Bekas Luka

Bekas Luka

Bekas Luka

Oleh: Umi Satiti

 

 

Mirna masih mondar-mandir di teras depan rumah. Pikirannya masih berputar, memikirkan kedatangan lelaki yang tiga hari lalu menemui bapaknya. Kehadiran lelaki itu benar-benar membuat Mirna tidak tidur nyenyak beberapa hari. Lelaki dengan rambut ikal sebahu yang diikat di belakang leher. Mirna sangat mengenalnya. Lelaki yang membuat Mirna hampir kehilangan akal sehat tiga tahun lalu, Andi.

Ponsel Mirna berdering. Dia terperanjat dan hampir saja ponsel di genggamannya terjatuh. Dilihatnya layar yang menampakkan gambar gagang telepon bergetar. “Bapak,” ucap Mirna. Sebuah salam dengan penuh santun membuka percakapan antara Mirna dengan bapaknya.

“Nanti malam Andi akan datang bersama keluarganya. Bilang ibumu untuk menyiapkan makan malam.” Suara lelaki itu sukses membuat kaki Mirna lemas. Mirna terduduk di dekat pintu.

“Kau dengar, Mir?”

Segera Mirna menguasai kesadaran dirinya. “Dengar, Pak.”

Panggilan diakhiri. Mirna memukul-mukul kepalanya dengan kepalan jari-jari tangan. Ingatannya kembali kepada sosok Andi tiga tahun lalu. Masih jelas ingatan di kepala Mirna bagaimana dahulu lelaki itu meninggalkannya. Andi pergi tanpa kabar setelah berjanji akan menemui orang tua Mirna. Harusnya lamaran itu tiga tahun silam dilakukan secara resmi, namun Andi tidak datang di hari yang dijanjikan. Tidak pula menghubungi Mirna dan keluarga.

Hari itu, hati Mirna benar-benar remuk. Tidak seorang pun dapat dihubungi, termasuk teman-teman Andi yang dikenal Mirna. Andi seakan lenyap dari kehidupan, hanya menyisakan jejak-jejak luka yang masih perih di hati Mirna.

***

Malam yang dijanjikan Andi tiba. Lelaki itu datang ke rumah Mirna bersama orang tuanya dan seorang gadis yang usianya terpaut jauh sekitar tiga tahun dari Mirna, kira-kira usianya dua puluh tiga tahun. Seusia itu, hati Mirna remuk karena Andi tidak memenuhi janjinya untuk datang meminang.

Andi dan keluarganya tampak ramah bercengkerama dengan Ibu dan Bapak Mirna. Obrolan basa-basi kedatangan dan sajian teh hangat cukup untuk menjadikan pertemuan tidak kaku.

Mirna masih mematung memandang cermin di kamarnya. Panggilan Bapak benar-benar membuat dirinya menutup telinga. Kedatangan Andi membuat dadanya terasa begitu sesak. Rasa sakit hati yang hampir saja dia lupakan kini kembali meradang. Air mata kembali jatuh di pipi. Kakinya berat untuk melangkah menuju ruang tamu, padahal hanya bersekat dinding dan sebuah pintu kayu.

“Aku akan memanggil Mirna,” ucap perempuan yang dua puluh enam tahun lalu melahirkan Mirna. Suaminya mengangguk memberi persetujuan. Perempuan itu lantas menuju kamar Mirna yang terkunci. Diketuknya pintu tiga kali.

Mirna buru-buru mengusap air matanya. Lantas mengoleskan bedak sebagai penghilang bekas tangis, meski tidak sempurna, tapi cukup untuk memudarkan jejak tangisnya.

Pintu terbuka. Mirna tersenyum menyambut ibunya. “Maaf, menunggu.”

“Ayo, Andi dan keluarganya sudah menunggu,” ucap Ibu Mirna.

Mirna mengikuti ibunya sambil menunduk. Lantas duduk di samping bapaknya. Disembunyikannya kepedihan di hati dengan sesekali menampilkan senyum. Tidak seorang pun ingin dia lihat, termasuk Andi dan keluarga. Memang tiga hari lalu saat berkunjung, Andi tidak bertemu dengan Mirna.

“Ada yang ingin kamu sampaikan, Mir?” tanya Bapak Mirna.

Mirna menggeleng dan masih menunduk. Suasana menjadi hening, kaku.

“Silakan, Nak Andi.” Bapak Mirna mengizinkan Andi berbicara. Menyampaikan apa yang hendak Andi sampaikan. Andi mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

Apa yang Andi katakan, tidak jauh berbeda dengan yang disampaikannya tiga hari lalu. Akan tetapi, kali ini Andi benar-benar lebih tertekan, sebab yang dia temukan bukan Mirna yang ramah, Mirna yang dia kenal beberapa tahun lalu. Kini, Andi merasa berhadapan dengan perempuan asing yang dingin dan kaku.

“Andi sekeluarga ingin minta maaf kepada Mirna sekeluarga. Kami mohon maaf karena tiga tahun lalu tidak mampu datang memenuhi janji bersilaturahmi.” Suara Andi tercekat, seperti teringat sesuatu yang membuatnya menyesal.

“Seharusnya tiga tahun lalu pertemuan sehangat ini terjadi. Seharusnya kami datang memenuhi janji untuk meminang Mirna, tetapi untuk yang ke sekian kalinya kami harus memohon maaf sebab hari itu kami tidak datang memenuhi janji. Hari ini izinkan kami memenuhi janji yang sempat tertunda itu.” Andi memberanikan diri memandang Mirna.

Mirna semakin menunduk, suara Andi membuat hatinya seakan teriris, perih. Tanpa dia sadari air mata telah jatuh ke telapak tangannya yang ada di pangkuan. Kecewa itu kembali datang tanpa dipersilakan.

“Saya tahu tidak memenuhi janji adalah kesalahan besar. Maka malam ini ijinkan saya untuk menyampaikan sebuah cerita yang terjadi tiga tahun lalu sehingga pertemuan ini tidak bisa tepat waktu dan justru membuat kecewa Mirna dan keluarga,” ucap Andi. Bapak dan Ibu Mirna mengangguk memberi persetujuan.

“Tiga tahun lalu, saya dan keluarga berupaya datang memenuhi janji untuk meminang Mirna. Hanya saja takdir belum mengizinkan kami datang tepat waktu. Malam itu hujan deras saat mobil melaju di jalan raya. Kilat dan petir datang silih berganti, tetapi kami tetap melanjutkan perjalanan demi sebuah janji yang harus kami tepati. Nahasnya, dari arah berlawanan sebuah truk melaju kencang dan kehilangan kendali hingga menabrak mobil kami. Kami tidak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya.” Andi menjeda ceritanya.

Mirna masih menunduk, sesekali dia usap air matanya dengan ujung jari. Entah kenapa dia terharu dengan kisah tragis lelaki yang sempat membuatnya kecewa, padahal bisa saja Mirna tidak peduli.

“Tiga hari setelah kecelakaan, saya baru sadar dan masih berada di ruang ICU tanpa seorang pun menemani. Bapak dan Ibu dirawat di ruang terpisah. Hari itu pula saya harus mendapati kenyataan bahwa salah satu mata tidak bisa digunakan untuk melihat. Kaki kanan Ibu patah, sampai hari ini beliau masih harus menggunakan tongkat untuk berjalan. Saya benar-benar putus asa hingga tidak punya keberanian untuk datang memberi kabar ke sini, kepada Mirna,” ucap Andi.

Andi melanjutkan ceritanya. Hanya bapaknya yang tidak begitu parah terluka harus mengurus pengobatan Andi dan sang ibu. Kala itu, adik Andi masih di luar negeri menyelesaikan kuliahnya. Hari-hari berlalu, Andi yang sangat terpuruk kembali menemukan harapan, sebuah penerimaan diri bahwa sebelah matanya memang tidak lagi bisa melihat.

Kepercayaan diri itu tidak cukup untuk menumbuhkan keberanian Andi datang kembali menemui Mirna. Tidak mungkin Andi datang sebagai laki-laki yang tanpa pekerjaan. Dia harus menemukan pekerjaan terlebih dahulu sebelum benar-benar menemui Mirna. Dia diterima sebagai staf marketing di salah satu perusahaan konsultan keuangan.

“Begitulah, Mir, semua terjadi begitu saja di luar dugaan.” Andi mengakhiri ceritanya. “Hari ini Andi yang hanya punya satu mata datang untuk memenuhi janji meminang Mirna. Apa pun keputusan Mirna, Andi akan terima.”

Mirna menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ada air mata yang harus tuntas dia hapus dari wajah. Siapa sangka, lelaki yang dahulu gagah dan sempurna bagi kedua mata Mirna, kini harus kehilangan satu penglihatannya.

“Maaf, Mirna butuh waktu untuk memahami hari ini.” Mirna berdiri lantas berlari menuju kamarnya. Dia menutup pintu rapat-rapat dan tangisannya terdengar sampai ke ruang tamu. (*)

 

 

Umi Satiti, seorang gadis kelahiran Karanganyar. Tinggal di Desa Kaliwuluh dan saat ini belajar menulis dan berkarya menekuni dunia literasi. Aktivitas harian ketika sore, mengelola bimbingan belajar untuk anak-anak SD. Pagi harinya, menemani anak-anak berkebutuhan khusus belajar di salah satu SLB. Temukan ia di akun Instagram: @galeri_gurumuda

 

Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply