Belajar Bersama Bunda
Oleh: M Indah
Terbaik Ke-3 Event Bulan Juli Loker Kata
Aku selalu bingung kalau Bunda menyuruhku belajar. Anak TK umur enam tahun sepertiku harus belajar apa? Di sekolah aku sudah belajar menyanyi, menggambar, senam sehat, dan banyak lagi. Lalu, di TPA aku sudah belajar membaca Iqro, menyalin huruf-huruf Hijaiyah, menghafal surat-surat pendek serta bacaan salat. Itu banyak sekali, kan? Kapan waktuku untuk bermain kalau belajar terus?
Suatu malam, ketika Bunda menyuruhku belajar, kuberanikan diri untuk bertanya. “Aku harus belajar apa, Bubun? Di sekolah dan TPA, aku sudah banyak belajar, loh.” Kujelaskan semua yang sehari-hari telah kupelajari.
“Umair, anak saleh, kamu tahu kenapa kamu harus belajar?” Bukannya menjawab, Bunda malah bertanya kepadaku. Hmm …, bukannya Bunda pernah bilang kalau kita harus belajar supaya pintar? Oh, mungkin Bunda lupa.
“Biar jadi anak pintar, Bun.” Kujawab saja biar Bunda ingat apa yang sudah diajarkan kepadaku. Bunda tersenyum mendengar jawabanku, berarti jawabanku benar. Kukira obrolan sudah selesai, tapi ternyata pertanyaan Bunda masih bersambung. “Kalau kita pintar, kita bisa apa, Nak?”
“Kita bisa jadi apa aja. Kita gak gampang dibohongin.” Aku hafal betul kata-kata Bunda soal ‘orang pintar yang gak gampang dibohongin’. Tapi, aku sebenarnya tidak seberapa mengerti. “Orang pintar yang gak gampang dibohongin, tuh, kaya apa, sih, Bun?” tanyaku menyampaikan suara di dalam kepala.
Bunda tidak langsung menjawab. Dia kelihatan berpikir sampai dahinya berkerut-kerut lucu. Aku ingin sekali memegang kerut di dahi Bunda, tapi Bunda sering bilang tidak sopan memegang kepala orang tua. Jadi, aku menunggu Bunda menjawab pertanyaanku sambil makan kukis cokelat buatan Bunda.
“Umair beli telur gulung di depan sekolah itu biasanya berapa harganya?” Tiba-tiba Bunda bertanya tentang telur gulung. Wah, aku jadi pengen telur gulung. Tapi malam-malam begini ada yang jual apa gak, ya?
“Anak saleh, Bunda tanya, loh!”
Oh, iya, Bunda tanya soal telur gulung. Kalau Bunda panggil dirinya sendiri ‘bunda’ berarti aku harus hati-hati karena Bunda sedang serius. Aduh, aku lupa karena ada telur gulung isi telur ayam dan isi telur puyuh. Tapi, yang jelas telur ayam itu besar, jadi pasti harganya lebih mahal.
“Hmm …, telur ayam empat ribu, telur puyuh dua ribu, ya, Bun?” Aku sudah berusaha mengingat-ingat, tapi tidak yakin.
“Betul. Nah, kalau Bubun kasih Umair lima ribu, Umair bisa beli berapa telur gulung yang pakai telur ayam?”
Ini sulit sekali. Aku harus makan kukis bunda dulu biar bisa mikir. Kalau aku langsung menyerah, Bunda pasti marah. Aku pura-pura mikir aja, deh. Aku mengerutkan dahiku dan melirik ke kanan atas seperti Bunda ketika sedang berpikir. Setelah beberapa lama, aku mencoba menjawab, “Satu aja, ya, Bun. Soalnya, kalau dua aku gak habis. Gede, itu ukurannya.”
Mendengar jawabanku, Bunda menghela napas panjang. Apa jawabanku salah? Benar, kok, telur gulung isi telur ayam itu bikin kenyang, jadi aku gak pernah beli dua.
“Memang benar Umair bisa beli satu saja kalau uang Umair lima ribu. Tapi, bukan karena ukurannya gede. Itu karena harganya empat ribu. Jadi, kalau beli yang telur ayam, nanti Umair dapat kembalian atau gak?”
“Gak dong, kan, kembaliannya buat abangnya,” jawabku tegas. Kali ini Bunda menepuk pelan dahinya sendiri dengan telapak tangan kanannya. Aku salah lagi? Padahal, Bunda biasanya seperti itu kalau belanja di tukang sayur atau tukang kue.
“Umair harusnya dapat kembalian seribu. Nah, begini kalau kita jadi orang bodoh. Seharusnya kita dapat kembalian, tapi orang yang lebih pintar bisa membohongi kita dan bilang uang kita pas. Makanya Bunda selalu menyuruh Umair rajin belajar biar jadi anak pintar, gak mudah dibohongin orang.”
Wah, bundaku sedang marah sepertinya. Omongannya panjang sekali sampai aku hanya paham soal orang bodoh dibohongi orang pintar. Kalau aku bilang sesuatu, semakin diomelin gak, ya? “Terus kalau seperti Bubun yang sering berbagi dengan cara ngasih kembalian buat si abang yang jualan itu gak boleh, Bun?”
“Bukan gak boleh, tapi harus karena keinginan kita sendiri, bukan karena dibohongi orang. Mengerti?” Suara Bunda tetap lemah lembut, walaupun aku tahu dia sedang menahan kesal. Sebenarnya aku kurang paham, tapi dari pada bundaku marah lagi jadi aku mengangguk saja.
Keesokan harinya, sepulang sekolah aku jajan telur gulung isi telur ayam langgananku. Bunda memberiku uang warna cokelat yang berarti uang lima ribu. Waktu membayar, aku bilang ke penjualnya kalau kembaliannya buat dia saja. Tapi, anehnya, si abang malah melotot tidak suka mendengar perkataanku. Aku cepat-cepat lari ke arah Bunda dan bercerita tentang si abang. Bunda mengajakku menghampiri si abang lagi. Aku takut, tapi Bunda bilang jangan-jangan uangku kurang. Ketika Bunda memastikan apa yang terjadi, si abang menjawab, “Saya kesel karena Umair ngomongnya songong banget, padahal duitnya eta pas, Teh. Telur lagi mahal jadi sekarang saya jualnya lima ribu.”(*)
Tangerang, 24 Juli 2023