Bayangan Hitam
Oleh: Diah Estu Asih
Aku menendang bayangan hitam itu sekuat mungkin. Dia menggelinding seperti bola kegelapan yang memancarkan energi jahat ke sekeliling. Setelah gerakannya berhenti di bawah pohon besar yang telah kering, perlahan dia membentuk gumpalan yang meninggi. Bergerak seperti air mendidih yang semakin meninggi dan terus meninggi. Tingginya melebihi pohon di belakangnya.
“Kamu tidak bisa melepasku begitu saja.”
“Aku bisa meninggalkanmu begitu saja.”
“Tidak bisa, Laksamana. Tidak bisa, ha-ha-ha.”
Aku membuang ludah ke kiri, lalu menarik kerangkeng besi dari dalam saku celana. Bayangan hitam itu harus disingkirkan atau aku akan mati karena keberadaannya. Aku meludah lagi, lalu berjalan ke arah bayangan itu. Dia masih tertawa keras. Aku mengikatkan tubuhnya ke kayu. Bayangan hitam masih terus tertawa.
“Aku mengikutimu, Laksamana. Aku mengikutimu.”
Aku meludah lagi. Bayangan itu lepas dari kerangkeng besiku, terbang menggumpal seperti awan. Dia mengecil, membentuk seperti manusia lengkap dengan kaki, mata, dan tangan. Secepat kilat dia meluncur turun dan mendekapku dari belakang. Aku mengikutimu, Laksamana.
Aku terengah-engah karena bebannya lebih berat dari bobot tubuhku, tetapi aku mampu membawanya di punggungku. Bahkan esok, beratnya akan semakin bertambah. Aku ingat betul, pertama kali dia muncul di hidupku adalah dua hari setelah istriku meninggal dunia. Saat itu dia hanyalah setitik hitam kecil yang tak berarti. Suaranya tak lebih keras dari bayi kucing. Aku mengabaikannya seperti titik-titik hitam yang sebelumnya datang. Aku yakin, dia akan pergi dengan cepat, seperti titik-titik hitam yang datang sebelumnya.
Aku membiarkannya merangkak di punggungku selama beberapa hari. Perlahan dia membesar seiring dengan berat yang meningkat dan suara yang semakin keras pula. Di malam ke tujuh, aku mulai merasa bahwa dia tidak akan meninggalkanku dengan mudah. Bisikan-bisikannya mulai menggangguku setiap malam. Punggungku terasa sakit. Aku merasa tak akan mampu menahannya lebih lama, sehingga aku teringat istriku yang telah meninggal sembilan hari sebelumnya.
Istriku, si manis yang penurut. Aku mengingat kata-katanya sebelum aku memutuskan menikahinya.
“Aku akan memusnahkan bayangan hitam yang datang di hidupmu secepat mungkin,” katanya waktu itu, setelah aku bertanya keuntungan apa yang aku peroleh jika menikahinya.
Dia seorang gadis yang dijuluki perawan tua oleh warga kampung. Saat itu usianya telah lebih tiga puluh tahun. Tak ada yang mau menikahinya karena katanya dia tidak bisa memiliki anak. Aku tidak peduli mengapa dia tidak bisa memiliki anak. Aku tidak mau direpotkan dengan anak. Dan selama kami menikah, kami memang tidak pernah memiliki anak. Aku menikahinya karena dia gadis yang tidak bisa memiliki anak.
Tidak ada cinta, setahuku, selama lima belas tahun berumah tangga dengannya.
Setiap kali titik hitam muncul di dekatku, istriku selalu mengusirnya. Mengusir titik hitam itu susah-susah gampang. Kadang kala, dia baru mau pergi setelah diberi makan. Kadang kala dia baru akan pergi setelah istriku memberinya uang yang nominalnya banyak sekali. Semakin besar ukurannya semakin sulit mengusirnya.
Istriku memiliki selendang yang sangat cantik dan wangi. Ketika dia kesulitan mengusir bayangan hitam yang agak besar di hidupku, dia akan mengurungku di dalam kamar. Pintu kamar itu akan ditutup dengan selendangnya.
“Selendang ajaib, ya?” tanyaku sekali waktu.
“Ini selendang yang bisa menutup segala keburukan,” katanya.
Aku bisa diam di kamar itu beberapa hari. Istriku mengantarkan makanan dan minuman untukku. Lalu dia keluar lagi. “Bayangan itu belum hilang.” Artinya, aku masih belum boleh keluar meski aku bosan di dalam kamar.
Selendang itu berwarna merah dengan renda di tepiannya. Aku pernah mencium wanginya, sangat menenangkan sampai-sampai aku tertidur dengan cepat.
Setelah bayangan itu menghilang, istriku membuka selendang dan menyimpannya di dalam lemari.
“Keluarlah, kamu bebas,” katanya. Aku menyambutnya dengan senang. Sebagai hadiah atas kebaikan hatinya membebaskanku dari bayangan hitam, aku mencium pipinya. Istriku tersenyum dengan tindakan itu.
Di hari ke delapan, setelah teringat istriku, aku mencari letak selendang di lemari. Aku mendapatkannya dengan mudah. Selendang itu masih berenda, tetapi bolong di beberapa tempat. Aromanya juga tidak sedap, seperti kain yang disimpan terlalu lama di dalam lemari lembab. Aku mengusir bayangan hitam dan memasangkan selendang ke pintu kamar.
“Pergilah, jangan datang padaku.”
Bayangan itu menggumpal di udara, mengeluarkan suara tertawa kecil. Aku duduk di kasur merasa puas. Tiba-tiba, bayangan itu menyusup melalui lubang-lubang di selendang.
“Konyol, Laksamana. Konyol.”
“Istriku bisa mengusirmu dengan selendang itu!” Aku berteriak marah, bayangan hitam membalasnya dengan tawa. Dia bertambah besar dan suaranya sedikit lebih keras.
“Itu istrimu. Dia punya mantra.”
Mantra apa yang dimiliki istriku, aku tidak tahu. Kenapa dia tidak memberitahukannya, aku juga tidak tahu. Aku mencoba mengusir bayangan hitam beberapa kali dan menutup bolongan di selendang, tetapi dia tetap berhasil masuk melalui sela-sela benang.
Di hari ke lima belas, aku menyerah mengusirnya. Ukurannya sudah semakin besar. Aku sering kelelahan karenanya. Dia terus tumbuh, suaranya semakin besar. Aku dibuat tidak bisa tidur dan tidak bisa makan. Bayangan itu memakan semua jatah makanan yang ditinggalkan istriku. Aku memberinya uang peninggalan istriku, tetapi dia tidak menerimanya.
“Aku tidak bisa ditukar dengan uang,” katanya.
Lampung, 15 September 2021
Bionarasi:
Diah Estu Asih senangnya dipanggil Diah, lahir pada 29 Agustus tahun-tahun lalu. Ia menekuni bidang sastra sejak bergabung dengan LokerKata, pertengahan tahun 2020 sampai sekarang.
Editor: Erlyna
Sumber gambar: https://pin.it/1QIfD05