Beha
Oleh : Rinanda Tesniana
“Kalo dadamu gak ditutup, orang boleh pegang loh, Ni.”
“Masa, iya?”
“Iya. Makanya, bilang sama Mamak, beliin tutup untuk dadamu, biar orang gak bisa pegang. Dada perempuan itu, memang untuk dipegang, kecuali ada tutupnya.”
Ani pasrah dadanya diremas oleh kakang, karena memang, dadanya tidak pernah tertutup apa pun. Meskipun sudah meminta kepada mamak, sampai sekarang, Ani belum memiliki penutup dada seperti milik mamak.
***
“Mak, belikan aku penutup dada, kayak punya Mamak,” rengek Ani kepada Murni, ibunya.
Murni yang sedang bersiap berangkat ke rumah majikannya, mengernyitkan kening.
“Kenapa dadamu?”
“Udah besar loh, Mak. Turun naik kalau aku lari-lari.”
Murni menghela napas. Ani memang berbeda dari anak seusianya. Umurnya baru sepuluh tahun, tapi payudaranya sudah tumbuh besar, serupa milik Dian–anak tetangganya yang telah kelas satu SMA.
Baru kelas tiga SD, Ani sudah haid. Murni sedikit heran, mengapa anaknya mendapat tamu bulanan secepat itu.
Murni pun menanyakan hal tersebut kepada Bu Ayu–majikannya. Kata Bu Ayu itu memang tidak normal, tapi zaman sekarang banyak anak perempuan yang mengalami haid pertama di bawah umur sepuluh tahun.
Murni tidak bisa berbuat banyak. Ani masih tetap seperti anak-anak. Ia senang bermain dan berlari, terlebih main lompat tali. Belum pernah Ani merasa terganggu dengan ukuran payudaranya seperti kali ini.
“Tumben baru sekarang mintanya. Dadamu gede, kan, udah dari kelas dua, Ni.”
“Iya, Mak. Sekarang sering dilihatin kawan-kawan Kang Agus. Aku takut.” Ani menjawab gugup. Matanya bergerak liar, tak berani memandang wajah ibunya.
Pahamlah Murni masalah sebenarnya. Perempuan itu menatap Ani dengan rasa iba.
Murni dan suaminya, memang tidak bisa berada di rumah terus menerus.
Mas Tono–suaminya–seorang kuli bangunan, bekerja sebagai asisten tukang, kenek istilah orang sini. Murni sendiri adalah asisten rumah tangga di rumah bidan desa, Bidan Ayu.
Tinggal di daerah terpencil dengan kondisi ekonomi keluarga yang tidak mampu, membuat Murni tak bisa berbuat banyak. Ilmunya pun tak cukup untuk mengajarkan Ani ini dan itu. Ia hanya mengajarkan pada Ani, bagaimana cara memasang handuk yang benar untuk menampung darah haidnya.
Ani memang belum mengerti, terlebih teman-temannya belum ada yang haid. Dalam pikirannya, ia masih sama dengan bocah ingusan itu. Ia tak menyadari, perubahan pada fisiknya membuat ia tampak berbeda dari teman-temannya.
“Nantilah, kalau mamak ada uang, mamak belikan kamu beha,” janji Murni.
“Betul loh, Mak.”
“Iya.”
Murni tersenyum melihat wajah bahagia Ani.
***
Murni menatap Ayu berkali-kali. Ia sedang melihat ekspresi majikannya itu. Bidan Ayu bukan orang yang pelit, tapi jika suasana hatinya sedang buruk, maka lebih baik tidak mengatakan apa pun.
“Ada apa, Mur? Kok dari tadi mondar-mandir ngeliatin mukaku?” Ayu tertawa. Ia paham betul, jika Murni bertingkah seperti itu, berarti ada yang hendak dikatakannya.
“Eh, Ibu.” Murni tersipu malu. “Ini loh, Bu. Beha Mbak Dinda ada gak, Bu? Yang udah gak dipakai maksud saya. Buat Ani,” bisiknya.
“Payudara Ani udah gede?” tanya Ayu kaget. Ia memang pernah mendengar cerita Murni tentang Ani yang sudah haid saat berumur sepuluh tahun, tapi Ayu tidak menyangka, payudara Ani pun ikut membesar secepat itu.
“Sudah loh, Bu. Kaya Mbak Dina gitu.”
“Oalah, Mur. Kamu harus kasih tahu Ani, supaya bisa jaga diri, jangan sembarang dekat dengan laki-laki. Anak segitu masih lugu, kan?”
“Iya, Bu. Mendadak Ani minta beha tadi pagi, dia bilang dadanya naik turun kalau lari-lari.”
Ayu membuang napas. Entah mengapa, rasa takut menjalar di hatinya, mengingat kasus pelecehan yang semakin marak di kampung ini.
“Dijaga bener loh, Mur. Mendadak, aku takut si Ani kenapa-napa. Kamu kasih gitu sex education.”
“Apa itu, Bu?”
“Pengetahuan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, Mur. Alat reproduksinya, norma sosial dan risiko dari setiap perbuatannya.” Ayu menatap wanita yang berdiri sambil menundukkan kepala di depannya.
“Ani harus tahu batas, Mur. Bagian tubuh yang mana saja yang tidak boleh dipegang orang lain. Itu tanggung jawab kamu sebagai orang tua untuk kasih tahu dia,” papar Bu Ayu.
Murni diam saja. Jujur, ia tak mengerti mengenai apa pun yang sedang disampaikan Bu Ayu.
“Terus, kamu juga jangan begituan di depan anak-anak, Mur.”
“Susah loh, Bu. Di rumah saya cuma ada satu ruangan. Ngapa-ngapain, ya, di situ.”
Batin Bu Ayu seperti diperas, ini bagian dari tanggung jawabnya sebagai bidan desa, memberi penyuluhan mengenai hal tersebut pada orangtua. Namun, karena kondisi ekonomi kebanyakan warga di sini yang tergolong tidak mampu, dan kebanyakan rumah hanya memiliki satu ruangan saja, maka hal seperti ini lebih sulit untuk dilaksanakan.
Kasus pencabulan semakin meningkat di kampung ini. Orang-orang ringan saja meninggalkan anaknya di rumah, tanpa tahu predator seksual paling bahaya adalah orang terdekat.
Ayu menyimpan kegagalan yang ia rasakan jauh di sudut hatinya.
Murni diam. Rasanya, tidak ada orang yang ia curigai di dekat rumahnya. Ani bermain dengan wanita, teman sebayanya. Bocah lelaki teman Agus, pun jarang main ke rumah. Para ABG kelas enam SD itu lebih sering main di rumah Bayu-tetangga sebelah rumah Murni.
“Orang terdekat adalah orang yang patut kita curigai. Kamu tanya sama Ani, mengapa mendadak dia ingin pakai beha.”
Murni mengangguk. Meskipun ia yakin lingkungan rumahnya aman, tapi saran dari Bu Ayu akan ia lakukan nanti malam.
“Aku masih simpan, beha si Dina yang kekecilan. Masih baru semua, Mur. Kok aku gak tega, kasih si Ani beha bekas. Bentar aku ambil, ya. Ada sekitar enam atau tujuh.”
Senyum tersungging di bibir Murni. Hatinya lega karena Ani akan memakai beha baru, bukan beha bekas seperti perkiraannya tadi.
“Makasih, Bu,” ujar Murni penuh haru saat menerima kantung plastik berisi beha tersebut.
***
Murni tiba di rumah menjelang isya, sebab di rumah majikannya ada acara pengajian. Ani sudah tertidur nyenyak di lantai, bersebelahan dengan Agus.
Setelah bersih-bersih badan, Murni berbaring di sebelah Tono. Pasangan suami istri itu bercengkerama hingga malam.
“Si Ani, loh, Mas. Masa udah minta beha,” bisik Murni pada suaminya.
Posisi tidur yang berdekatan dengan dua anaknya, membuat Murni hati-hati ketika berbicara. Rumah mereka memang tidak besar. Rumah sepetak dengan dinding berbahan bilik bambu tersebut, hanya memiliki satu ruang yang difungsikan sebagai ruang tidur, ruang makan, ruang tamu, sekaligus ruang keluarga.
Kemesraan suami-istri harus mereka lakukan saat kedua anaknya sudah tidur.
“Untuk apa toh?” tanya Tono sambil memainkan rambut istrinya.
“Dadanya udah gede, katanya.”
“Kaya gini, dong.” Tono mencolek payudara milik istrinya.
Murni tertawa genit. Matanya mengerjap, menyambut godaan suaminya. Mereka bercumbu lebih lama malam ini, hingga saat semua sudah selesai, Murni lupa mengontrol suaranya.
Spontan mereka melirik Ani dan Agus. Syukurlah, dua bocah itu masih tertidur lelap.
“Suaramu loh, Mur.” Agus cekikikan. Ada rasa bangga di hatinya, karena berhasil memuaskan istrinya, lagi dan lagi.
Murni pun tertawa senang. Mereka mengulangi semua sekali lagi.
***
Ani tersenyum menatap payudaranya yang tertutup rapat dengan beha baru. Ia senang, karena tidak ada lagi seorang pun yang bisa memegang miliknya itu.
Sebenarnya, Ani ingin bertanya pada mamaknya, bagaimana cara menggunakan benda ini, tapi karena mamak buru-buru berangkat kerja, Ani belajar sendiri, dan ia berhasil. Dadanya sudah tertutup sempurna.
“Ngapain?” Agus muncul dari luar. Mata bocah itu bersinar melihat payudara montok milik adiknya.
“Kang Agus udah gak bisa pegang-pegang dadaku lagi.” Ani menutupi dadanya yang sudah tertutup beha.
Agus melongo, teringat kejadian minggu lalu, saat ia meremas-remas dada adiknya, dan bocah itu menangis kesakitan.
Agus menatap dada Ani yang tertutup beha. Angannya melayang pada kejadian semalam, saat emak dan bapak berciuman di depannya. Kemudian, bapak memegang dada emak. Agus ingin melakukan hal seperti itu juga.
Agus hanya mengintip sedikit kejadian yang sering terjadi malam-malam, dari sekadar ingin tahu, lalu ia selalu menunggu kapan emak dan bapak melakukan itu lagi. Sekarang, ia malah ingin melakukan hal seperti itu bersama adiknya. Agus gemas melihat dada Ani.
“Dikit gak pa-pa, Ni,” ujar Agus, celananya mendadak sempit.
“Enak aja, orang udah aku tutupin kok.” Ani protes, tak ingin lagi miliknya dipegang oleh Agus.
“Dikit loh, Ni. Masa gak boleh,” kata Agus sembari berjalan mendekati adiknya.
Ani ragu, tapi terpaksa membiarkan perbuatan abangnya. Tidak ada rasa sakit lagi, yang ada, Ani merasa enak.(*)
Kota Istana, Agustus 2020
Rinanda Tesniana – Penyuka warna cerah yang cinta suasana malam.
Editor : Uzwah Anna
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata