Because of Emak
Oleh : Dyah Diputri
Bab 3 – Cincin
Aku kembali berdiri di depan rumah Belvin pagi ini. Ragu, antara maju mengetuk pintu atau mundur perlahan. Jika bukan karena tanda baktiku kepada Emak, tak akan aku sangsi untuk balik kanan dan membuka pagar rumah yang baru semenit yang lalu kulewati.
Semalam, sepulangku dari rumah Kamila, Emak sedang salat Magrib. Beruntung, jadi aku tidak perlu mengendap-endap masuk ke kamar untuk menghindari bombardirnya. Meskipun suara Emak tak jauh beda dengan dengung tawar-menawar orang-orang di pasar, tapi dia seorang hamba yang khusyuk saat beribadah.
Setiap Magrib sampai Isya, biasanya Emak menunaikan salat dan berzikir di hamparan sajadah berwarna cokelat susu milik almarhum Bapak. Sering aku mendengar lirih doa-doa tulus yang keluar dari bibirnya, tak jarang pula disertai isakan. Tangan tertangkup lebar dengan kepala menengadah, melangitkan pinta yang terlalu banyak tapi bukan untuk dirinya sendiri. Asa-asa yang terbang dengan perantara suruhan Allah itu tentangku dan Mawar. Tentang hidup mati kami. Masa depan kami. Kebahagiaan dunia akhirat kami. Ampunan-ampunan bagi kami. Juga perlindungan dan kesehatan kami. Lantas, bagaimana aku sanggup menolak satu saja pintanya yang teriring doa-doa suci itu?
“Emak pesen, Mas Rohman jangan ganggu. Emak lagi pengen sholat sampai malem,” ucap Mawar yang menyambut kepulanganku.
“Lah, katanya mas disuruh anter ke rumah Belvin.”
“Nggak jadi. Besok aja, katanya. Mas juga disuruh ke sana sendiri, buat anter Mbak Belvin beli cincin kawin.”
Lepas Mawar pergi, kuintip Emak lewat celah pintu. Terlihat Emak sedang berdoa. Dia mengadukan rencana pernikahanku dengan Belvin. Harap-harap sepenuh rasa dipanjatkannya. Begitu tulus, hingga tak sadar mataku berembun dan menghangat karenanya.
Rohman sayang Emak. Rohman akan melakukan apa pun yang Emak pinta. Rohman janji.
Jadi, pagi ini aku sedang berperang melawan keengganan hati dan melawan jauh-jauh rasa takut. Berkali-kali kuyakinkan diri agar tidak berprasangka buruk akan hal yang belum terjadi. Bukankah Allah mengikuti prasangka hamba-Nya? Seharusnya aku berpikir positif tentang Belvin. Mungkin, pada pertemuan pertama waktu itu dia sedang PMS, jadi senewen dan galak. Bisa jadi saat ini dia sudah jadi anak kucing yang lucu dan manis, bukannya singa betina yang garang.
“Bismillah, bismillah, bismil–“
“Ngapain kamu berdiri di situ? Takut salah rumah? Takut salah ucap salam? Tangannya keseleo, sampai nggak bisa ketuk pintu? Atau nyesel dateng ke sini?”
Si Belvin tiba-tiba saja sudah ada di belakangku. Sontak aku terlonjak kaget. Baru saja mengucap basmalah, Allah sudah hadirkan biang masalahku. Di tangannya sebuah kantung kresek merah besar berisi belanjaan dan sayuran. Satu tangan yang lain memegang kontak motor berbentuk boneka kelinci, juga bandul kunci berbentuk alfabet B dan A. Sepertinya baru pulang dari pasar.
“Ehm, nganu … aku, eh … Emak! Iya, Emak nyuruh aku ke sini.”
Sial! Kok jadi gelagapan begini saat melihatnya. Kupaksakan senyum untuk mengaburkan gemetar badan. Namun, sepertinya usahaku sia-sia. Belvin yang hobi melotot itu cuek. Dia menyuruhku minggir agar bisa membuka pintu rumah yang masih terkunci. Seketika aku menyadari sesuatu dan menemukan ide untuk membalas kegalakannya.
“Untung tadi nggak jadi ngetuk pintu. Bisa-bisa lecet beneran tanganku ngetuk pintu rumah yang nggak ada penghuninya.” Aku tertawa penuh kemenangan.
“Nggak sekalian bilang nyesel dateng ke sini?” Jemari lentik Belvin membuka gagang pintu dengan kasar diikuti satu lirikan tajam ke arahku. Bibir kecil yang seharusnya terlihat manis jika tersenyum itu mengerucut. Kemenanganku dibabat lagi.
Aku tetap berdiri di depan pintu, sementara Belvin masuk ke dalam rumahnya. Pikiranku masih sibuk mencari-cari cara agar atmosfer antara kami sedikit nyaman. Bagaimana, bagaimana? Gadis itu isinya hanya emosi dan keras hati, tidak bisa lunak barang sedikit. Apa iya harus kurebus dulu hatinya pakai panci presto biar empuk? Apa perlu di-steam otaknya agar bisa berpikir slow? Apa kudu dirukiah dulu biar setan dalam tubuhnya keluar, sehingga dia bisa mengenal tata krama?
“Kamu mau diem di situ sampai sore atau cabut ke toko emas?”
Hloh? Aku menoleh ke kanan-kiri. Pintu sudah tertutup lagi. Belvin sudah bersiap menghidupkan motornya lagi. Sedangkan aku masih berdiri tegak di teras seperti patung pancoran. Wah! Tak salah kalau Emak bilang loading-ku lama. Bikin malu!
“Kenapa naik motor kamu?” Kuhampiri dia.
“Ya karena ini motorkulah!”
“Kenapa nggak naik motorku aja?”
“Itu, kan, motor kamu!”
“Ya, why not kalo naik motorku, Nona Belvin?”
“Kenapa nggak naik motor sendiri-sendiri aja? Kamu mau nyari-nyari kesempatan?”
Hhhrrrggghhh!
***
[Kamu libur, ya? Sibuk apa sekarang?] Chat dari Kamila.
Belvin masih sibuk memilih-milih cincin kawin sejak setengah jam yang lalu di toko ini. Katanya, kalau tidak memilih yang bagus, elegan, dan mahal, bukan Belvin namanya! Terserah, yang penting kakiku mulai kebas karena berdiri terlalu lama di depan etalase kaca. Mengenaskan!
[Nganter Belvin beli cincin.] balasku.
[Cieee! Jalan berdua aja. Yang mesra, ya.], balasnya disertai emot senyum manis.
[Mesra apaan? Galaknya nggak ketulungan.]
Iseng, kufoto punggung Belvin yang lagi asyik mememelototi beberapa pasang cincin pilihannya. Lalu, kukirimkan pada Kamila. Tepat pada saat foto terkirim, Belvin berbalik badan dan menatapku.
“Lihat sini! Antara ini sama ini mana yang bagus?” Belvin bertanya, tapi mimiknya tetap sedatar jalanan yang baru diaspal.
Kupandangi dua pasang cincin yang dia pegang. Masing-masing punya keindahan sendiri-sendiri. Namun, karena tidak paham tentang model dan kualitas perhiasan, aku cuma bilang: terserah. Justru, yang lebih menyita perhatianku adalah tulisan gram di kertas kecil yang terkait benang merah dengan cincin itu. Sebuah bobot yang cukup fantastis angkanya, yang kutaksir membuat cincin itu berharga tinggi. Mak deg! Napasku rasanya sesak. Kira-kira, uang di dompetku cukup atau tidak?
“Nggak ada model lain? Ini berlebihan menurutku,” ujarku, berusaha mengantisipasi hal yang tidak-tidak.
Belvin menggeleng, pertanda pilihannya tidak bisa ditawar lagi. Ya, dia menggeleng, aku juga menggeleng sambil dalam hati berteriak, Tidaaak!
Tak habis akal, ku-chat Kamila kembali dengan cepat. [Mil, ada ayat Al Quran yang menganjurkan agar tidak berlebihan pilih cincin kawin?]
Dua detik Kamila membalas, [Uang kamu kurang, ya? Mau kupinjemin dulu?]
