Bayaran Mahal untuk Sebuah Kebahagiaan
Oleh : Fei Ling
Kebahagiaan tak bisa diukur dari materi kebendaan, tetapi perhatian serta kasih sayang mampu membuat jiwa yang lara kembali tersenyum bahagia
Aku, Bayu Iriawan. Usiaku empat puluh tahun. Seorang suami dengan istri dan satu anak. Pekerjaanku? Jangan ditanya mapan atau tidak. Menjadi pemilik sebuah perusahaan yang bergerak di jasa kontraktor, menurutku itu adalah pekerjaan yang sangat stabil. Akan tetapi, kehidupan rumah tanggaku tidak berbanding lurus dengan aktivitasku di kantor.
Pernikahanku dengan Dina—istriku—awalnya berjalan lancar dan tak ada halangan. Tetapi entah mengapa, lambat laun dia berubah menjadi pribadi yang posesif dan mengekang kebebasan. Bahkan, wanita itu pun sudah mulai ikut campur dalam kebijakan perusahaan.
Keadaan yang semula tenang, damai, dan bahagia di dalam rumahku, kini berubah bak neraka. Semua itu berasal dari rasa cemburu berlebihan dari Dina kepada semua orang yang dekat denganku. Sebagai seorang pemilik perusahaan ternama di kota ini, tentu saja kolegaku tak terbatas pada kaum pria, tetapi juga banyak arsitek dan kontraktor wanita yang senyatanya saat ini menguasai pasar.
Meskipun perusahaanku ini telah mempunyai tim marketing yang handal, aku juga tidak ingin berpangku tangan hanya menunggu orderan. Namun terbalik dengan sikap Dina. Dia tidak ingin aku berinteraksi dengan banyak orang. Suatu hari pernah aku tanyakan alasannya mengapa dia bersikap seperti itu.
Jawaban yang aku terima darinya tidak masuk akal. Menurut dia, sering bertemu banyak orang, akan menimbulkan celah untuk berselingkuh. What the hell? Bagaimana pekerjaan lapangan bisa lancar jika tidak bersosialisasi? Aku hanya bisa menggeleng saat mendengar Dina mengemukakan pendapatnya.
Pada akhirnya, sikap Dina membuatku jengah. Sering kali aku mengalami kebosanan ketika jam kantor telah usai dan harus pulang ke rumah. Tak ada lagi kehangatan, bahkan tak ada pula kemesraan yang dia tunjukkan di atas ranjang. Malam-malamku berubah menjadi malam kelam yang penuh dengan kesunyian.
Mungkin terdengar kurang tepat jika aku mencari kehangatan juga kasih sayang dari seorang perempuan yang mau dan mampu mengerti diriku. Namun, aku sebagai seorang lelaki normal, tidaklah salah apabila menuntut sebuah perhatian dari istriku sendiri.
***
Aku mengenalnya setahun lalu, jika diingat-ingat, pertemuanku dengannya bagaikan kisah sinetron yang biasa tayang di televisi. Pagi itu, aku terburu-buru menuju ke kantor. Akibat semalam menjamu kolega dari luar negeri, aku baru bisa pulang pukul lima pagi. Padahal, agenda kerja pada hari ini tepat pukul delapan, tim manajemen mengadakan rapat internal bulanan yang membutuhkan kehadiranku. Tanpa sarapan, aku segera bergegas memacu mobil, membelah jalanan dengan kecepatan di atas rata-rata. Harapanku, supaya bisa tiba di kantor tepat waktu.
Aku kehilangan fokus dan tidak melihat ada kendaraan lain mendadak muncul dari ujung jalan. Tabrakan pun tidak bisa dihindari antara aku dan dia. Tubuhnya terpelanting hingga beberapa meter ke depan saat bemper mobilku menabrak sepeda motor yang dikendarainya.
Aku bergegas turun dari mobil dan menolongnya. Ternyata, aku menabrak seorang wanita. Dia tak sadarkan diri, tubuhnya tergeletak di pembatas jalan. Tanpa pikir panjang aku segera membawanya menuju rumah sakit terdekat. Dari kartu identitas yang aku temukan di tasnya, aku mengetahui namanya, Elsa.
Aku harus menunda agenda rapat bulanan di perusahaan karena kejadian ini. Toh, keselamatan dan nyawa seseorang yang menjadi korban kecelakaan lebih penting bagiku. Berawal dari urusan rumah sakit itulah, aku mulai dekat dengannya.
Aku mengenal dan mengerti bagaimana sosok Elsa yang sebenarnya. Seorang wanita cerdas dan mandiri. Dia mampu membuatku terkesima dengan tawanya yang renyah. Cerita tentang kehidupannya yang keras pun membuatku takjub. Tidak hanya itu, Elsa mempunyai kekuatan untuk menghangatkan suasana. Lambat laun, keberadaannya mampu mencairkan kebekuan dalam hatiku. Menghabiskan waktu dengan Elsa, seolah-olah mengembalikan semangatku menjalani hidup yang mulai terasa membosankan.
Benih-benih cinta mulai tumbuh antara aku dan Elsa. Rasa itu menguat seriring dengan rutinitasku mengungjungi rumahnya. Ya, hobi baruku, bertemu dengan Elsa sesering mungkin. Entah hanya untuk sekadar berbincang, membawakan makanan kesukaannya setelah aku selesai dari kantor, atau meneleponnya walau sebentar. Gairahku membara ketika membaca ribuan teks dari Elsa melalui Whatsapp di ponselku. Boleh dibilang, deretan kata itu menjadi penyemangatku saat menjalani hari yang berat bersama Dina, yang kian hari kian menjadi sosok posesif dan seolah tak peduli pada apa pun kecuali rasa cemburunya.
Aku sering pulang larut malam dengan alasan lembur. Bahkan sering juga tidak pulang. Dina sudah pasti curiga, tetapi aku tidak peduli. Elsa sanggup mencairkan kebekuan juga kerinduan atas kehangatan kasih sayang yang selama ini tak lagi aku dapatkan dari Dina, istriku.
Di satu hotel mewah di pinggiran kota, tetes-tetes peluh yang mengalir seiring desah napas dan rintihan yang keluar dari bibir indah Elsa, menjadi saksi bahwa cintaku telah tertambat di hatinya. Tak lagi ada penyesalan dalam diriku atas pengkhianatan yang aku lakukan kepada istriku. Kelembutan dan kehangatan Elsa di atas ranjang, perhatian yang dia berikan saat aku berkunjung ke rumahnya, mampu membuatku melupakan Dina. Sayangnya, Dina tak belajar untuk memahami mengapa semuanya menjadi seperti ini.
“Mas, enggak usah khawatir, ada aku di sini. Bukan hanya kamu saja di dunia ini yang mengalami hari yang berat, tetapi aku juga. Semua manusia di dunia ini juga pernah, atau sedang mengalami hari yang berat. Ada aku di sini, memelukmu.”
Kalimat menenangkan dari Elsa saat aku berkeluh kesah mengenai pekerjaan. Satu hal, Elsa belum tahu keadaanku yang sudah berkeluarga. Aku tidak sanggup jika harus kehilangan dia.
“Tumben kamu romantis, Sa,” ucapku seraya mengelus rambutnya.
“Ha-ha-ha, itu lirik lagu dari Seventeen, boyband asal Korea, Mas. Judulnya Hug.”
“Oh, ya? Setahuku, Seventeen itu band-nya Ivan. Ternyata, ada lagi selain grup dari Indonesia?” Aku melihat dia mengangguk seraya tertawa.
“Mau dengar lirik aslinya?”
Naegeneun neon haneopsi neomudo sojunghan geol Oneul harudo himdeureosseul neoege malhaejullae Naega issdago sugohaessdago saranghandago Kkwak anajundago
Aku menyimak saat Elsa menyanyikan salah satu lagu dari band favoritnya. Melihat dia begitu semangat menghiburku, hatiku menjadi nyaman dan bahagia.
***
Saat aku pulang ke rumah, Dina menyambutku dengan berondongan pertanyaan bernada tuduhan. Caci maki dan sumpah serapah keluar dari mulut wanita yang telah memberiku seorang anak lelaki yang beranjak dewasa. Aku terpana, tak menyangka ketika Dina melemparkan sebuah gelas ke dinding hingga repihannya tercerai berai di lantai.
Rayan terdiam, menatapku dan mamanya dari ujung ruangan. Aku hanya memandang anak lelakiku dengan perasaan malu dan sedih. Sebenarnya, aku tidak ingin peristiwa ini terjadi. Akan tetapi, Dina kian hari kian berubah. Aku tidak menemukan sosoknya yang dulu begitu penuh kelembutan dan kasih sayang.
Bukannya aku tak ingin memperbaiki semuanya. Sudah berkali-kali aku mencoba menjelaskan kepada Dina, mengapa semua menjadi seperti ini dan apa sebenarnya aku inginkan. Bahkan, aku juga pernah mencoba membicarakan masalah kami berdua saat makan malam di sebuah restoran. Aku menjalani semua itu hanya demi menjaga supaya Dina sedikit malu dan mau menahan ledakan emosinya. Namun, apa yang terjadi? Lagi-lagi aku mendapatkan cacian darinya yang otomatis, membuatku meradang. Dina seolah-olah tak peduli untuk mengekspresikan kemarahannya.
Segala kejadian masa lalu yang pernah terjadi, semua kebaikan juga pertolongan yang pernah Dina berikan kepadaku, diungkit-ungkit oleh wanita yang telah menjadi istriku selama tujuh belas tahun ini. Aku tak menyangka, bahwa selama ini semua yang dia lakukan kepadaku, dihitung dalam bentuk materi. Seketika tawaku meledak, ketika wanita yang menerima cinta dan kesetiaanku itu, mulai membahas berapa nominal uang yang pernah dia keluarkan untuk diriku dulu.
Aku memang bukan sosok seorang lelaki kaya, bahkan boleh dibilang tidak punya apa-apa ketika bertemu Dina. Saat itu Dina-lah yang memberikan modal kepadaku untuk berwiraswasta, hingga akhirnya aku bisa mendirikan perusahaan jasa kontraktor yang kujalankan sekarang. Namun, aku sendiri tak pernah berhitung atas apa yang telah aku keluarkan baik untuk Dina maupun keluarganya.
Gaya hidup Dina yang serba mewah, hobinya yang keluar masuk butik dan restoran mahal, menghambur-hamburkan uang yang aku berikan padanya. Aku sama sekali tak pernah mau mempermasalahkannya. Sudah pasti dia akan merasa malu jika aku juga menghitung besaran nominal yang keluar dari dompetku untuk keluarganya kala itu.
Aku menghabiskan malam kelam. Bagaikan api dalam sekam, setiap saat Dina akan memulai pertengkaran. Adu mulut antara aku dan dia, terjadi begitu saja. Pada akhirnya, emosi masing-masing meledak dan diakhiri dengan hancurnya perabotan rumah tangga. Aku benar-benar merasa muak dengan semua kejadian di rumah. Jika sudah seperti itu, maka aku akan memilih meninggalkan rumah untuk menenangkan pikiran.
***
Hubunganku bersama Elsa makin lama kian mesra. Jika aku malas bertemu Dina, rumah Elsa-lah yang menjadi tempat peristirahatanku. Percintaan liar di ujung malam dan derai canda tawa saat pagi sebelum aku berangkat bekerja, menjadi bumbu yang membuat hubunganku dengan Elsa makin dekat.
Lalu, bagaimana hubunganku dengan Dina?
Pagi ini, aku telah mendaftarkan semua berkas untuk mengurus perceraianku dengannya. Aku tak menyesal untuk mengakhiri semua hubungan dan janji pernikahan suci yang pernah aku ikrarkan dulu. Aku egois? Aku jahat? Tidak! Aku hanya ingin berbahagia, itu saja![*]
Surabaya, 18 Agustus 2021
Fei Ling, Pekerja proyek dan ibu rumah tangga yang berusaha menyalurkan hobi menulis melalui media.
Editor : Uzwah Anna
Gambar : https://pin.it/29qnzm3