Because of Emak (Bab 5)

Because of Emak (Bab 5)


Oleh: Dyah Diputri

Percik Cinta

Sebuah panci melayang ke arahku. Sontak aku meloncat ke samping sebelum panci itu membuat benjol jidat. Serangan berhasil dihalau. Panci itu mencium lantai hingga menimbulkan bunyi klontang. Tahu eksekusinya gagal, si pelempar panci yang berkacak pinggang itu menyerbu langsung.

“Dasar bocah nggak nurut omongan orang tua! Baru  juga semalem dibilangin, baek-baekin calon bini lu! Ini malah bikin dia marah! Lu mau nentang emak lu? Mau kualat?”

Wadidaw! Ada juga Rohman minta doa restu di tiap langkah, Mak!

Aku meringis, Emak semakin kalap. Aku diam, Emak lempar peralatan dapur lagi. Aku menjawab … apalagi! Bisa-bisa diusirnya aku malam-malam begini. Badanku gemetar, sementara di depan televisi Mawar berjoged-joged riang sambil cekikikan menertawakanku. Ah, adik sialan!

“Noh, ambil kontak motor! Pergi minta maap sama Belpin. Jangan pulang tanpa bawa dia ke sini!”

Elah! Malam-malam begini harus ke rumah gadis itu? Mending, kalau dia mau bertemu dan menanggapi permintaan maafku. Kalau tidak? Mau tidur di mana malam ini? Si Emak ada-ada saja.

“Besok napa, Mak. Udah malam juga.”

Emak melotot. Diangkatnya tinggi-tinggi satu penggorengan besi ukuran sedang–yang biasa dipakai untuk menggoreng rempeyek. Terbayang nyerinya jika benda itu mengecup ubun-ubun. Nyut-nyut, pasti. Belum lagi saat ini Emak sudah bersiap dengan embusan napas kasarnya.

Aku hanya punya beberapa detik untuk menyahut gantungan kunci motor di meja tamu. Lalu, diiringi gelak tawa Mawar yang kian menjadi, kakiku melangkah panjang-panjang ke luar rumah. Beginilah nasib anak yang patuh sangat kepada orang tua. Jangankan membangkang, mengucap nanti pun bisa menimbulkan suatu bencana. Kalau tidak di dunia, murkanya juga bisa tembus di akhirat.

“Lu inget, ya. Jangan pulang sebelum bawa Belpin ke sini.”

Pintu terbanting keras. Aku terdiam sejenak, memandangi kaca jendela rumah. Cahaya di ruang tamu mulai padam. Suasana gaduh tak terdengar lagi. Kulirik angka jam di ponsel, lalu menggigit bibir. Pukul sembilan malam.

 

***

 

“Masuk, Man.” Bu Aini menyilakan masuk. Agak sungkan rasanya bertamu malam-malam seperti ini.

“Rohman mau bicara sama Belvin, Tante. Boleh?” ucapku setelah duduk di ruang tamu.

“Panggil mama aja. Bentar lagi kamu jadi mantu tante. Eh, tapi … Belvin-nya udah tidur, tuh. Emang ada apa, Man?”

Bu Aini bertanya seolah-olah tidak paham apa yang sedang terjadi. Padahal, sore tadi aku dan Belvin batal mengukur badan untuk jahitan baju di butiknya. Seharusnya, dia sudah tahu alasannya jika Belvin mengadu. Apa Belvin memang tidak bercerita apa-apa?

“Ehm, maaf tadi sore gak jadi ke butik, Tante, eeeh … Ma.” Mendadak aku grogi.

“Oh, masalah itu, nggak pa-pa. Kan, emang Belvin masih males keluar rumah tadi.”

Dahiku berkerut, merasa aneh. “Belvin bilang begitu? Nggak cerita apa-apa?” tanyaku penasaran.

Bu Aini menggeleng, lalu tersenyum. “Memang kalian lagi ada masalah?”

Aduh, kenapa malah jadi diinterogasi balik? Senyumku tersungging paksa, bingung harus memulai dari mana untuk menjelaskan. Lagipula, Belvin sudah menutupi-nutupi kesalahanku di depan mamanya. Dalam hati aku menghitung angka-angka di kalender–yang tertangkap oleh mata tergantung di dinding rumah Belvin–sambil merapal “cerita, tidak, cerita, tidak, cerita ….”.

“Belvin itu dulu nggak tertutup, Man. Penampilannya juga nggak seperti sekarang. Tuh, kamu lihat fotonya.” Bu Aini menunjuk sebuah bingkai foto yang berdiri di nakas sudut ruangan.

Aku tergerak untuk mengambil bingkai foto itu. Mataku bergerilya menelisik tiap sudut grafiti gambar yang tercetak di selembar foto itu. Wajah berkulit putih milik Belvin yang tertutup sempurna oleh gamis dan penutup kepala. Bagian belakang kerudung warna merah muda terjulur panjang dan ujungnya sedikit disentil angin. Senyumnya merekah seperti kembang dahlia. Sudut mata–yang selama ini setahuku tertarik ke atas–dalam foto berkukuran 5R itu menyudut ke bawah, berpadu dengan lengkung senyum hingga menciptakan siluet wajah yang manis dan ceria.

“Dia berubah sejak ayahnya meninggal tiga tahun yang lalu.” Ibu Aini menyadarkan keseriusanku menyelami penampilan lama Belvin.

“Kenapa bisa begitu?”

“Ada suatu ujian yang Allah beri untuk manusia, untuk menaikkan tingkatan mereka. Namun, terkadang manusia lebih dulu kehilangan iman sebelum mengadu kepada pencipta-Nya. Mereka merasa begitu tak punya daya, padahal Allah hanya ingin mereka lebih dekat dengan-Nya. Sayangnya, waktu itu jalan pikiran Belvin tertutup oleh satu dan lain hal.”

“Sedekat apa Belvin sama ayahnya, sampai dia begitu frustrasi?”

“Sedekat kamu sama emak kamu, Man.”

Hatiku terasa diriis-iris belati. Membayangkan aku berada di posisi Belvin, pasti limbung dan oleng saat kehilangan orang yang paling disayang. Kadar kekuatan manusia juga pastinya berbeda-beda, apalagi jika ada masalah lain seperti yang diucapkan Bu Aini, tentu gadis itu juga terombang-ambing tanpa kendali dan pengendali.

“Waktu itu, mama juga kehilangan. Kemudian menyibukkan diri dengan kegiatan di butik. Semua berlalu begitu cepat, tanpa mama sadari Belvin terluka sendiri. Mama nggak bisa berbuat apa-apa untuk mengembalikan Belvin yang dulu.” Bu Aini menunduk, lantas menangis terisak-isak.

Ah, dadaku semakin sesak mendengar hal ini. Tak pernah sampai dalam benakku jikalau beberapa tahun ini air mata adalah satu-satunya sahabat bagi Belvin. Dua orang wanita yang sama-sama kehilangan, mencari penghiburan hati dengan cara sendiri-sendiri. Mereka berdua menangis di dua tempat yang berbeda dan menganggap semua yang terjadi hanyalah sebuah efek. Namun, bukankah manusia bisa memilih untuk mencari cahaya hidayah ketimbang menikmati akibat dengan bersakit-sakit di dada dan tertatih-tatih melangkah?

“Allah akan menyelesaikan perkara di antara manusia, Ma. Yakinlah, akan ada jalan keluar untuk masalah ini.” Kuletakkan kembali bingkai foto di meja, sembari membesarkan hati Bu Aini.

Wanita berjilbab lebar itu mengusap titik-titik terakhir air mata dan tersenyum. Kepalanya kembali terangkat. “Kamu benar, Man. Insyaa Allah, semoga pernikahan kamu sama Belvin nantinya membuka jalan keluar itu.”

Hmmm, lega rasanya melihat wanita itu kembali bersemangat. Namun, ada bagian dalam dada yang berbalik jadi sesak karena terpikir olehku hal-hal yang lain. Bisakah aku mengembalikan sosok berjilbab di foto itu? Apa jangan-jangan setelah kejadian sore tadi, dia malah semakin terpuruk? Bagaimana jika gadis itu tidak mau mendengar penjelasanku? Apa yang akan terjadi kalau aku tidak bisa membawanya ke hadapan Emak?

Emak. Emak. Emak. Kalau malam ini aku tidak berhasil menemui Belvin, aku tidur di mana?

“Besok pagi-pagi kamu ke sini lagi. Biasanya Belvin suka berjemur di halaman depan. Kadang kalau siang dia sudah berangkat ke butik bantuin mama. Atau sekalian, besok berangkat bareng ke butik buat ukur jahitan. Ya?” nasihat Bu Aini.

Tuh, kan … Rohman diusir sana-sini! Because of Emak, sih!

“Masalahnya, hmm, Rohman gak boleh pulang sebelum Belvin maafin Rohman, Ma.” Aku nyengir kuda.

Bu Aini memasang wajah bengong. “Hloh, jadi kalian beneran ada masalah, toh?”

Aku nyengir lagi. Dalam hati berkata, Mampuslah kau, Rohman!

“Mana Belvin kalau lagi ngambek nggak mau keluar kamar. Hayoo loh!”

Fiuh! Apa malam ini aku harus tidur di pos ronda? Ya Salam ….

 

***

 

Kami duduk bersisian di teras, menikmati aroma hujan pada sore hari. Ribuan jarum langit merinai dan melagukan simfoni gemericik yang menenangkan. Rumput-rumput gajah basah dan menggigil, sementara kuncup-kuncup bunga rosemary yang berlindung di dalam pot-pot kecil di sepanjang taman seolah-olah tertawa senang.

Ujung kerudung Belvin tertiup-tiup angin. Alih-alih sebal, dia tersenyum dan merapikannya kembali. Melihat itu, perasaanku menjadi damai. Bahkan, bukan hanya aku. Banyak senyum tercipta melihat gadis itu kembali pada jati dirinya. Seorang muslimah yang salihah dan ceria.

“Kamu tahu nggak?  Saat mendung datang, Allah meliburkan bintang-bintang untuk menghiasi langit. Aku benci kalo itu terjadi.” Belvin memanyunkan bibir.

“Kamu banyak protes, sih.”

“Iya, emang.” Tawanya tergelak. “Tapi, kamu tahu nggak?”

“Nggak tahu,” jawabku cepat.

“Ya, makanya dengerin. Kukasih tahu. Kata Ayah, saat bintang-bintang itu pergi, Allah menggantikannya dengan hujan. Lalu  dengan air hujan itu,  ditumbuhkan-Nya segala macam tumbuhan. Setiap tanaman yang menghijau akan menghasilkan butir yang banyak, tangkai-tangkai menjulai dari mayang kurma, kebun-kebun anggur, juga zaitun dan delima. Dalam Al Quran surat Al An’am itu Allah menyeru agar manusia bersyukur.”

“Intinya, habis gelap terbitlah terang.” Aku tertawa kecil.

“Iya, kamu bener. Aku pernah ada di suatu titik, di mana harus merasa kehilangan yang sedalam-sedalamnya. Aku kacau dan nggak tahu harus ngapain. Sepanjang hari perasaan bersalah timbul, seperti nggak ada habisnya. Aku menyesal, tapi terlarut dalam sesal. Sampai-sampai aku buta untuk melihat jalan di hadapan. Aku malu sama Ayah dan Mama karena gagal jadi anak yang baik.” Belvin mendesah, kemudian terdiam sejenak sambil memandang rintik hujan yang tak habis-habis–seperti rasa bersalahnya.

“Saat itu, kamu hanya sedang lupa kalo ada pelangi setelah hujan reda. Alhamdulillah, ‘kan, sekarang kamu udah balik kek dulu.”

“Dan pelangi itu ada kalo masih ada matahari yang muncul dari balik awan hitam. Kamu matahari itu, Man.” Belvin tersenyum lagi.

Merasa dipuji, aku ingin melonjak kegirangan. Namun kutahan, jaga gengsi. Akhirnya, aku hanya balas senyum penuh kepercayaan diri di hadapan Belvin. Sekadar menambah kesan romantis, kuberanikan diri mendaratkan sentuhan di tangannya.

“Man,” lirihnya.

Jemariku mengusap punggung dan telapak tangan Belvin. Menggenggam sebentar, lalu kutelusupkan jemari di antara jari-jari lentiknya. Wajah kami saling terpantul di bola mata. Suara gemericik hujan menambah syahdu. Angin juga lembut menampar wajah. Kami menggenggam semakin erat. Tak ingin terpisahkan.

“Rohman” Sekali lagi dia mengucap namaku.

“Ya, Bel.” Untuk pertama kalinya, aku menyebut nama gadis itu, lirih.

“Man, Rohman ….”

“Woooiii, Rohmaaaan!”

Potongan puzzle yang menggambarkan wajah Belvin pudar satu per satu. Tersisa kegelapan, yang kemudian berangsur-angsur membiaskan cahaya terang. Tanganku meraba-raba. Sial! Tangan Belvin juga hilang. Namun, suaranya masih terdengar. Awalnya lembut, tapi lama-kelamaan tegas, nyaring, dan lalu … kencang!

“Bangun gak! Dasar bujang molor! Cepetan bangun!”

Aku gelagapan. Mata terbuka paksa berkat suara melengking Belvin. Seluruh tubuh rasanya sakit dan pegal. Kupaksakan duduk, sembari mengucek-kucek mata. Beberapa menit kemudian, barulah aku tersadar kalau pemandangan hujan dan momen manis tadi hanya … mimpi. Eaaa!

“Mama udah nunggu di butik. Buruan bangun, Kutu Beras!”

Belvin berteriak lagi. Aku membuka mata lebih lebar dan memindai ke sana-kemari. Heran! Ada suaranya, tapi wujudnya tidak ada! Aku menunduk, lalu pandangan jatuh pada sofa putih yang tak asing lagi. Sofa ruang tamu di rumah Bu Aini. Ah, iya! Semalam Emak mengusirku, lalu Bu Aini kasihan dan mengizinkanku tidur di sini hanya untuk satu malam.

Baru akan menguap dan meregangkan badan, sebuah bantal menyosor wajah. Ah, tidak! Lebih tepatnya menyerang! Berkali-kali pula. Kesadaranku akhirnya kembali.

“Ooi, ampuun, Mak. Ampuun!” teriakku spontan, merasa kebiasaan ini selalu terjadi di rumah Emak, dan Emak pelaku terbaiknya.

“Emak, Emak pala lu peyang! Ini Belvin, Oon!”

Mataku mendelik! Lantas, kuhalau bantal yang menghalangi pandangan. Karena dia masih menyerang, aku bangkit dan menangkap bantal sofa itu. Pandangan kami bertemu, lalu … seketika aku menelan ludah. Pegal-pegal di badan juga hilang begitu saja.

Mimpiku menjadi nyata!

 

***

 

Aku dan Belvin sampai di butik pukul sepuluh siang. Tanpa banyak basa-basi, kami mengikuti Bu Aini menemui salah satu karyawan terbaiknya  untuk mengukur badan. Setelah kami disambut oleh seorang tailor berkelamin dobel yang ramah bernama Jeany, Bu Aini tergesa-gesa pergi.

“Man, nitip Belvin, ya. Nanti anterin pulang sekalian. Mama cukup sibuk hari ini, ada banyak urusan. Ada jadwal kursus pelatihan di luar kota.”

“Mama pulang malem, dong!” seru Belvin.

“Waduh, nggak tahu juga, Bel. Kalo kemaleman, kemungkinan Mama nginep di hotel semalem. Kamu nggak pa-pa, kan?”

“Takut, ah! Napa nggak pulang aja, sih?” Belvin merajuk, tepat saat si Jeany melingkarkan tali ukur di perutnya.

“Ehm, mama udah telat, Sayang. Kalo kamu takut, sementara ikut Rohman aja, ya. Bobok di rumah Emak. Ya, oke, bye! Assalamualaikum.” Bu Aini berlari kecil meninggalkan butik.

Belvin melipat muka sedemikian rupa. Mulutnya juga mengomel tidak jelas. Sesekali dia meluapkan kekesalan kepada Jeany, mas plus mbak yang katanya jahitannya rapi sekali itu. Lucu sekali, apalagi saat ini wajahnya sudah berhias jilbab lagi. Jadi terlihat kontras dengan sikapnya yang galak dan cerewet.

“Dasar bawel, udah pake hijab masih aja suka ngedumel!” sindirku.

“Apa kamu bilang? Kalo berani ngomong yang keras, jangan bisik-bisik lebay kek Jeany!”

Aku tertawa mendengarnya. Belvin melotot dan berkacak pinggang, sedangkan Jeany kesulitan mengukur lingkar lengan Belvin.

“Jangan galak-galak jadi perempuan. Malu sama lipstik!” ujarku girang.

“Ish, dasar Oon!”

“Oneng!”

“Monyet!”

“Kutu monyet!”

“Kutu beras!”

Hah! Aku tergelak lagi sampai perut mulas. Tampak si Jeany mulai sebal dan berkeringat. Tali ukur digantung di leher, kemudian dia menyedot minuman dingin yang ada di mejanya. Kasihan, sampai senewen menanggapi tingkah anak juragannya.

“Ngoceh aja terus. Ntar malam nangis daaah di rumah sendirian!”

“Rohman sialan!” Belvin berteriak geram.

Perutku melilit tak keruan. Si singa betina kehilangan taring dan hanya bisa berdecak sebal. Si Jeany memasang earphone di telinga lalu mengambil sebentang kain dan menggunting pola. Dengan gaya bicara manis-sepat-manja dia berkata, “Ngimpi apa eike semalam, Boo’ … adinda dua makhluk astral di butik indang. Rempong, Cyint!”

“Udahlah, buruan ukur aku dulu, Mbak Mas Jeany. Keburu kerja,” ucapku.

Jeany kelihatan berapi-api menanggapi ajakanku. Dari caranya berdiri dan menyambutku, seakan-akan aku ini ikan asin yang siap diterkam kucing. Astaga! Dalam sekejap situasi terbalik. Belvin cekikikan melihat asisten mamanya mencari-cari kesempatan menggerayangi bodiku. Najis!

Setengah jam setelahnya, akhirnya aku bisa lepas dari gangguan si Jeany. Belvin juga sudah selesai diukur. Seorang kurir datang dan mengantar enam kotak food delivery order. Empat kotak dibagikan kepada karyawan butik, dan dua sisanya untuk kami berdua.

Belvin mengajakku ke tingkat dua bangunan ruko. Kami memasuki ruangan kerja Bu Aini yang biasanya menjadi tempat dia berleha-leha saat jam makan siang. Ada sebuah meja kerja lengkap dengan buku-buku mode dan fashion, satu sofa warna hitam panjang dan meja kaca, serta sebuah televisi LED. Ada beberapa foto terpajang di dinding, kesemuanya tampak manis. Foto remaja Belvin, foto masa kecil yang diapit ayah dan mamanya, foto bayi, dan foto Bu Aini yang sedang menerima penghargaan.

Belvin menyilakan makan walaupun tidak menggunakan nada kalem. Namun, aku masih asyik memandangi satu per satu foto yang ada. Sampai pada saat aku terpaku pada selembar foto tanpa bingkai yang posisinya terbalik di meja. Beberapa majalah yang agak berantakan menindih dan menutupi tiga per empat bagian foto itu. Penasaran, dengan hati-hati kuambil foto itu.

Dadaku memanas, bergemuruh tanpa ada yang tahu. Ada percik-percik api terpantik lalu menyala. Menyala sampai terbakar. Cemburu itu terkadang datang sebelum kamu merasakan cinta.

 

 

Dyah Diputri
Pecinta diksi yang tak sempurna.

Fb: Semutnya Al El,

email: dyahdiputri@gmail.com

Leave a Reply