Bawang Goreng
Oleh: Erien
Aku mendengkus kesal begitu masuk pagar rumah. Hidungku menangkap aroma yang beberapa bulan ini mulai mengganggu: aroma bawang merah yang digoreng. Bau itu menguar dari dalam rumah. Seketika, hariku tidak lagi semenyenangkan tadi saat di kantor. Kebanggaan sebagai pegawai teladan bulan ini, lesap tertutup bau tidak menyenangkan itu. Ah, bawang goreng sialan!
Tentu saja aku tidak berani mengumpat orang yang membuatnya. Bisa kupastikan saat ini wanita itu tengah asik di depan kompor dan mengaduk-aduk minyak panas dengan bawang di dalamnya. Wanita yang kupanggil Ibu itu, memang menjual bawang goreng sebagai pengisi hari. Bawang gorengnya dikemas dalam plastik pouch beraneka berat. Aku yang mengusulkan ide itu. Sebelumnya dagangan Ibu hanya dibungkus plastik dan direkatkan dengan memanaskan lipatan plastik menggunakan lilin. Aku yang kasihan melihat jemari tuanya melepuh di sana-sini, memberi alternatif pengemasan. Sekarang aku menyesali ide cemerlang itu karena hampir tiap dua hari sekali rumah ini beraroma bawang. Padahal, dulu hanya seminggu sekali.
Sekali lagi aku mendengkus. Bak upil, bau bawang goreng itu menempel erat di lubang hidungku. Berkali-kali kugosok, tetap saja kembali lagi. Mendadak kepalaku pusing. Bau ini lama-lama memabukkan, membuatku mual.
Beberapa orang yang lewat depan rumah selalu berkata bahwa aroma rumahku enak. Wangi bawang goreng. Aku hanya bisa nyengir mendengar mereka berkata. Tentu saja enak, wangi bawang goreng itu hanya sesekali mereka hidu ketika lewat. Sementara, aku secara kontinyu menghidunya. Bahkan, hidup dalam aroma itu. Lama-lama, wanginya berubah menjadi bau yang memuakkan.
Kubuka pintu dengan malas. Tambah menguatlah aroma itu. Kutahan napas dan bergegas menuju kamar. Diam-diam, sudah sebulan ini kusiapkan oksigen botolan di kamar. Kuhirup ketika bau bawang sudah sangat memuakkan dan membuat pusing seperti saat ini. Setelah berganti baju, aku mencuci muka. Ah, lumayan segar. Apalagi, ditambah aroma es melon yang kuambil dari kulkas di ruang makan, membuat kekesalanku jauh berkurang.
Ibu menghampiriku dengan celemek yang masih menempel di dadanya. Aku mengernyit ketika mencium tangannya yang tentu saja bau bawang. Ah, Ibu … bagaimana caranya mengatakan kalau aku bosan dengan bau bawang gorengmu?
Wajah Ibu sangat semringah. Beliau bercerita tentang pesanan yang datang bersamaan dalam jumlah besar. Ibu sampai mendatangkan dua tetangga untuk ikut membantu prosesnya. Aku mengangguk lemah, sambil makan tumis jamur dan ikan nila goreng kesukaanku. Tak selera, tapi perutku lapar.
“Sudah selesai, kok, Mas. Tinggal bungkusin. Tapi udah sama Mbak Astri dan Bu Kodir. Kamu nggak usah bantuin apa-apa.” Begitu, jawaban Ibu ketika kutawarkan bantuan. Bantuan itu bukan karena aku ingin dekat dengan bawang goreng, tapi karena siapa tahu dengan dibantu, pekerjaannya cepat selesai dan rumah bebas dari bau bawang.
Semuak-muaknya aku dengan bau bawang, tidak tega juga jika harus menghentikan kesenangan Ibu yang satu itu. Bagaimanapun, bawang goreng menyelamatkan Ibu dari depresi karena kematian Bapak lima bulan lalu. Aku juga yang mengusulkan dan memberinya modal untuk kembali berjualan setelah penyandang dana utamanya, Bapak, berpulang. Kala itu ada rasa ragu di wajah Ibu. Namun, setelah kuyakinkan, beliau mau meneruskan usahanya berjualan bawang goreng. Bahkan tiap Jumat, Ibu menyisihkan semangkok bawang goreng khusus mengenang Bapak.
Aku berpamitan keluar setelah makan dengan tujuan menghindari bau itu. Ibu hanya menyodorkan tangan untuk kucium. Sementara matanya serius menatap bawang goreng yang sedang dibungkus.
Setidaknya, sejam atau dua jam bisa kuhabiskan memasok oksigen gratis di taman kota, sebelum pulang kembali ke rumah sesudah salat Magrib di masjid kota kami.
***
Hari berikutnya, aku terkejut ketika melihat Ibu berwajah sedih duduk di ruang tamu sore itu. Meski bertanya-tanya, kuputuskan meletakkan tas dan berganti baju dulu. Hari ini, hanya ada sisa aroma bawang goreng kemarin. Atau … sebenarnya baunya sudah hilang, tetapi secara otomatis hidungku bernostalgia saking tersugesti jika rumah ini berbau bawang goreng tiap hari. Entahlah.
Setelah berganti baju, aku keluar menuju kulkas. Tidak terlihat lagi tumpukan kemasan bawang goreng di meja makan. Mungkin semua sudah terkirim ke pemesan. Setelah minum air dingin, aku kembali ke ruang tamu dan duduk di dekat Ibu yang masih terlihat melamun.
Ibu menoleh pelan ketika aku menanyakan kenapa ia melamun. Dulu, wajah seperti itu sering kudapati saat Ibu teringat Bapak di hari-hari pertama ia ditinggalkan. Apa kali ini, Ibu juga sedang teringat Bapak?
“Tadi, Pak RT datang ke rumah. Katanya, tetangga pada keberatan dengan bau bawang goreng Ibu. Baunya bikin pusing.” Kali ini, Ibu bercerita sambil mulai berkaca-kaca. “Ibu mesti gimana, ya, Mas?”
Aku yakin, tetangga yang dimaksud bukanlah dua orang yang kemarin membantu Ibu. Bayaran mereka sehari itu lebih daripada cukup untuk ukuran pekerja harian di kota ini. Aku mengembuskan napas pelan dan mengusap wajah.
Ternyata, tidak hanya aku yang mulai pusing dengan bawang goreng Ibu. Tetangga juga mulai protes. Tidak terbayang sebelumnya jika kemudian orang-orang sekitar rumah ikut terganggu. Akhirnya memang ada dua kemungkinan soal bau itu: menjadi terbiasa atau malah tidak tahan lalu pusing sepertiku.
Aku ingat pernah sekilas dengar saat membeli minuman bersoda di warung sebelah. Ada tiga ibu-ibu yang salah satunya berkata, “Tadinya enak, lama-lama eneg!” Lalu ketiganya tertawa. Namun, mereka langsung terdiam setelah melihat kedatanganku. Mungkinkah semua tentang bawang goreng Ibu?
“Terus, Pak RT bilang apa lagi, Bu?” Aku bertanya pelan.
“Ya, cuma menyampaikan kalau tetangga keberatan. Kata Pak RT, coba dimusyawarahkan dengan kamu dan tetangga. Dia mau jadi penengahnya. Menurut kamu, gimana?” Ibu menatapku sendu. Duh, tidak tega kalau sudah begini.
Aku tahu bawang goreng menyimpan banyak kenangan Ibu. Tentang Bapak yang suka bawang goreng buatannya, tentang Nenek yang hanya bisa memberi nasi berlauk bawang goreng dan sedikit terasi, tentang hidup kami yang sempat berjalan hanya dengan berjualan bawang goreng ini. Jadi, tidaklah mungkin menyuruh Ibu berhenti.
“Kalau Ibu masaknya kayak dulu, seminggu sekali, Ibu mau?” Dengan hati-hati aku bertanya.
Mata Ibu menerawang. Ia menoleh pelan padaku lalu mengangguk. “Ibu pilih hari Kamis, itu kalau tetangga setuju. Memang gimana rencanamu, Mas?”
Malam itu aku langsung menghadap Pak RT. Sudah kubuat janji temu sejak tadi sore. Kini kami duduk berhadapan, terhalang meja kecil dengan segelas kopi dan sepiring martabak yang sengaja kubawa tadi ke rumahnya. Pembicaraan kami penuh canda dan cukup hangat. Sehangat martabak yang kubawa beserta amplop berisi uang ala kadarnya. Sebagai tanda terima kasih atas kerja sama untuk membuatku pulang kerja dengan semangat tanpa takut bau bawang goreng.
Setidaknya, hanya hari Kamis rumahku bau bawang goreng. Jumatnya, Ibu seperti biasa menaburkan bawang goreng di makam Bapak.
Bu … Bu, memang kuburan Bapak itu nasi goreng? (*)
Kotabaru, 15 Agustus 2021
Erien. Penyuka bawang goreng. Kenalan, yuk, di akun Facebook: Maurien Razsya.
Gambar: https://www.istockphoto.com/id/foto/bit-bawang-goreng-renyah-gm1307577143-397803593
Editor: Imas Hanifah N
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/me.jadi penulis tetap di Loker Kata