Batas yang Sebenarnya (Terbaik Ke-24 Tantangan Lokit 16)

Batas yang Sebenarnya (Terbaik Ke-24 Tantangan Lokit 16)

Batas yang Sebenarnya
Oleh : Khansa Malihah
Terbaik Ke-24 Tantangan Lokit 16

 

Aroma alkohol menguar di sepanjang gang sempit ini. Musik berdentum-dentum keras, mengiringi langkah pria hidung belang yang menikmati jengkal demi jengkal paha para wanita penjual selangkangan.

Ragu, aku duduk di sofa yang sengaja di letakan di depan rumah, lebih tepatnya ruangan untuk melayani para penikmat kupu-kupu malam.

Mami bilang, aku akan terjual dengan harga yang cukup mahal, mungkin jauh lebih mahal dari harga primadona di lokalisasi ini. Tentu saja itu karena aku masih perawan. Mami pun bilang, uang tersebut akan digunakan untuk mengobati penyakit Ibu.

Aku menghela napas panjang, sesekali aku melihat pantulan wajah dari layar gawai yang beberapa bagiannya mulai retak. Cantik, begitu Mami memujiku sore tadi, seusai membubuhkan riasan di wajah ini.

Dulu, saat Ibu masih belum terserang penyakit mematikan, ibulah yang menjajakan diri kepada pria hidung belang. Penampilan Ibu sangatlah berbeda, cantik dengan lipstik berwarna merah, juga rambut ikal yang tergerai indah.

Aku suka memandang wajah Ibu kala itu. Bahkan berharap bisa menjadi secantik Ibu. Terkadang, diam-diam aku mengenakan pakaian Ibu yang seksi, juga lipstik berwarna merah terang, lalu duduk di sofa depan rumah. Bagiku, itu adalah suatu kebanggaan, seperti layaknya bocah kecil lainnya yang mengenakan pakaian polisi karena ingin menjadi polisi. Aku pun sama, mengenakan pakaian Ibu karena ingin menjadi seperti Ibu.

“Lepas pakaian iku! Ibuk ndak seneng kowe dandan koyok ngono!”1

Masih teringat jelas dalam memoriku, saat dulu Ibu memergokiku berdandan seperti beliau. Wajah Ibu yang biasanya dihiasi senyum ramah, tiba-tiba saja memerah, matanya berkaca-kaca, tangannya terkepal penuh amarah, bahkan nada suaranya meninggi.

Tanpa ragu Ibu menyeretku ke dalam kamar, lalu memukulku dengan gagang sapu. Jerit kesakitan yang meluncur dari bibirku sama sekali tak menghentikan pukulan Ibu. Sempat tebersit tanya dalam benak ini. Mengapa Ibu marah? Mengapa Ibu menjadi jahat?

Ojok dadi koyok ibuk, Nduk! Ojok yo, Nak!”2

Tangis Ibu seketika pecah kala itu. Sambil menekan-nekan dada beliau menjerit layaknya orang kesetanan, lalu Ibu memelukku erat, sangat erat.

Dadi wong wedok sing nggenah biar ndak disepelekan!”3

Semenjak itu, aku mulai membenci baju-baju Ibu, lipstik merah Ibu, juga desah manja Ibu kala merayu laki-laki beraroma keringat yang menatap beliau penuh nafsu.

Kembali aku menghela napas panjang, lalu kulempar senyum menggoda kepada lelaki yang menjawil daguku.

***

“Mahal.”

Aku bernapas lega kala laki-laki berperut buncit yang menjawil dagu ini melangkah pergi. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika keperawananku direnggut oleh laki-laki berwajah buruk seperti dia. Oh, untunglah.

Malam semakin larut, tapi musik berdentum makin kencang. Beberapa pria hidung belang masih hilir-mudik di sepanjang gang. Beberapa wanita seumuran Ibu masih bergerilya mencari pelanggan. Sementara aku mulai harap-harap cemas. Bagaimana jika aku tak laku hari ini? Dapat dari mana uang untuk pengobatan Ibu esok? Namun, aku juga tak mau jika keperawananku direnggut oleh laki-laki sembarangan. Ah, entah.

Sejenak, aku melirik ke dalam kamar. Ada Ibu yang tergeletak tak berdaya di dalam sana. Kata Mami penyakit kangker serviks telah menggerogoti tubuh Ibu. Aku tak tahu penyakit seperti apa itu, tapi kata Mami jika tak segera diobati Ibu bisa mati. Aku tak mau hal itu terjadi.

Tanganku mulai basah, gelisah tentu saja. Dulu, saat aku duduk di bangku SMP ada laki-laki seumuranku yang bisa menghibur saat aku merasa cemas dan gelisah. Dia berwajah tampan dengan senyum yang menawan.

Aku tersenyum kala mengenang laki-laki itu. Laki-laki pertama yang tak memandang jijik ke arahku, saat dia tahu bahwa aku tinggal di gang sempit ini. Seolah-olah tak ada lagi batas antara anak pelacur dan anak wanita terhormat seperti dia.

“Kamu tinggal bersama ibumu di sana?” tanyanya kala itu.

“Iya, aku dengan ibuku di sana. Mami menampung Ibu semenjak aku dalam kandungan.”

“Kamu senang tinggal di sana?” tanyanya kembali sembari menekan-nekan bolpoin di meja.

“Iya, setidaknya Mami dan orang-orang di gang memperlakukanku jauh lebih baik dari pada orang-orang di luar gang. Kamu tau, kan, maksudku?”

Sejenak laki-laki itu terdiam, lalu menganggukkan kepala seolah-olah mengiyakan.

“Nanti jika aku dewasa, mungkin aku akan ke sana mencarimu.”

Aku tertawa mendengar ucapannya. Untuk apa ke sana mencariku? Tempat itu hanya untuk laki-laki hidung belang yang memuja selangkangan? Aku rasa, dia bukan tipikal laki-laki yang kelak dewasa menjadi seliar itu.

Semenjak itu kami menjadi begitu dekat, bahkan tak jarang dia mengantarkanku hingga batas gang.

Sering kali jantungku berdegup kencang kala bersamanya. Pipi pun memanas dan mataku seolah-olah penuh bintang kala melihatnya. Kata Ibu, itu yang dinamakan cinta. Namun, cinta bagi anak pelacur sepertiku hanyalah impian semata. Ada batas yang jelas membuat diri ini dan dia tak bisa bersama.

“Rendra,” gumamku, sejenak waktu seolah-olah berhenti berputar.

Tak ada dentuman musik, tak ada desah manja, juga tak ada hiruk pikuk laki-laki penikmat syahwat.

Hening, pikiranku terpusat pada laki-laki itu. Bagaimana kabar dia? Seperti apa dia setelah tujuh tahun tak berjumpa? Iya, aku memutuskan berhenti sekolah setelah lulus SMP. Kondisi Ibu yang semakin tua membuat keuangan menipis, uang Ibu hanya cukup untuk setoran ke Mami dan makan sehari-hari.

Itulah nasib wanita penjual selangkangan. Ketika wajah mulai mengendur, paha tak lagi kencang, harga pun menurun. Ah, mungkinkah aku pun bernasib sama seperti itu?

“Arum.”

Suara panggilan Mami seketika mengagetkanku. Dentum musik kembali terdengar, begitu pun dengan suara desah manja wanita penghibur lainnya.

“Layani Tuan ini. Dia sudah membayar lebih.”

Aku mengangguk pasrah, saat kulihat laki-laki dengan tubuh jangkung menatapku lekat. Mungkin ini jalan untuk kesembuhan Ibu, setidaknya laki-laki ini tampan dan tak beraroma keringat.

“Kamu Arum?”

Laki-laki itu memindai tubuhku dari kepala hingga ujung kaki membuatku risih. Sepertinya dia bukan tipikal laki-laki hidung belang? Atau mungkin dia baru mau mencoba?

Aku kembali menghela napas panjang, lalu kusunggingkan senyum menggoda sembari mengapit lengan laki-laki itu mesra.

“Iya, aku Arum. Mas mau sekarang?” jawabku sembari mengecup pipi laki-laki itu seperti yang dulu sering Ibu lakukan.

Laki-laki itu hanya terdiam, bahkan tak merespons kecupanku seperti layaknya laki-laki hidung belang lainnya. Aneh.

“Aku Rendra, kamu nggak ingat aku?”

Rendra? Seketika aku melepas tangan yang bergelayut manja di lengannya. Benarkah dia Rendra? Untuk apa dia kemari? Mungkinkah untuk membawaku seperti janjinya waktu dulu?

“Ren-dra.”

Air mata bergulir membasahi pipiku. Melihat kehadirannya seolah-olah membuat batas itu mengabur. Batas antara anak wanita hina dan anak wanita terhormat. Mungkinkah cinta bisa terjadi bagi kami?

“Kamu ke sini untukku?” tanyaku kembali.

“Iya, juga untuk menemukan seseorang.”

Rendra mengambil dompet dari saku celananya, lalu mengeluarkan selembar foto usang.

“Siapa?”

Aku mengusap air mata dengan punggung tangan, lalu mendekat ke arah Rendra.

“Mamaku.”

Wanita ayu dengan lipstik berwarna merah, juga rambut ikal yang tergerai indah. Wanita dalam foto itu adalah mama Rendra. Wanita yang kini terbaring lemah di ranjang karena penyakit kangker serviks, wanita yang juga telah melahirkanku ke dunia.

“Dua puluh dua tahun lalu, mama dan papa angkatku mengadopsiku. Beliau bilang mama kandungku tinggal di lokalisasi ini bersama saudara kembarku,” jelas Rendra kembali.

Batas antar anak pelacur dan anak wanita terhormat seketika runtuh, tapi kini batas yang sebenarnya berdiri kokoh. Iya, aku dan Rendra lahir dari rahim yang sama. Jelas cinta tak lagi berpihak kepada kami.

“Wanita di foto itu juga ibuku.”(*)

 

Probolinggo, 21 Agustus 2020.

 

Catatan kaki:

1“Lepas baju itu! Ibu tidak suka kamu dandan seperti itu!”

2“Jangan jadi seperti Ibu, Nak! Jangan, ya, Nak!”

3“Jadilah perempuan baik-baik agar tidak disepelekan.”

 

Khansa Malihah, mulai berkecimpung di dunia literasi sejak April 2020. Menulis baginya adalah sebuah cara untuk mengembalikan kewarasan. Ingin kenal lebih jauh bisa follow FB Khansa Malihah.

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply