Bayangan Hitam

Bayangan Hitam

Bayangan HItam
Oleh : Imas Hanifah N.

Ada yang bilang, kalau seseorang sedang diikuti hantu atau baru saja melihat hantu, jangan segera diceritakan saat itu juga.

Menurut sebagian orang, itu merupakan kesalahan besar. Lebih baik jangan menceritakan apa yang dialami secara langsung atau di waktu yang sama. Jika diceritakan langsung, maka ….

***

Hendra pulang kemalaman. Setelah ia selesai menghadiri pesta pernikahan salah seorang sahabat. Sebenarnya, ia sangat lelah setelah seminggu lebih, mengerjakan tugas kantor yang menumpuk. Ini dikarenakan, Rudi, sang teman kantor sudah seminggu sakit. Jadi, semua tugas kantor diberikan padanya. Ya, mau tidak mau.

Di depan warung makan, ia berhenti sebentar. Target untuk pulang jam delapan malam kini sirna sudah. Ia lapar lagi.

“Bu, nasi goreng satu,” ucap Hendra dengan suara yang lemah.

“Iya, Kang. Dibungkus?”

Hendra menggeleng. “Di sini aja, Bu.”

“Oh, sebentar, ya.”

Hendra melihat sekeliling. Ini baru pukul setengah delapan. Akan tetapi, suasana warung makan sangat sepi.

“Bu, pengunjung pada ke mana, ya?” tanya Hendra. Mencoba memecah hening yang sedikit janggal. Ibu yang ditanya, tidak menjawab. Mungkin, suara Hendra terlalu pelan. Ibu tersebut sedang serius memasak nasi goreng pesanan Hendra.

Hendra yang merasa tidak nyaman, segera membuka ponselnya. Ia mengecek beberapa notifikasi. Melihat deretan status teman-teman dan tenggelam di dalam berbagai komentar.

Setelah beberapa lama, nasi goreng belum juga datang. Hendra hampir mengucapkan protes ketika ia melihat ke arah gerobak yang ….

Tertutup oleh kain hitam? Tunggu, bukankah ia sedang di rumah makan?

“Kang, jangan melamun. Nanti kesambet. Di sini banyak kejadian lho,” ucap seorang laki-laki yang sudah tak lagi muda. Ia duduk di bangku yang sama dengan Hendra. Sungguh, Hendra merasa linglung.

“Kang?”

“Eh, iya,” jawab Hendra sedikit ragu-ragu.

“Kenapa?”

“Tadi, saya kira, saya masuk ke rumah makan, Kang. Kok, saya malah di sini, ya?” tanya Hendra sambil melihat kiri-kanan. Di depannya, hanya ada gerobak yang ditutup dan di belakangnya, sebuah rumah yang seperti dikunci. Bahkan, tanpa penerangan sama sekali. Sementara beberapa meter dari situ, banyak para pedagang.

“Haduh, ini bukan kejadian pertama kali, Kang. Sudah berulang-ulang. Banyak orang yang terjebak. Beberapa bahkan jadi linglung, kemudian semakin parah, jadi sinting,” ujar lelaki itu lagi sambil menggoreskan jari telunjuk ke keningnya sendiri.

“Jadi, di sini angker, Kang?”

Lelaki itu mengangguk. Hendra hendak beranjak setelah mencerna semua penjelasan tersebut. Namun, lelaki itu menahannya.

“Gak apa-apa, Kang. Santai saja. Gak bakalan ada yang ganggu lagi, kok. Asalkan, Akang enggak cerita dulu kejadian tadi secara detail, apalagi tentang sosok gaibnya. Jangan, ya. Nah, sekarang, Akang lebih baik beli nasi goreng saya,” ucap lelaki tersebut sambil menunjuk salah satu gerobak di seberang jalan. Hendra mengangguk. Ia memang sudah sangat lapar.

Lelaki itu pergi ke seberang jalan, menuju gerobaknya. Sedangkan Hendra menyalakan motor dan bergegas mengikuti. Ketika melihat layar ponselnya, sekilas, jam digital menunjukkan angka 21.30.

Sekali lagi, Hendra benar-benar merasa akan pulang larut. Ibunya pasti cemas.

“Ayo, Kang. Duduk. Saya bikin nasi gorengnya dulu.”

“Iya, Kang. Jangan lama-lama ya. Saya mau langsung pulang. Udah agak malem ini.”

“Ahsiaaaappp.”

Hendra sedikit merasa lucu mendengar tukang nasi goreng itu. Bayangannya tentang kejadian horor tadi, perlahan mulai terkikis.

“Kang, kalau misalkan pulang malem-malem, kudu banyak baca zikir, dalem hati aja, cukup. Supaya tenang.”

Hendra mengangguk. Apa yang dikatakan oleh tukang nasi goreng sama persis dengan apa yang sering disampaikan oleh ibunya. Ah, ini membuatnya ingin cepat sampai rumah.

“Nih, Kang. Nasi gorengnya.”

“Makasih, Kang.”

“Sama-sama. Sok ah, segera disantap.”

Hendra mengangguk. Tukang nasi goreng kemudian menyuguhkan secangkir teh hangat. Aromanya sangat wangi.

***

Hendra menghabiskan nasi gorengnya tanpa sisa. Ia pun lekas membayar dan bersiap untuk pulang. Motornya ia jalankan dengan cepat.

Sampai di sebuah persimpangan, ia merasa ada yang tertinggal. Tentu saja. Ponselnya! Ah, Hendra ingat. Ketika menyantap nasi goreng tadi, ia sempat mengambilnya dan mengecek notifikasi lagi. Ya, ia bahkan ingat tentang menyimpannya di bangku. Bukan di meja. Pantas saja tertinggal.

Hendra putar balik. Ia kembali dengan kecepatan yang lumayan. Meski begitu, ia berusaha tidak terburu-buru. Dalam hati, ia mengutuk keteledorannya sendiri.

Tunggu. Hendra merasa telah sampai di tempat yang benar. Namun, ke mana tukang nasi goreng? Dan gerobaknya juga?

Sekali lagi, Hendra berjalan beberapa meter demi menemukan si tukang nasi goreng. Namun, masih tak ada. Ini membuatnya semakin kebingungan.

Saat itulah matanya menangkap benda tersebut. Ponselnya tergeletak begitu saja. Apa yang sebenarnya terjadi? Ini membuatnya merasa gila.

“Kang?” Suara itu mengagetkan Hendra. Ia melonjak.

“Lho, masih di sini?” Ternyata itu si tukang nasi goreng.

“I-iya. Saya ketinggalan ponsel. Jadi balik lagi.”

“Oalah, yang bener? Pas tadi saya beresin bangku sama gerobak, kok gak liat, ya?”

Hendra bernapas lega. Kali ini, lelaki di depannya tentu saja tidak sama dengan ibu-ibu jadi-jadian di warung makan.

“Gak apa-apa, Kang. Mungkin karena gelap. Jadi gak keliatan pas ponselnya jatuh.”

“Ya sudah, lebih baik Akang segera pulang. Ini mau jam dua belas.”

Jam dua belas? Hendra merasa waktu begitu cepat berlalu. Ia segera memacu motornya dengan cepat. Jalanan tidak terlalu ramai. Jadi, tak masalah.

***

Setengah jam berlalu. Hendra yang berada di atas kendaraan merasa mengantuk. Pundaknya terasa sakit dan berat. Mungkin, karena terkena angin malam yang lumayan hebat.

Di tengah rasa kantuk yang mendera, Hendra sesekali melihat kaca spion. Namun, ada yang aneh. Ia melihat bayangan hitam di sana. Kaca spionnya tertutupi bayangan hitam. Sejenak kemudian, kembali seperti semula. Kantuk yang dirasakan oleh Hendra mendadak sirna. Ia menatap jalanan yang sepi. Dalam hati, ia terus menggerutu tentang betapa lamanya ia di perjalanan.

Hendra kembali menambah kecepatan. Kemudian, kembali melihat kaca spion. Bayangan hitam itu muncul lagi. Kali ini, bahkan Hendra dapat merasakan sebuah tangan mendarat di pundaknya. Meremasnya pelan. Dingin dan tajam. Mungkin, itu kuku-kukunya. Hendra menggigil.

Sebentar lagi, sebentar lagi sampai, batin Hendra terus menenangkan. Ia tak punya waktu untuk berhenti di suatu tempat. Ia hanya ingin segera sampai ke rumah.

Hawa dingin yang menusuk, serta bayangan hitam yang menempel di punggung Hendra, membuat ia benar-benar merasa kewalahan. Tubuhnya lemas, kepalanya pusing, pundaknya berat sekali.

Gerbang menuju kompleks perumahan sudah terlihat. Hendra mengumpulkan sisa tenaga yang ada. Tepat di depan rumah bercat hijau, ia membanting sepeda motornya dan langsung menggedor pintu.

“Bu! Ibu, buka!”

Tak menunggu lama, ibunya segera membuka pintu. Sesaat kemudian, Hendra dengan cepat menutupnya lagi.

“Gawat, Bu! Ada yang ngikutin!”

“Ngikutin bagaimana?”

Hendra segera duduk di sofa. Ibunya membawa segelas air putih.

“Apaan kamu, Hen? Ada apa?”

“Ada yang ngikut, Bu.”

“Ngikut?”

“Iya, pas Hendra naek motor tadi, sepanjang jalan, bayangan hitam nemplok. Pundak Hendra juga ada yang pegang-pegang. Kayak tangan, tapi dinginnya kayak es.”

“Kamu gak zikir, ya?” tanya ibunya menelisik.

Hendra terdiam. Ia lupa tentang itu. Di saat kacau tadi, ia tidak ingat tentang pertolongan Allah. Astagfirullah ….

“Bu, gimana, dong? Motornya buang saja, ya?”

“Jangan, Hen. Mending kamu sholat sekarang, baca Qur’an, tenangkan diri kamu.”

“Iya, Bu. Bener-bener serem, Bu. Bayangan hitam itu. Ngeri sekali.”

Sejurus kemudian, Hendra terpaku. Ada sesuatu yang aneh. Duduk di sampingnya. Dengan ragu, Hendra menengok. Kini, terlihat jelas sosok yang sedari tadi diceritakan. Bayangan hitam itu, terlihat dari dekat, menampakkan seringai. Dua matanya yang merah menyala dan wajahnya benar-benar hitam. Kini, di depan Hendra, sosok itu bukanlah sebuah bayangan. Hendra menggigil, mulutnya tak kuasa mengatakan apa pun. Sementara kuku-kuku tajam terasa menusuk perutnya. Dingin dan perih.

2019

Imas Hanifah N. Penyuka kucing, kelinci dan jus alpukat.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply