Belalang dan Kupu-kupu

Belalang dan Kupu-kupu

Belalang dan Kupu-kupu
Oleh : Ayu Candra Giniarti

“Aku mencari ibuku, tapi aku tersesat di sini,” ucap Belalang sambil melihat sekeliling tempat itu.

“Aku masih ingat, dulu di sini sawah yang hijau,” gumamnya.

“Betul, dulu di sini sawah. Tapi sekarang sudah menjadi perumahan,” jawab Ulat Bulu.

“Aku harus ke mana untuk mencari ibuku?” Belalang terlihat sedih.

“Coba kau pergi ke sawah di seberang sana, terlihat dari sini. Sawah yang padinya sudah hampir menguning. Siapa tahu ibumu ada di sana,” kata Ulat Bulu, meyakinkan Belalang.

“Baiklah, terima kasih Ulat Bulu.”

Ulat Bulu tersenyum. “Semoga Belalang bertemu dengan ibunya,” doa Ulat Bulu dalam hati.

“Aku pergi, ya!” teriak Belalang.

“Tunggu sebentar,” cegah Ulat Bulu.

“Ada apa?” tanya si Belalang.

“Beri tahu aku kalau kau sudah bertemu ibumu ya.”

Belalang pun tersenyum.

***

Satu minggu sudah berlalu, Belalang teringat janjinya pada si Ulat Bulu. Ia pun melompat ke tempat di mana ia bertemu dengan Ulat Bulu. Namun, ia tak bertemu dengannya.

Tiba-tiba, datanglah seekor kupu-kupu cantik menyapa dari balik bunga mawar merah yang indah.

“Hai, Belalang! Kau sudah bertemu ibumu?” tanya si Kupu-kupu.

“Bagaimana kau tahu aku sudah bertemu ibuku?”

“Kau lupa? Tak ingatkah denganku?”

Belalang mengernyitkan dahi. Ia mengamati sayap Kupu-kupu. Warna dan coraknya persis seperti ulat bulu yang bertemu dengannya dulu.

“Apakah kau saudara temanku, si Ulat Bulu?” tanya Belalang.

Kupu-kupu tertawa.

“Kenapa kau tertawa, Kupu-kupu?” tanya Belalang heran.

“Aku adalah ulat bulu yang dulu bertemu denganmu di sini.”

“Benarkah?!” Belalang terkejut.

“Kau sungguh cantik, Ulat Bulu. Apa kau bisa terbang?”

“Tentu saja! Aku sudah menjadi kupu-kupu, bukan ulat bulu lagi.”

Kupu-kupu tersenyum, ia mengepakkan sayapnya, terbang tinggi. Belalang pun melompat, melihat takjub dari ujung daun tempatnya berdiri.

Tak lama, terdengar suara gemuruh dari arah seberang perumahan.

“Belalang! Belalang, anakku! Kau di mana?”

Suara itu membuat Belalang melompat turun dari ujung daun. Dia tahu, itu suara ibunya.

“Aku di sini, Bu. Ada apa? Suara gemuruh apa itu, Bu?” tanya Belalang.

“Itu suara ….”

Kupu-kupu datang menghampiri mereka.

“Itu suara truk pengangkut pasir. Aku melihatnya tadi dari atas. Sepertinya sawah di seberang sana akan diratakan,” kata Kupu-kupu.

“Diratakan??” tanya Belalang dan Ibunya.

“Ya, mungkin akan dibangun perumahan seperti di sini,” jawabnya.

Mereka bertiga menerawang jauh langit di atas sana. Gumpalan awan putih yang membentuk boneka beruang mulai berubah sedikit demi sedikit. Mereka bergerak halus membentuk bulatan-bulatan yang tak dapat diibaratkan seperti apa bentuknya.

“Nanti kita cari pepohonan hijau lagi, Bu. Di tempat lain.” Belalang mencoba membuat hati ibunya lega.

“Di sebuah desa, dekat dengan lautan di utara. Di sana masih banyak pohon-pohon yang hijau, Belalang. Mungkin kau bisa kesana bersama ibumu.” Kupu-kupu memberi tahu tempat di mana ia pernah terbang untuk sekadar menghirup udara yang segar.

“Terima kasih, Kupu-kupu. Kau memang sahabat terbaikku,” ucap Belalang, berbinar dengan iris mata yang bergerak acak.(*)

 

Ayu Candra Giniarti, ibu dari dua balita yang suka menonton kartun Upin dan Ipin. Menulis adalah salah satu caranya untuk menghabiskan jatah banyak kata yang dikeluarkan seorang wanita (daripada ngomel).

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata