Because of Emak (Bab 1)

Because of Emak (Bab 1)

Because of Emak
Oleh : Dyah Diputri

Bab 1 – Emak

Mendadak Emak sakit. Dia menyuruh Mawar, adikku, ke warung membeli tiga lembar koyok. Padahal, pagi tadi kicauan Emak masih di atas rata-rata kicauan juara burung kenari di festival. Kok pulang dari pasar jadi mirip radio soak kehilangan frekuensi?

“Mak, Emak kenapa? Kesambet lirikan duda?” Iseng, aku bertanya. Barangkali gendang telinga Emak tersentil, lalu kembali mencak-mencak seperti biasanya. Asli, lihat Emak diam itu bagai menahan kentut saat berhadapan sama wanita cantik. Bikin mules.

Emak terdiam. Sama sekali tak acuh pada anak jagoan terganteng selingkup rumahnya. Rasanya ingin kucubit pipi gembul Emak, biar dia keluar tanduknya.

“Mak, jangan diem, dong. Elaah, kesambet duda mana, sih, sampe lemes gini emak gue?”

“Diem lu, Rohman! Emak beneran gak enak bodi ini.”

Lirih sekali emakku berkata. Suaranya dibuat sesyahdu mungkin macam Vina Panduwinata.

Kupijit-pijitlah lengan emak yang sebesar gada Gajah Mada, siapa tahu sakitnya agak mendingan. Bagaimanapun, aku ini anak saleh, rajin mengaji, suka menabung, sayang orang tua, dan … tetaplah, terganteng selingkup rumah emak. Jangankan melihatnya sakit, tahu dia manyun gara-gara aku putus sama Irish Bella saja rasanya menyesal. Kalau bisa, sepanjang Sungai Brantas aku mau mengabdi sama Emak. Pantang menolak pintu surga yang ada di telapak kakinya.

“Rohman pijitin, ye. Emak masuk angin, nih! Nanti Mawar suruh kerokin, trus minum tolak miskin, eh … tolak angin. Abis itu, Emak istirahat. Segala pekerjaan rumah biar Mawar aja yang tanganin. Emak santai aja,” celotehku.

“Lah, lu ngapain, kalau semua yang ngerjain Mawar?”

“Biasalah. Menjaga Emak yang lagi sakit. Kan Rohman anak saleh.”
Alisku terangkat tiga kali sambil menyengir ala kuda.

Satu timpukan bantal mendarat di mukaku. Ya Allah, Emak sakit pun galaknya minta ampun. Setelahnya, dia meringkuk di balik selimut. Pandangannya menerawang ke arah bingkai foto almarhum Bapak yang tergantung di dinding. Benar-benar tidak seperti biasanya. Apa badan Emak benar-benar sakit, ya?

“Emak udah tua, Man. Nggak tau, sampe umur berapa masih hidup. Siapa tahu besok malaikat nyabut nyawa Emak.”

Astagfirullah. Seketika rasanya detak jantungku yang mau dihentikan malaikat saat Emak bicara seperti itu. Membayangkannya saja aku tidak berani, walau sesungguhnya manusia harus bersiap dengan kematian. Setidaknya hingga detik ini hanya doa yang mampu kulangitkan, semoga Emak berumur panjang dan diberkahi kesehatan oleh Allah.

“Mak gak usah ngomong yang aneh-aneh, deh. Berdoa aja yang baek-baek. Siapa tahu Allah panjangkan umur kita, biar ada waktu buat ibadah lebih baek lagi.”

“Iya, Emak juga belum pengen mati, Man. Kan Emak belum lihat lu nikah. Makanya, Man ….”

“Apaan?” Mendengar kata nikah rasanya gatal telingaku. Maklum, jomlo kualitas tinggi macam aku agak sensitif dengan kata itu.

“Lu nikah, gih! Sebelum Allah panggil Emak ….” Wajah Emak terlihat serius, tapi tetap ada sirat kesedihan di matanya. Duh, benar-benar bikin tidak enak hati.

“Masalahnya, siapa yang mau nikah sama jomlo, Mak? Elaaah, ada juga Rohman yang duduk di pelaminan sendiri, nggak tahu di mana calon pengantinnya. Ngenes banget.”

“Emak ada siapin jodoh buat lu.” Emak bangun dari tidur, lalu duduk sambil meremas selimut, mengangguk sekali, memberi penawaran.

Dikira menyiapkan jodoh sama seperti menyiapkan nasi goreng di meja makan. Ada-ada saja si Emak! Jangan-jangan, di pasar tadi dia menemukan perempuan dengan tompel sebesar lubang kancing jas di pipi, atau mungkin perempuan secantik Nikita Willy, tapi yang gagal operasi! Bisa juga janda usia sebaya Emak yang butuh perlindungan dan kehangatan bujang manis macam aku?
Hiii ….
Bulu kudukku meremang membayangkan semua itu.

“Kagak usah kebanyakan protes lu, Man. Hari gini, cari jodoh itu susah-susah gampang. Apalagi cari calon istri dengan kriteria salihah, secantik artis, rajin menabung, baik sama orang tua, syukur-syukur yang kaya, jadi lu nggak capek-capek kerja. Apa, tuh, bahasa anak zaman sekarang … halu! Iya, halu itu namanya. Apalagi lakinya model pas-pasan macam elu. Tampan pas-pasan, gaji pas-pasan, saleh juga ikut pas-pasan.”

“Ya Allah, Emak. Gitu amat sama anak sendiri.”

Emak kembali meringkuk dalam selimut. Tanda-tanda kalau mulai ngambek. Aku jadi paranoid, takut tidak bisa memenuhi permintaan Emak, sementara tidak ada yang tahu akan usia manusia. Bayangan akan masa kecilku terlintas di kepala. Masa di mana Emak bekerja keras sepeninggal Bapak untuk menghidupiku dan Mawar. Dari buruh cuci baju sampai berkeliling menjual kue, lalu sore harinya masih berkutat dengan benang dan jarum untuk memasang manik-manik kebaya, pekerjaan sampingan dari sebuah salon kecantikan. Emak tak kenal lelah demi melihat anaknya bisa lulus sekolah. Baru sembilan tahun ini aku lulus SMA dan bekerja di supermarket ternama di kota. Waktu yang tak sebanding dengan perjuangan dan peluhnya.

Pernah terlintas rasa suka terhadap lawan jenis, pernah juga ada hasrat untuk berpacaran. Namun, kukesampingkan manakala sepulang kerja kudapati Emak mengeluh tentang biaya kuliah Mawar yang harus dibayar. Sebelum ringan beban di pundak Emak, belum afdal rasanya menggandeng tangan wanita lain, yang mungkin akan merebut sebagian posisi Emak di hatiku. Ah, lagi-lagi bicara soal gandengan membuatku malu di hadapan Emak. Apa benar aku ini lelaki pas-pasan? Ha-ha.

“Jangan senyum-senyum sendiri, Man. Awas dikira gila lu ntar!”

Busyeeet, si Emak! Pandai benar membuat anaknya tampak bloon. Tidak tahu, kalau yang sedang kubatin itu dia?

“Besok, kita datang ke rumah gadis itu. Emak gak mau tahu, pokoknya lu harus manut kata orang tua. Gak usah kelamaan nunggu cewek sempurna, pilihan orang tua itu banyak benernya, Man.”

“Loh, loh! Kok main lamar aja, sih, Mak! Tanya dulu kek, Rohman setuju apa enggak. Minimal, bagi fotonya. Kalau Rohman setuju, ya bolehlah! Kalau nggak, masa Emak maksa? Ini masalah rumah tangga, bukan mainan rumah-rumahan.”

“Berisik lu, Man. Kaya cowo kegantengan aja pake milih-milih. Emak juga dulu nikah sama bapak lu karena dijodohin orang tua. Nggak banyak protes!”

Astaga, zaman Siti Badriyah disamakan dengan zaman Siti Nurbaya!

“Nggak usah mbatin, awas kualat sama orang tua! Emak juga nggak sembarangan pilihin lu jodoh. Orang tuanya temen Emak pas SMP dulu. Masalah cantik nggak cantik, salihah nggak salihah, itu usaha lu ke depannya.”

Beuh, nemu aja istilah baru,” protesku.

“Bikos cantik itu relepan, Man. Tergantung dana lu. Bikos juga, salihah itu tergantung dari elu. Lu tergolong hidayah apa musibah!”

Ppffttt! Gerah, gerah! Kalau bukan emakku, sudah kusentil itu bibir. Allahu ….

“Mak. Koyok tiga, kan?” Mawar datang dan menyodorkan tiga lembar koyok kepada Emak.
Kupinta adikku itu untuk menempelkannya sekalian di pelipis Emak yang sempat mengeluh pusing. Namun, Emak malah menolak. Ditawari minum obat juga tidak mau. Jadi bingung, Emak sakit mode apa?

“Emak ini, apa-apa nggak mau. Mintanya apa, dong?” seloroh Mawar yang mulai hilang kesabaran.

“Mak nggak mau apa-apa. Cuma mau lihat masmu nikah.” Ucapan Emak sontak membuat Mawar terkekeh.
Kuremas kepalaku sambil menggeram. Geregetan.

“Lah, mau lihat Mas Rohman nikah aja pake acara sakit. Trus, ngapain suruh Mawar beli koyok? Harusnya … suruh Mawar ke Wedding Organizer.” Mawar semakin tergelak. Sialan memang!

Si Emak ikut tertawa. Bikin gemas dan dongkol! Lalu, sambil menarik lengan Mawar supaya mendekat ke arahnya, Emak bilang, “Ini koyok buat ditempel ke bibir masmu kalau dia nolak dijodohin.”

Dahiku berkerut. Dalam hati berdoa, Ya Allah, beri aku istri yang cantik dan salihah!

Petisi Emak agar aku menerima perjodohan itu sukses membuat selera makanku lenyap. Hingga detik aku duduk di kantin pekerja saat ini, belum ada sesendok makanan pun masuk ke perut. Masa bodoh, cacing-cacing di dalam sana seolah-olah berteriak Penguasa, penguasa … berilah hambamu makan! Pikiranku kadung terkunci pada dua sketsa wajah yang membayang: sketsa wajah Emak dengan koyok cap lombok yang siap ditempel ke bibirku, dan sketsa wajah calon jodoh pilihan Emak yang blur alias hitam putih.
Masih mending kalau nantinya perempuan itu sesuai kriteria. Paling tidak cantiknya sebelas dua belas dengan Nia Ramadhani, salihah macam Allysha Soebandono, dan pembawaannya kalem seperti Citra Kirana. Lumayanlah, bisa mengimbangi ketampanan maksimalku yang kadarnya selisih satu persen sama Dude Harlino. Namun, bagaimana kalau sebaliknya? Apa iya tetap harus menerima?

“Kamu mikir apa, sih, Man? Dari tadi kuperhatiin, cuma ngaduk-ngaduk kopi, gak jelas gitu. Gak makan?” Kamila menegurku. Didentingkan sendok makan beberapa kali di piringnya, membuatku tersadar kalau aku sedang istirahat sif sore di kantin dengan gadis itu, sementara aku abai karena memikirkan Emak.

“Gak enak makan, Mil. Ada yang ngeganjel di hati.” Kupaksakan sedikit senyum supaya Kamila tidak tersinggung. Bisa berabe kalau dia marah, bisa-bisa aku kehilangan partner kas bon saat tanggal tua.

“Kenapa emang? Tumben, kamu gak cerita kalo lagi ada masalah.”

“Elaah, baru juga masalahnya datang tadi siang. Mana gak pake PMS dulu lagi!” cerocosku.

Kamila mendelik. “Apaan pake PMS, emang kamu lagi palang merah?” Tawa Kamila terdengar renyah di balik ujung jilbab yang ditempelkannya di bibir. Wajahnya juga memerah, antara geli dan malu mungkin. Entahlah, yang jelas dia terlihat manis.

“Bukan PMS yang itulah! Ini PMS yang artinya Pre-Menohok-Syndrome. Semacam lampu kuning sebelum masalah datang.” Aku ikut tertawa.

Merasa sudah kenal lama dengan Kamila, akhirnya kuceritakan tentang Emak dan keinginannya itu padanya. Namun, bukan reaksi kaget dan melongo yang kudapat. Anak Haji Shobur–juragan bubur sumsum di kompleks–itu malah tersenyum selembut gula kapas, semanis es krim. Terkadang hatiku tergelitik ingin memuji, tapi takut dikira gombal.

Alih-alih mendukung penolakanku terhadap ide mainstream Emak, eh … malah dia ceramah layaknya Mamah Dedeh.

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah lagi Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Itu ayat ke-32 surat An-Nur. Wajarlah, Emak nyuruh kamu menikah kalo emang udah layak menikah. Ya … siapa tahu kamu berhenti kas bon akhir bulan setelah kawin. Allah luaskan rezeki kamu, Man!” Lagi-lagi Kamila tergelak.

Mendengar khotbah Kamila, rasanya aku kembali ke masa kecil dulu. Saat itu Abah Kamila mengajar mengaji anak-anak sekitar kompleks, lalu aku ikut serta. Setiap kali akan berangkat mengaji, Emak selalu berpesan agar aku mbleyer alias harus menyimak dengan benar ilmu agama yang diajarkan. Namun, dasarnya aku anak Emak yang saleh tapi rada oleng, maka belok juga jalanku. Teman-temanku termasuk Kamila serius mendengarkan kisah-kisah nabi yang dibacakan Abah Shobur, sementara aku diam-diam menghitung jumlah gundu di saku baju koko. Pada lain kesempatan, mereka mempraktikkan pelajaran tajwid tentang ikhfa’ dan idgham bighunnah, sedangkan aku tertawa cekikikan di barisan belakang sambil menggelitiki kaki teman di depanku. Keren nian!

Inilah hasilnya! Ketika Kamila hafal dan mampu menjabarkan ayat tentang pernikahan, aku hanya bisa melongo mirip kuda nil lagi mangap. Lalu, jadi kembali berpikir, apa aku sudah pantas menjadi imam bagi makmumku nanti? Semampu apa aku bisa membimbing seorang istri dan anak menuju surga Allah? Sungguh, ini semacam beban baru yang tiba-tiba menindih pundak. Waduh, bagaimana pula jika pada akhirnya aku tergolong musibah bagi pasangan hidupku? Ya Allah! Berat banget jadi laki! Kenapa juga hal ini baru terpikirkan sekarang? Telat, Rohman … telat!

“Bismillah aja, Man. Anggap aja kamu lagi nabung pahala sekaligus. Satu: patuh pada Emak, satu-satunya ortu yang tersisa, dan dua: ibadah karena menyegerakan menikah. Masalah wanita itu dan gimana rumah tanggamu nanti, ya jalanin aja dengan sebaik-baiknya. Kamu mau nikah, bukannya perang. Gak sampai taruhan nyawa.”

“Iya kalo calon bininya itu kamu, Mil. Perfect, dilihat dari sudut mana pun.”

Ups, kelepasan! Rasa-rasanya ucapanku memang tidak berlebihan. Kamila memang gadis ayu, pandai, dan sopan. Dia enak diajak bicara dan lemah lembut perilakunya. Didikan keluarganya berhasil membentuk karakter salihahnya.
Wajah Kamila jadi berbinar oleh kalimatku. Meski menundukkan pandangan, masih bisa kulihat rona merah jambu itu menyebar di area pipinya.

“Kamu sendiri kapan mau nikah?” Iseng, kuajukan tanya pada Kamila. Maksudku, agar dia tidak terlalu terbawa dengan pujianku tadi.

Kamila mengangkat wajah, lalu membenahi posisi jilbab. Seulas senyum terbit di bibirnya, lalu dia tergesa-gesa bangkit. “Jam istirahat hampir habis, Man. Aku ke kasir dulu, ya.” Lambaian tangan menjadi akhir perbincangan kami.

Aku mendesah pelan, merasa ada yang tidak beres dengan temanku itu. Seolah-olah dia tengah menyembunyikan sesuatu. Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, waktu menunjukkan pukul 18.45, masih tersisa lima belas menit waktu istirahat.

***

Benar kata orang, angin malam itu menusuk-nusuk pori-pori kulit. Terlebih bagi orang yang sedang was-was masuk rumah sepertiku. Padahal, inginku masuk ke kamar dan bersembunyi di balik selimut sesegera mungkin. Berhubung takut kalau-kalau Emak masih belum tidur dan mencegat kepulanganku, jadi lebih baik duduk menyendiri dulu di teras tanpa suara. Dingin, dinginlah! Yang penting tidak mendengar ocehan Emak, untuk malam ini saja.

Dipikir-pikir, angin malam ini seperti Emak. Berembus ke sana-kemari, lalu berputar-putar di kepala dan menyebarkan hawa dingin di sekujur tubuhku. Permintaannya menebeng di pundak, bergelayut-gelayut, dan meminta perhatian. Bukannya membuatku segera mengulurkan tangan, malah memaksa aku ingin melepasnya.

“Masuk, udah malam! Besok bangun pagi, lu siap-siap. Emak udah bikin janji sama keluarga calon istri lu, Man.”

Busyet! Emak main nyembul saja dari balik pintu! Bikin jantungku mau copot!

“Mak, dateng pake salam dulu napa? Kaget ini … kaget!” Kuelus dada berkali-kali. Untung saja Emak tidak berpenampilan seperti Suzanna dalam film Kuntilanak, sebab kalau iya, ya … lucu jadinya. Mana ada kuntilanak berbadan bongsor seperti emakku? Ha-ha.

“Nggak kebalik, siapa yang kudu ngasih salam?” Emak berkacak pinggang.

Akhirnya aku mengaku salah, karena Emak memang selalu seratus langkah di depan untuk masalah kebenaran. Apalagi soal sejarah dan pelajaran tata hukum, jagonya dia!

“Lu ngapain di sini? Abis lupa jalan pulang? Lupa ucapan salam? Atau lupa kalau punya keluarga di dalam? Jangan bilang kalo elu lupa besok mau Emak bawa ketemu calon mertua. Noh, di dapur ada ulekan. Sini Emak getok biar nggak pikun!”

Sadis! Apa tidak ada omelan yang lebih berkelas daripada ini? Setidaknya pakai elusan di kepala dulu, tepuk-tepuk bahu dulu, atau membuatkan kopi dulu!

“Rohman … takut, Mak,” ucapku pada akhirnya.

“Takut apa? Biasanya juga elu yang horor.”

“Rohman takut enggak bisa jadi hidayah. Takut jadi musibah.” Lirih aku bersuara, sembari menyurukkan kepala di pelukan Emak. Sedikit asem baunya, tapi tak apalah! Lumayan jitu untuk meredam kicauannya.

 

Bersambung ….

Episode Selanjutnya (Bab 2 – Singa Betina)


Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.
FB: Semutnya Al El, email: dyahdiputri@gmail.com.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply