Terbaik Ke-9 TL 20
Genre Folklore
Batu Bertumpuk
Oleh: Leeyaa
Lihatlah, Nang, batu-batu itu tersusun tak seimbang, tetapi selama bertahun-tahun ia tak sekali pun tergoyahkan. Kau tahu kenapa? Karena ada kekuatan yang menjaganya. Ia seperti terikat satu sama lain, menopang satu sama lain, dan menjaga satu sama lain, seolah goncangan tak akan mampu meluruhkan mereka.
Kemarilah, biar kuceritakan padamu sebuah kisah. Kisah yang bermula dari kisah yang pasti sudah sering kau dengar di sekolahmu. Pun kau bisa mencari ragam kisah itu jika kau meramban internet dari ponselmu. Tapi yang ingin kuceritakan adalah kisah yang hanya disampaikan dari leluhur kepada keturunannya seperti aku yang mendapat cerita dari leluhurku. Sesungguhnya, penduduk tidak berani terang-terangan menceritakannya, karena mereka kelesah akan tulah.
“Tulah?”
Ya, tulah. Untuk itulah aku mengajakmu ke sini dan hanya denganmu saja aku menuturkan. Karena ayahmu terlalu tak percaya pada legenda. Jadi aku tidak perlu menceriterakan kisah ini kepadanya. Tapi, pijar kembang api di matamu mengatakan bahwa kau berbeda. Dan aku menyukainya.
Nang, jalan ini dulunya adalah hutan belantara. Hutan yang dihuni makhluk-makhluk tak kasat mata, yang tak pernah sampai pada bayangkan akal manusia.
Kau tentu pernah mendengar cerita tentang pemimpin yang tamak dan kikir yang mendapat teguran dari Sunan Kalijaga, bukan? Kemudian untuk menebus kesalahannya, Sunan Kalijaga meminta pemimpin itu untuk melakukan perjalanan tanpa membawa sedikit pun kekayaan yang dimilikinya. Akan tetapi, istri pemimpin itu, sang Nyai, membuat kesalahan dengan nekat membawa perhiasan di tongkat bambunya. Lalu, di tengah perjalanan mereka didatangi perampok, dan terpaksa sang Nyai memberikan semua perhiasan miliknya.
“Tentang … Ki Ageng Pandanarang?”
Ya, benar, Nang. Cerita itu tentang Ki Ageng Pandanarang dengan tiga kesalahan yang menjadi cikal bakal legenda sebuah kota. Kota tempat kelahiranmu. Namun, bukan legenda itu yang ingin kuceritakan kepadamu, Nang, melainkan tentang mereka yang mengambil perhiasan sang Nyai.
Duduklah, mendekat ke sini. Cerita ini sebaiknya kau dengarkan dan kau simpan seolah angin di sekitarmu tak mampu menjangkaunya. Ya, begitu, pasang telingamu baik-baik.
Dengarkan.
Malam itu, angin tak datang, daun tak gemerisik, binatang-binatang tak bersuara, dan mereka—para perampok—berhasil melarikan perhiasan sang Nyai. Sang Nyai pun meraung-raung membangunkan seisi hutan, hingga pepohonan menoleh, dahan-dahan menjulur, daun-daun rebah kembali terbangun. Serigala pun mulai terjaga, kemudian menjeritkan lolongan panjang yang menggetarkan gendang telinga. Amarah penghuni hutan membumbung, hawa panas menjalar, tanah begejolak, mengumpal-gumpal seolah ingin menelan isi hutan.
Namun, sekejap kemudian senyap tiba-tiba menelan suara raungan, pun seketika mencerabut lolongan. Angin serentak berembus kencang, dan kabut mulai mengalir, merendah, menyelimuti hutan. Ketenangan datang dengan aroma yang menggiriskan. Sayangnya ketenangan itu tidak datang sendirian karena ada sesuatu yang bergerak dalam bayang-bayang.
Perampok itu ada tiga orang: satu pemimpin berhidung keling, satu berbadan tinggi, dan yang satu lagi bercodet di pipi. Ketiga lelaki itu tersaruk-saruk mencari jalan menembus malam yang cahayanya hanya diperoleh dari cahaya remang-remang yang tersaring dedaunan.
Sepanjang jalan, mereka mulai menghitung hasil rampokan yang ternyata cukup banyak didapatkan. Tawa pun merekah, gelak pun jumawa, merasa keberhasilan itu patut dirayakan. Mereka mulai memikirkan apa yang akan harus dilakukan dengan hasil rampasan. Ketiganya berjalan dengan dada membusung dan kepala ditegakkan. Sayangnya, setelah satu jam berjalan tidak juga terlihat tepi hutan. Dua jam berjalan ketiganya semakin masuk ke dalam kegelapan. Tiga jam berjalan mereka mulai kelelahan.
Dan semakin lama, mereka semakin merasakan keanehan, bahwa ada sesuatu sedang mengintai. Sesuatu yang tak kasat mata. Kekhawatiran pun merayap, menggerayangi, hingga bergumul di sendi-sendi. Ketakutan mengalir perlahan melalui aliran darah, bergelenyar menuju jantung. Namun kepalang tanggung, mereka tetap harus maju, mencari jalan, mencari perkampungan. Hingga si Codet menyadari sesuatu, “Bukankan ini jalan yang tadi kita lalui?”
Dan si Tinggi menjawab, “Dari mana kau tahu?”
Kemudian si Codet menunjuk pohon yang dahannya menjulur rendah. “Pohon itu, rantingnya tadi membuat luka di lenganku.”
Menyadari keanehan itu, si Hidung Keling memutar pandangan. Ia mendongak. Ternyata tatapannya beradu dengan loyang kelam tanpa remahan bintang. “Langit sangat muram. Tak ada yang bisa jadi penunjuk jalan.”
Mereka mulai gelisah, Nang.
Akhirnya, si Codet mengusulkan untuk memberi tanda pada tempat itu dan mengambil arah lain untuk menembus hutan. Si Hidung Keling setuju. Kemudian mereka mengambil batu-batu dan menyusunnya di suatu tempat, lalu kembali berjalan mengambil arah yang berbeda dari sebelumnya.
Setelah lama berjalan, ternyata mereka kembali ke tumpukan batu. Si Codet pun mengambil satu batu lagi, dan meletakkannya di atas tumpukan batu tadi. “Ini jadi penanda, berapa kali kita melewati tempat ini.” Codet benar-benar cemas.
Mereka berjalan kembali, mengambil arah yang lain, namun ternyata kembali ke tumpukan batu itu lagi. Codet mengambil batu lagi, meletakkan di atas batu itu lagi, dan mengatakan hal yang sama lagi. Lalu mereka berjalan lagi, dan kembali lagi, dan menumpuk batu lagi, dan mengatakan hal yang sama lagi. Hingga tumpukan batu itu tak bisa tersusun lebih tinggi dan tak bisa dihitung lagi.
“Lalu, apa yang terjadi pada mereka, Kek?”
Sebentar, Nang. Biarkan aku bernapas dulu, biarkan aku minum dulu. Tapi aku senang dengan rasa penasaranmu.
Malam makin jauh. Lelah, haus, dan lapar menguasai. Putus asa. Ketiganya lalu bersandar di tumpukan batu: si Hidung Keling mengumpat, si Tinggi memaki, dan si Codet mengeluh. Dan mereka mulai bertengkar, saling menyalahkan. Perseteruan semakin panas, sampai kemudian si Hidung Keling berseru, “Kita berpencar!!”
Dan si Tinggi menjawab, “Bagi dulu rampasan kita!”
“Sama rata!” si Codet menimpali.
Akhirnya, di depan batu itu harta rampasan dibuka: kalung-kalung dengan liontin intan, gelang-gelang bertahta berlian, dan cincin-cincin berukir bermata safir. Sayangnya, mereka kembali bertengkar, sama-sama meminta bagian yang tak wajar. Satu dan lainnya kembali saling menyalahkan bahkan mulai baku hantam.
Setelah ketiganya kepayahan, Hidung Keling kemudian meredam perkelahian. “Kita harus lepaskan perhiasan ini. Mungkin karena inilah kita tak bisa keluar dari hutan!”
Kedua temannya saling berpandangan, disambut gundah yang menubruk perasaan. Akhirnya usul disetujui, mereka mengubur perhiasan itu di dekat tumpukan batu. Dengan janji, mereka akan kembali suatu hari nanti.
Kesiur angin masih berdesir dan dingin terus menyisir. Mereka kemudian sepakat memilih arah secara acak, dengan harapan pulang dengan selamat. Namun, sepertinya semua tak berjalan selaras pinta.
Setelah langkah berjejak-jejak dan kabut turun semakin pekat, mereka baru menyadari jika telah terpisahkan dan masing-masing tenyata telah berjalan sendirian. Kegamangan berkelindan, ketakutan mencekam–saling memanggil namun tak mendapat sahutan. Kengerian hadir mengecutkan hati.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang sangat keras hingga menggerakkan pepohonan, disusul suara lengkingan panjang yang semakin lama semakin jauh lalu menghilang. Sekejap kemudian, suara auman menggelegar menggetarkan tanah pijakan yang kemudian diikuti jeritan panjang memilukan. Belum sampai suara itu menghilang, lolongan serigala menggema diserobot laungan yang mengguncang kabut malam.
Lalu, perlahan-lahan hening kembali datang dan malam kembali tenang.
“Mereka semua mati?”
Tidak ada yang tahu, Nang. Tidak ada yang tahu bagaimana nasib mereka.
“Lalu, bagaimana dengan harta rampasan itu?”
Dengar, Nang. Harta itu tak pernah ditemukan, karena siapa pun yang berusaha mencari atau berusaha mengusik batu-batu itu, tak ada yang pernah selamat. Ada yang pulang dengan kaki lumpuh, ada yang diserang penyakit misterius, dan ada pula yang mati mengenaskan. Karena itulah, cerita diredam agar tak ada ketamakan yang mencelakai orang-orang.
Begitulah, Nang. Tumpukan batu itu pun tak pernah bisa dirobohkan. Penduduk membiarkan. Mereka hanya menceritakan kepada keturunannya agar keturunannya tetap menjaga batu itu sebagaimana mereka menjaganya.
***
Kuusap perlahan kepala Lanang dan seketika cincin berukir dan bermata safir di jariku berkilau ditimpa sinar senja.***
Salatiga, 25 Maret 2023
Leeyaa, perempuan yang ingin mengeluarkan isi pikiran dengan tulisan.
Komentar juri:
Saya suka bagaimana penulis memperlakukan si narator (tokoh aku yang menuturkan cerita). Ia tidak berniat menceritakan kisah yang sudah umum diketahui khalayak dan membelokkannya ke kisah lain yang sesungguhnya tabu untuk dituturkan. Hanya orang-orang tertentu yang boleh mengetahuinya, demi menjaga mereka, tetapi di lain sisa juga membahayakan. Narator dalam cerita ini pun memilih untuk mengambil risiko itu. Premis yang bertenaga dengan folklore yang juga sangat menarik.
—Berry Budiman