Keringatku membanjir. Tak henti hatiku menyebut nama Allah dan Emak, minta tolong. Emot menangis kukirimkan pada Kamila. Sudah, tak tahu lagi harus bagaimana tatkala Belvin sudah memutuskan pilihan kepada pegawai toko. Pegawai toko pun mulai mengambil kalkulatornya untuk memastikan nominal.
Nada pesan berbunyi, Kamila membalas. [“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya.Dan karunia Tuhanmu adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS. Ta Ha: 131)]
Tak butuh lama, sebelum pegawai toko menyebutkan nominal dan menulis nota, kujawil lengan Belvin segera.
“Apaan, sih, towel-towel?”
“Bentar, bentaaar aja. Baca ini, deh. Ya?” Kusodorkan ponsel pada Belvin agar dia ikut membaca chat dari Kamila.
Sedetik, dua detik, lima detik, sepuluh detik. Belvin masih memandangi layar ponsel. Dadaku berdebar tak keruan, takut menunggu reaksinya.
***
Hari ini jantungku bekerja lebih keras dari biasanya. Namun, tak mengapa. Emak bilang, tidak ada hasil yang mengkhianati usaha. Detik ini aku mendapatkan hasil yang baik atas perjuanganku. Dari tempatku duduk, aku melihat seorang gadis tengah asyik menjilati es krim sambil memandang ke halaman minimarket. Entah, dia menatap motornya atau menatap halaman yang terkena timpaan cahaya matahari–yang kini benderang di atas ubun orang-orang.
Setelah membaca chat dari Kamila tadi, Belvin menatapku tajam. Aku sudah bersiap dengan surat-surat pendek, antisipasi kalau dia merasa tersinggung dan mengamuk di tempat umum. Tak disangka, Belvin membatalkan pembelian saat si pegawai toko menyebut nominal. Lantas, tanpa pikir panjang akan rasa malu, juga tanpa terima kasih, dia menggandeng tanganku untuk segera pergi dari sana.
Sepanjang deretan toko-toko emas yang lain, Belvin tidak juga berhenti. Sampai keluar mal, dia masih menarik tanganku. Kami berjalan bersisian hingga jalanan umum sekitar mal tanpa ada kata. Sampai pada akhirnya dia melepas tanganku di depan seorang penjual gelang manik dan pernak-pernik lainnya.
Seorang lelaki muda bertopi lusuh yang tangannya dihiasi gelang tali menyambut kami. “Nyari apa, Mbak? Jam, gelang, apa cincin?” tawarnya sopan.
Belvin tersenyum menanggapi lelaki itu. Dia menjawab asal kemudian membungkuk untuk memilih-milih cincin perak imitasi. Dia tak lagi mengajukan tanya padaku–apakah aku suka atau tidak, apakah modelnya bagus atau norak, apakah harganya terlalu mahal atau sebaliknya.
Aku juga tak peduli, apa dia tersinggung atau tidak, dia marah atau sengaja mendiamkanku, dia memilih model yang bagus atau yang kampungan. Aku hanya peduli untuk menatap seulas senyum yang belum pernah kulihat darinya. Sebuah senyum yang mungkin tidak akan kudapati khusus untukku, tapi paling tidak aku pernah melihatnya. Senyum Belvin … membuatku lupa kalau aku akan menikahinya dengan terpaksa.
Sementara Belvin masih serius menghabiskan es krim–setelah perjalanan membeli cincin tadi, kupandangi bungkus plastik bening kecil berisi dua cincin perak imitasi polos yang tergeletak di meja, di depan minimarket. Embun-embun dari segelas jus alpukat dingin yang kupesan, menyatu dan meleleh sampai di tempat cincin berada. Timbul genangan air yang merendam sebagian bungkusnya. Lama kupandangi, hingga akhirnya kusadari sesuatu hal.
“Kamu tersinggung, ya, sampai-sampai memilih cincin imitasi. Maaf, aku nggak bermaksud merendahkan atau bersikap pelit. Cuma cincin di toko tadi memang berlebihan. Kalau kamu mau, kita bisa lihat-lihat lagi di toko yang lain.” Aku membuka pembicaraan.
Ujung cone es krim telah terlahap olehnya, dia mengambil tissue dari tas dan melap ujung bibir. Setelahnya, sorotannya menusuk hingga kedalaman hatiku. Entah, perasaan ini apa namanya, yang jelas aku mulai akrab dengan tatap tajam mata itu.
“Seekor anjing yang dihalau akan menjulurkan lidahnya. Begitu pun jika dibiarkan. Aku memang bukan seorang agamis, tapi aku tidak mau diperumpamakan anjing karena mendustakan ayat-Nya,” ucapnya formal. Tumben sekali dia mengucapkan kalimat bijak yang membikin gatal kupingku.
“Wah! Dapat dari mana pelajaran itu?” Aku menahan senyum.
“Dari Al Quran. Mendiang Ayah yang ajarkan. Katanya, manusia ditinggikan derajatnya oleh Tuhan dengan ayat-ayat suci. Namun, manusia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Allah menjadikan anjing sebagai perumpamaan bagi yang mendustakan ayat-ayat-Nya.” Belvin memalingkan muka, kembali menatap halaman parkir. Sesaat kemudian, dia kembali bicara, “Makanya, aku nggak punya keinginan lain setelah membaca arti ayat di ponsel kamu.”
“Kalau kamu tidak ingin mendustakan ayat-ayat Allah, kenapa kamu tidak menjalankan perintah lainnya?”
“Maksudnya?” Pertanyaanku kembali Belvin balas dengan tautan alis. Dia terpancing.
“Kenapa kamu nggak pakai jilbab seperti perintah Allah yang termaktub dalam Al Quran?”
Aku tidak tahu, apakah ucapanku terlalu mendoktrin maupun mengintimidasi. Spontan saja kalimat itu terlontar dari bibir. Ilmu agamaku memang masih cetek, dan mungkin tipis harapan untuk menjadikan dia gadis shalehah seperti keinginanku. Namun, apa salahnya mencoba?
Untuk beberapa saat Belvin bergeming. Dia mendesah pelan, lantas memandangku. Dia menoleh ke arah motor yang kepanasan, lalu menunduk lagi. Kali ini ekor matanya seolah-olah ditaklukkan oleh suatu hal. Dia tak lagi emosi apalagi berderap-derap menjejaliku dengan tudingan. Dia hanya diam menyimpan sesuatu yang seharusnya belajar dibagi kepadaku. Kenapa harus diam?
“Dulu aku berhijab, kok. Sebelum ….”
Lagi-lagi diam menjeda kalimat. Suatu kebiasaan yang tak akan bisa kuterima, sebab aku yang dibesarkan di lingkup rumah Emak diajarkan bersikap jujur dan terbuka. Apa susahnya bercerita, berkeluh kesah, ataupun membagi duka dan masalah? Sebegitu beratnyakah persoalan, sampai dia menyimpan sendiri di balik kekuatan galaknya?
“Udahlah. Ngapain, sih, ngomongin ini! Aku mau pulang.” Belvin beranjak pergi secara tiba-tiba. Raut memerah diiringi tautan alis. Lengkung senyum yang beberapa saat lalu tergambar di wajahnya kembali mengerucut.
Tanpa mengucap salam, dia berlalu. Jauh dan semakin jauh. Setelah menyeberang dan berbalik arah, motor yang ditumpanginya menghilang ditelan batas pandanganku. Cincin imitasi itu tertinggal di sini, bersama gelitik-gelitik penasaran di hatiku.
***
Aku menghentikan motor di depan sebuah warung makan di ujung timur balai RW. Sebuah warung makan sederhana yang menjual nasi uduk dan sayur matang sejak pagi hingga sore hari. Tempat makan yang kusebut sebagai hasil keringat Emak walau sepetak bangunan ini terbeli bukan dengan uangnya. Awal-awal bekerja, Emak tak mau menerima sepeser pun uang dariku. Karena itu, kusisihkan gaji sedikit demi sedikit sampai bisa membeli warung ini. Bukankah aku bisa bekerja hingga detik ini adalah berkat peluh-peluh tubuhnya selama berdagang kue di sepanjang jalan?
“Udah balik, Man? Gimana, udah dapet cincinnya?” Emak menanti di ambang pintu saat tahu aku tiba.
“Dapet, tapi …. Bentar, Mak. Rohman laper. Makan dulu, ya.” Aku nyelonong masuk ke warung setelah mencium tangan Emak.
Tanpa tunggu lama, nasi uduk telah siap di hadapan. Aku mengambil sendiri makan siang terlambatku, membawanya ke ujung meja dekat dapur–tempat Emak biasa meracik bumbu. Sementara Emak melayani pembeli yang datang setelahku.
Sesekali Emak melayangkan tatapan penuh tanya. Sengaja, kuperlama acara makan, biar Emak semakin penasaran. Lucu kalau melihatnya blingsatan, mondar-mandir di belakangku sambil berdecak. Emak memang bawel, tapi tidak tega bicara di depan orang yang sedang makan walau dia sangat ingin berkoar-koar.
Tegukan terakhir air putih di gelasku pun tidak luput dari serangan ekor mata Emak. Baru saja mengelus perut sambil mengucap hamdalah, tampak sepasang kaki gemuk sudah berdiri tegak di samping kursiku. Kulirik sekilas sambil menawarkan senyum anak bujang paling manis seantero warung.
“Lu nggak bikin fkecewa Belpin, ‘kan? Udah lu turutin maunya?” tanya Emak, kutanggapi dengan anggukan.
“Dia milih sendiri, ‘kan? Seneng nggak anaknya?” Pertanyaan selanjutnya. Aku mengangguk lagi.
“Bagus. Lu anter dia pulang?” Bertanya lagi.
“Nggak. Dia minta pulang sendiri. Kan, bawa motor sendiri-sendiri,” jawabku.
“Habis berapa duit? Masih ada kembalian atau malah kurang?” Bertanya terus!
“Sisa banyak, Emaaak.”
Aku meregangkan badan, teleng ke kanan, teleng ke kiri. Heran, kenapa penyakit ngantuk selalu datang setelah makan?
“Emang berapa harga cincinnya?” Tak habis-habis ….
“Sepuluh ribu.”
Aku menguap, kemudian menelungkupkan wajah di antara lipatan tangan. Kuletakkan kepala dan segala beban di meja. Semilir angin mengatup-ngatupkan kelopak mata.
Aku hendak tidur, tapi masih bersiaga demi mendengar efek keterkejutan Emak. Jawaban terakhirku memungkinkan akan tiga hal: dia berteriak hingga nada suaranya naik dua oktaf; matanya berkunang-kunang hingga ada adegan pingsan; atau mungkin Emak mengerahkan kekuatan ala dragon ball untuk mengkamehame-ku.
Namun, tidak ada suara berisik lewat di indra pendengaran. Tidak ada bunyi debam pertanda dia pingsan di ubin. Tidak ada jurus kamehame yang mendarat di badanku. Dalam hati aku tertawa sambil berkata, ‘Wah, Emak loading-nya lama.’
Aku benar-benar terbawa kantuk. Rasanya sudah pw alias posisi wenak untuk memejam barang sejenak. Sepintas, bayangan Belvin mengawang-awang dalam angan. Suaranya menari-nari dalam memori. Ada yang bergetar di dada saat mengingat senyumnya. Tentang rahasia yang tersembunyi di balik tajam matanya, juga cara bicaranya tadi siang yang berbeda dengan kemarin lalu. Tentang sebuah harapan yang tak sengaja terpanjat saat degup jantung telah mengukir huruf awalan namanya. Mimpiku berjalan semakin jauh, seperti Belvin yang tadi pergi menjauh. Jauhnya dia, yang tiba-tiba membuat ….
“Dasar bocah nggak pake otak! Lu pikir mau mainan kawin-kawinan, beli cincin harga segitu!”
Crash! Mimpiku ditebang habis oleh Emak. Aku terkesiap, kedinginan. Di antara rasa kantuk yang kadung mendera, aku membuka mata dan melihat Emak dengan gayung di tangannya. Rupanya air dari gayung itu yang baru saja mengguyur kepalaku. Allahu, emakku ini!
Bersambung ….
Episode Sebelumnya (Bab 2 – Singa Betina)
Episode Selanjutnya (Bab 4 – Cemburu kepada Pantai)
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.
FB: Semutnya Al El, email: dyahdiputri@gmail.com.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata