyakitiku balik.

Seminggu kemudian, Pavan membelikan Deepika baju baru. Deepika melompat-lompat kegirangan. Pavan menyuruhku mendandani Deepika.

“Mr. Kumar akan datang sore ini,” kata Pavan tampak senang.

Dia laki-laki berusia lebih tua dari Pavan. Dia punya seorang putra dari almarhum istrinya. Aku tidak tahu pasti kisahnya, tetapi yang pasti putranya itu kabur dari rumah sudah lama, sejak istrinya masih hidup. 

Mr. Kumar bertubuh tambun, dengan kepala botak, dan kumis tebal yang sering bergerak-gerak setiap kali dia bicara. Dia datang membawa banyak bingkisan dan buah-buah kering yang harganya mahal, sesuatu yang tidak sanggup kami beli.

“Panggilkan Deepika,” perintah Pavan.

Aku ke kamar, menggandeng Deepika.  Deepika tampak cantik dengan baju barunya. Dia lalu duduk di antara kami. Matanya berbinar-binar melihat aneka barang yang dibawakan Mr. Kumar.

“Apa kau suka dengan hadiahku, Deepika?” tanya Mr. Kumar sambil matanya tak berhenti menatap Deepika dari ujung kaki hingga ujung rambut. 

Deepika tersenyum, memamerkan geliginya yang putih cemerlang. “Terima kasih, Paman. Aku suka semuanya.” 

“Bagus sekali, Deepika, aku akan memberimu jauh lebih banyak lagi dari ini semua,” kata Mr. Kumar.

Selanjutnya para lelaki berbicara tentang tanggal dan hari baik. Kepalaku mendadak menjadi pusing dan perutku mual. Aku permisi undur diri lalu terburu-buru ke kamar mandi.

Di dalam kamar mandi, aku memuntahkan semua isi perutku. Pavan berteriak dari luar, “Apa kau baik-baik saja?”

Aku mendengar Mr. Kumar tertawa. “Mungkin kau akan memiliki seorang putri lagi, Pavan.”

Aku mendengar Pavan ikut tertawa. Mual di perutku semakin menjadi. Lagi-lagi sesuatu dalam dadaku bergemuruh. 

Ini bukan karena itu, bodoh! Makiku dalam hati. Omongan kalian, para lelaki, yang membuatku merasa jijik. 

***

Aku meraih kaleng biskuit yang kusembunyikan di dalam guci. Kumasukkan ke dalam buntalan kain berisi beberapa helai pakaian. Pakaianku dan Deepika.

“Ayo, Deepika, Mama akan mengajakmu jalan-jalan.”

“Kita tidak menunggu Papa pulang?” 

“Papa tidak ikut. Mulai sekarang hanya ada kau dan Mama.”

“Dan Bella?” Deepika mengacungkan bonekanya yang berlengan satu.

“Dan Bella!” Aku mengangguk. (*)


Banten, 21 April 2021

 


Ika Marutha, alumni Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret angkatan tahun 2000, mulai aktif menulis setahun terakhir. Beberapa cerpennya pernah dibukukan dalam antalogi bersama penulis lainnya.

Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply