Beduk Lapuk
Oleh: Ray Eurus
Editor: Inu Yana
Kita pernah berikrar akan memperbaikinya dalam perjumpaan di kemudian hari. Seingatku, dua waktu yang lalu, saat pertama kali kau menginjakkan kaki ke pulau kami. Kali pertama juga aku tahu, kalau keyakinan yang kami anut selama ini memiliki kegiatan menahan diri untuk tidak makan dan minum, dan lain sebagainya saat bulan khusus itu tiba. Ya, bulan khusus pertama kali kau dan semua teman-temanmu datang, dua waktu lalu.
“Namanya bulan Ramadan, Boy,” katamu menjelaskan saat itu.
Oya, aku sangat suka saat kau panggil aku seperti itu. Aku merasa keren, seperti orang kota saja. Sayangnya, semua anak lelaki di sini kau sapa seperti itu. Aku jadi merasa tak lagi istimewa dari yang lain. Ah, sudahlah!
Aku juga ingat saat satu waktu yang kedua itu, kau sempat bilang kalau rencana kembali menghabiskan ramadan di pulau kami terkendala oleh pasukan tak kasat mata yang sedang Allah tugaskan menjemput orang-orang pilihan. Namun, kau dan teman-temanmu berhasil untuk datang kembali mengajarkan kami mengaji, menghafal bacaan sembahyang, dan juga membuat beduk untuk menjadi penanda waktu salat tiba. Oya, untuk memberi tahu orang-orang juga, kapan waktu berbuka dan kalau ada hal penting lainnya.
Nah, beduk yang kita buat beramai-ramai itu kini lapuk. Aku tahu, kau sudah mengingatkan bahwa semua kita buat tanpa perhitungan matang, dadakan. Jadi, sudah dapat dipastikan tak bertahan lama.
Bulan lalu, saat teman-temanmu yang lain datang membawakan berkarung-karung beras ke tempat kami, aku sudah mengadukan masalah beduk itu. Mereka menyarankan agar aku dan anak-anak di sini mencari batang bambu saja, dan membuat kentungan untuk sementara waktu. Itu sudah kami lakukan. Akan tetapi kau tahu, ‘kan, maksudku?
Aku maunya kau datang, menyiapkan bahan-bahan terbaik dari sana, biar beduk yang akan kita buat nanti akan bertahan lama. Apakah bahan-bahannya sangat sulit dibawa dalam perahu kelotok yang kau biasa tempuh selama dua belas jam menuju ke sini?
Ah, masa begitu saja kau kesusahan? Nyatanya, kalian mampu membawa berkarung-karung beras menyeberang ke pulau kami setiap bulan.
Cepatlah datang! Aku tak ingin berbagi peran sebagai Bilal dengan anak-anak lain. Kalau pakai beduk, hanya aku yang boleh menabuhnya. Karena hanya aku yang paham saat kauajarkan membaca waktu salat, meskipun saat hari sedang mendung atau hujan, kami semua akhirnya libur sembahyang.
Aku pernah dimarahi sama Mak. Katanya, “Belajarlah sungguh-sungguh! Tanyalah yang banyak kalo kakak-kakak kota datang bawa beras.” Begitulah, pas berhari-hari sedang hujan dan aku tak tahu kapan harus menabuh beduk. Sampai akhirnya beduk lapuk.
Aku sempat khawatir, apakah kau kena jemput pasukan Allah itu? Aku masih penasaran dengan pasukan bernama Corona itu. Aku dengar dari keponakan kepala desa, orang-orang di kota banyak mati dibuatnya. Akan tetapi, dia menambahkan agar kami penghuni Pulau Karimata tak perlu cemas. Pulau kami terpencil dan susah dijangkau. Jadi, pasukan itu pun susah menyeberang kemari.
Kau aman saja, ‘kan?
Pokoknya, aku tunggu secepatnya kedatanganmu menunaikan janji itu. Membuat beduk baru dengan bahan yang lebih bermutu.
Aku percaya, kau pasti datang. Sebab, tak cuma aku yang selalu mendoakanmu, anak-anak lain pun melangitkan pinta yang sama. Kebaikan buat kalian, biar selalu kembali datang menggambarkan dunia melalui cerita-cerita kalian.
Aku mengarahkan kursor pada tulisan “Sign Out”, setelah berhasil menata hati dan menyeka sudut mata. Selain semua ucapan bela sungkawa yang kuterima melalui semua akun sosial media milikku maupun miliknya, ini adalah satu-satunya pesan elektronik dari akunnya yang berhasil membuat air mataku tumpah.
Sepanjang hari, aku masih bisa berdiri tegak, bahkan melayangkan senyuman buat kerabat yang datang secara langsung ke kediamanku. Bahkan saat sahabat bertandang dan memeluk erat, berniat mentransfer kekuatan, justru aku yang menenangkan tangisnya. Aku masih bisa sekuat itu, karena keyakinan besarku akan kehidupan lebih baik yang dia jalani setelah ini.
Akan tetapi, berbeda dengan pesan dari seorang anak yang baru berangkat remaja tersebut. Kebaikan yang sudah pernah dia tebarkan di sana, bersama anak itu dan seluruh penduduk dusun, sungguh menambah haruku. Dia memang orang baik, lelaki pilihan yang lebih dicintai-Nya. Apalah artinya jika dibandingkan dengan cintaku yang baru saja mekar bersemi tiga bulan terakhir saat akad baru saja diucapkannya.
Ya, kisah kami baru saja dimulai. Usia pernikahan kami masih seumur jagung. Bahkan, aku baru saja memberitakan kepadanya bahwa saat ini sedang mengandung anaknya. Sayangnya, aku hanya bisa mengabarkan berita gembira itu, melalui layar ponsel saja. Akan tetapi, syukurnya saat itu kondisinya belum memburuk. Jadi, dengan bantuan perawat yang berjaga kami bisa saling berbicara melepas rindu, menggunakan ponsel milik perawat baik hati itu.
Selamat jalan cinta. Semua sumbangan yang terkumpul dari semua orang yang mengasihaniku, akan kudedikasikan untukmu. Sebentar kuminta sahabatmu untuk serius membuatkan beduk baru untuk mereka di sana. Sekaligus buku dan kitab-kitab berguna lainnya. Agar semua tetap merasakan kehadiranmu di luar sana.[*]
Kota Minyak, 28 Mei 2021
Ray Eurus. Penulis asal Kalimantan, yang belakangan semakin dibuat takjub dengan kegiatan pasukan khusus yang masuk ke pedalaman menyebarkan kebaikan kepada generasi gemilang penerus peradaban.