Begundal

Begundal

Begundal
Oleh: Ning Kurniati

Jadi begini, aku tergabung ke dalam sebuah kelompok. Sebut saja nama kelompoknya X atau Y, pun XY juga bisa, terserah kamu. Kami adalah kumpulan manusia yang sedang dalam proyek bersama. Orang-orang di sana sebenarnya banyak yang lebih muda dariku, tetapi aku tetap memanggilnya “Kakak”. Yah, tidak lebih sebuah kesopanan semata.

Aku tidak jengah, sama sekali tidak. Hanya saja diriku terkadang tergelak sendiri di tengah keheningan. Ah, betapa naifnya mereka. Mana mungkin dengan mudahnya mereka memanggilku “Adik” padahal umur kami cukup jauh. Ini kegilaan, pikirku.

Pada suatu hari, seseorang di sana angkat suara untuk mengadakan pertemuan. Entah apa  yang melatarbelakangi keinginannya itu. Yah, karena menurutku kami tidak punya cukup alasan untuk bertemu. Buang-buang waktu! Akan tetapi beberapa orang justru menyambut dengan tangan terbuka, lalu mengatur jadwal dan terjadilah sebuah kesepakatan. Mau tidak mau, siap tidak siap dengan terpaksa aku pun mengiyakan. Tidak lain sebatas untuk menghargai, setidaknya masih ada harga yang tersisa dalam diriku.

Di tengah guyuran hujan, aku mempercepat langkah menuju sebuah kafe yang terletak tiga bangunan dari persimpangan Jalan Kenangan. Bahkan nama jalannya pun aku tidak suka, benar-benar tidak suka. Kanan-kiri di jalan itu dipenuhi beton-beton kukuh yang menghalangi pandangan dari yang di sebelahnya. Seandainya tidak hujan, mungkin polutan debu sudah memenuhi hidung dan pakaian yang kugunakan. Ah, tapi sudahlah, toh berandai-andai itu adalah hal yang tidak boleh dilakukan. Apabila iya, maka itu sama saja menyelisihi kehendak Sang Pencipta. Toh, aku tetaplah manusia yang bagaimana pun tetap memimpikan surga sebagai akhir dari perjalananku.

Sengaja kugunakan potongan kaus lengan panjang dipadu celana jeans dan kacamata, tak lain tujuannya agar tampangku terlihat lebih muda dari yang sebenarnya. Sepatu yang kasual dengan potongan rambut yang botak. Bukankah aku adalah adik? Jadi, sudah seharusnya aku berdandan seperti itu.

Guyuran hujan itu berhenti menyapa bentala, tepat setelah pintu kafe yang terbuat dari kaca aku buka. Benar-benar menyebalkan, sekarang pun alam berkonspirasi padaku. Ah, tidak, aku tidak boleh marah hanya karena itu. Bukankah diriku adalah adik, akan menua lebih cepat bila marah, bukan?

Jadi, aku sengaja melawan arah menuju toilet sekadar untuk menilik tampangku. Apakah sudah terlihat seperti seharusnya? Setelah menganggap sesuai ekspetasi, diriku pun menuju tempat di mana mereka sudah berkumpul.

Aku berdiri satu depa dari mereka. Mengamatinya satu per satu dengan cermat laiknya elang yang sedang mengincar mangsa. Kursi-kursi mengelilingi meja, beberapa masih kosong menunggu sang pemilik datang. Senyum terurai dari mulut-mulutnya, sesekali renyah tawa terdengar. Mungkinkah sang pemilik bersungguh-sungguh atau otot wajahnya saja yang ingin ia regangkan?  Aku muak.

Setelah semua berkumpul, kecuali aku, akhirnya kuberanikan diri untuk menyapa dan bergabung. Bukan kata yang tepat kuberanikan karena pada dasarnya diriku tipe orang yang kepercayaan dirinya tinggi, percayalah.

Semua mata langsung menyorotku, mengamatiku dari ujung kaki hingga rambut. Di saat seperti itulah tindakan orang ingin kubalas seketika dengan tindakan yang sama. Aku hanya ingin menjelaskan bahwa yang dilakukannya terhadapku adalah tindakan yang tidak mengenakkan untuk sebuah perjumpaan pertama.

Semua telah duduk di kursinya masing-masing. Tujuh perempuan yang kutaksir usianya masih di bawah tiga puluh. Perempuan pertama duduk paling dekat dengan kaca jendela, menggunakan baju merah maroon dengan warna lipstik yang senada, panggilannya adalah Aranisa. Di samping kanannya tiga perempuan dengan dress yang hampir senada biru tetapi tidak sama persis. Kemudian di samping kiri Aranisa, yang pertama setelannya menggunakan jeans dengan baju berlengan panjang. Lalu, di sebelahnya lagi, masih dengan menggunakan celana jeans dan jacket hoodie berwarna abu-abu. Terakhir yang paling dekat denganku adalah yang paling feminin, rok menjuntai ke ujung kaki dengan baju berlengan pendek. Kaum laki-laki sendiri ada kami tiga orang dan percayalah aku yang paling muda, kelihatannya. Dua orang di sebelahku memiliki rambut gondrong dan masing-masing diikat rapi ke belakang. Bedanya yang satu hanya sebahu, satunya lagi sepinggang.

Pembahasan dibuka oleh Aranisa. Hipotesisku benar bahwa dia adalah pimpinan yang diangkat secara tidak langsung oleh kaumnya yang mendominasi. Diskusi berjalan cukup alot mulai dari apakah teknik yang akan kami gunakan ini adalah yang paling terbaik atau masih ada yang terbaik hanya saja belum mampir ke benak, sampai pada hal-hal siapa yang akan maju duluan mengeksekusi. Rumit. Rasanya  ingin ke pelipir jalan, dan memberhentikan taksi untuk membawaku ke suatu tempat.

Enam puluh menit berlalu dan syukurnya kami mencapai kesimpulan. Eksekusi akan dilakukan pertama kali oleh tiga orang perempuan yang menggunakan dress, si jacket hoodie, perempuan paling feminin, disusul Aranisa dan perempuan terakhir. Selanjutnya kaum laki-laki, si gondrong sebahu, lalu si gonrong sepinggang dan yang paling akhir adalah aku. Setelahnya semua bubar tanpa ada basa-basi sedikit pun.

***

Sinar baskara telah menyusup melewati kisi-kisi jendela kamar dan aku masih enggan untuk bangun, masih mengamati langit-langit kamar dan membayangkan para gadis beraksi. Simpul senyum terhias terus. Entahlah, rasanya hobiku sekarang adalah tersenyum. Jadi gemas sendiri pada apa yang akan terjadi.

Lama menikmati kesenyapan, aku pun bangkit dari tempat tidur menuju meja. Lalu, memencet beberapa tombol. Segera tampilan berubah, menampakkan posisi mereka. Setelahnya, membersihkan diri adalah yang terbaik. Efek relaksasi air sangat segar, membawa pikiran terbang melayang. Ah, iya, setan itu tempatnya di kamar mandi, mungkin karena itu pikiranku sering melayang ketika di dalam sana.

Jam sepuluh aku kembali ke hadapan benda berlayar dua puluh inci itu, mulai memastikan posisi mereka. Ternyata yang bergerak adalah perempuan terakhir. Perempuan yang paling pendiam ketika pertemuan dengan jeans dan kemeja panjangnya.

44 jam berlalu, akhirnya posisi mereka berada pada satu tempat. Ini saatnya. Aku bergegas mengumpulkan barang yang harus kubawa pergi. Flashdisk adalah yang terpenting. Setelah yakin semua rapi, langkah terkayuh keluar dari ruangan yang enam bulan menjadi tempat bernaungku.

Menggunakan sepatu trainers, celana ngatung (cropped pants) abu-abu dengan kaus senada, tidak lupa kacamata bertengger di wajah, aku yakin ini adalah tampilan cocok untuk menghadiri pertemuan yang amat ditunggu. Beberapa menit menunggu akhirnya bapak ojek online datang juga. Sebenarnya tidak keren, tampilan sudah bagus begini malah harus menggunakan ojek online. Si Tua Bangka itu harus bertanggung jawab.

35 menit, akhirnya aku sampai ke bangunan dengan logo tiga bintang pada puncaknya. Beberapa orang menyapa dengan gaya khasnya, mengangkat tangan menempelkan pada alis mata, lalu, “Hormat, Dan!” yang kubalas dengan gerakan yang sama.

“Sudah berapa kali aku bilang pendingin ruangan adalah hal wajib yang harus ada dalam kamarku.”

“Sebelum masuk ruangan ketuk pintu dulu, beri salam. Ke mana etikamu?”

“Hilang mengalir bersama keringat. Pokoknya aku tidak mau bertugas kalau tidak ada pendingin ruangan.”

“Aku atasanmu.” Lelaki dengan ikat rambut yang tidak pernah lepas dari kepalanya itu memandang tajam padaku.

“Aku berbicara sebagai keponakan.”

“Benar-benar ….”

Dia bangkit mengangkat tangan untuk menjitak. Refleks sebagai sasaran aku menghindar. Justru tanganku balik menyerang dengan mengambil dompet dari balik celana Paman.

“Wiih … duit, aku ambil semua, ya!”

“Hei, Begundal! Kemarikan dompetku!” ucapnya dengan emosi yang sudah tak mampu ditahannya.

Aku melempar dompet ke arahnya. Lalu segera berlari ke pintu dengan semringah. Tepat ketika pintu tertutup rapat dia berteriak, “Begundal, kembalikan ATM-ku.”

“Tidak mau, aku harus menghabiskannya sebagai bayaran ruanganku yang tidak ber-AC.”

“Kau tidak tahu password-nya?” teriaknya lagi.

“Itu hal yang mudah!”

Senandung siulan mengiringi langkahku menuju ruangan tempat kawanan itu ditahan alias kakak-kakakku. Rompi orange sudah membungkus kaus-kausnya. Seketika tatapan tajam ganal-ganal menusuk diriku.

“Situasinya tidak chaos ketika penangkapan, kan?” Semua orang terkesiap  kecuali Ara yang masih dengan lipstik merahnya.

Chaos gundulmu!”gerutunya.

“Ushhh.” Aku menutup mulut menggunakan jari menyuruhnya untuk diam. “Maaf.”

“Kau tidak bilang mereka akan menerjunkan prajurit sebanyak itu,” bisik Aranisa.

“Oh, itu, bos besar sengaja menyuruhku seperti itu. Agar kamu dan buah-buah baru semakin bisa diandalkan di lapangan,” tukasku dengan senyum. Sedangkan dia nyaris tidak ada ekspresi, yang ada hanya tatapan menghunjam. “Baiklah, aku pergi dulu. Ini kunjungan pertama dan terakhirku sampai big plan akan dilaksanakan.”

“Jangan terlalu jauh bermain. Meski di dalam sini, aku masih bisa mematahkan leher mereka lewat kaki tanganku,” bisiknya lagi sebelum aku benar-benar melangkah pergi. (*)

 

Bulukumba, 12 Mei 2019

Ning Kurniati, perempuan biasa ingin menjadi luar biasa yang lahir pada Kamis, 11 Desember 1997.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata