Batas-Batas Hitam
Oleh : Erlyna
Terbaik ke-16 TL16
“Mau jadi apa kamu sekarang, hah?”
Pagi ini, entah sudah berapa ratus kali kalimat itu mengacak-acak isi kepala Vi. Sejak mendapatkan surat pemberhentian hubungan kerja beberapa hari lalu, hanya kalimat itu yang terus-menerus menari-nari di dalam ruang kepala gadis yang tahun ini genap berusia dua puluh lima tahun itu.
Kalimat itu terus memantul-mantul, mengganggu saat ia sedang membaca di tepi jalan, mengamati stiker iklan badut dan sedot WC di tiang listrik, menatap bintang-bintang yang begitu berisik menyampaikan salam-salam rindu, hingga saat ia sedang memejamkan mata sembari berhalusinasi tentang sosok idola. Kalimat itu terus berputar-putar tanpa bisa dikendalikan.
“Mau jadi apa kamu sekarang, hah?”
Vi masih ingat betul, bagaimana ekspresi sang Ibu saat melontarkan kalimat pertanyaan yang terasa seperti membunuh itu. Mata sang Ibu membulat merah, seperti bersamaan menahan amarah dan pasrah. Sementara mulutnya bergetar, menahan tangis.
Hah!
Vi mengembuskan napas sembari menatap sekeliling, mulai terganggu dengan keadaan taman yang mendadak dipenuhi banyak orang.
Tiba-tiba sebuah tepukan di bahu membuat Vi terkejut. Ditatapnya seorang wanita yang berdiri dengan tangan dipenuhi plastik belanjaan. Wajahnya kebingungan. Belum sempat wanita itu angkat bicara, Vi buru-buru bangkit, membungkukkan badan lalu pergi.
“Mau jadi apa kamu sekarang, hah?”
Vi dihinggapi rasa bersalah yang sangat besar terhadap kedua orangtuanya, terutama sang Ibu.
Ia masih ingat betul, bagaimana kedua orangtuanya bekerja siang malam demi bisa menebus biaya kuliahnya yang tidak sedikit. Bahkan saat wisuda, sang Ayah menyempatkan diri datang dari luar kota dengan mengenakan sepatu dan pakaian terbaik yang dipinjamnya dari seorang teman. Tiap kali mengingat senyum sang Ayah kala itu, hatinya terasa disayat-sayat.
Vi terus melangkah pelan sembari menundukkan kepalanya sesekali. Dibiarkannya tetes demi tetes air mata jatuh, meninggalkan jejak di sepanjang jalan setapak.
Dari arah berlawanan, terlihat seorang wanita dengan jas cokelat berjalan dengan begitu elegan. Wanita itu tersenyum padanya, menguarkan aroma manis yang khas dari mulutnya.
Vi mengacak-acak rambut panjangnya. Pikirannya semakin kalut. Ternyata ungkapan “berjalan-jalan santai bisa menyegarkan pikiran” itu hanya omong kosong yang diucap dengan asal-asalan. Nyatanya, setiap melangkah, dirinya semakin dihantui oleh banyak hal, terutama kekecewaan sang Ibu.
Vi menghentikan langkah sejenak, lalu menoleh ke belakang. Ditatapnya lagi wanita berjas cokelat yang tetap berjalan anggun dengan dagu terangkat. Dari penampilannya, Vi bisa menilai bahwa wanita itu termasuk golongan orang-orang beruntung. Orang-orang yang dianugerahi kesempurnaan.
Tiba-tiba Vi terjerembap. Di sampingnya, seorang laki-laki bergegas turun dari sepeda dengan wajah panik. Tatapan keduanya beradu, seolah-olah menunggu siapa yang seharusnya minta maaf lebih dulu.
“Ah, maafkan saya,” ucap Vi sembari membungkukkan badan. Ditatapnya sekilas lututnya yang lecet dan terasa perih.
“Lain kali hati-hati. Padahal saya sudah membunyikan bel berkali-kali, tetapi sepertinya Anda asyik melamun. Anda baik-baik saja?”
Laki-laki itu menatap Vi yang hanya berdiri dengan wajah menunduk.
“Mbak, halo?” ucap laki-laki itu seraya menggerakkan telapak tangannya di depan wajah Vi.
Vi terkesiap, lalu buru-buru mengangkat wajah dan kembali membungkuk. “Sekali lagi maafkan saya.”
Ditatapnya laki-laki di hadapannya yang masih saja mencerocos tanpa henti. Tiba-tiba Vi kembali teringat sang ibu. Wanita yang melahirkannya itu juga selalu mengomel tanpa jeda tiap kali dirinya melakukan kesalahan.
“Mbak, halo ….”
“Ah, ya. Maaf.”
“Jadi oke, ya?” tanya laki-laki itu sembari tersenyum penuh arti.
“Ah ….”
“Kalau begitu, saya permisi dulu.”
Vi termenung cukup lama. Tiba-tiba wajahnya berubah panik. Ditatapnya sosok laki-laki bersepeda yang kini sudah menjauh.
Apa yang baru saja dikatakan laki-laki itu?
Vi memutuskan kembali melangkah sembari menyelami dadanya. Ada sebuah luka menganga di sana. Luka yang coba ia sembuhkan tanpa mengutip kata-kata. Luka yang menghancurkan segalanya, termasuk mimpi dan hidupnya.
“Mau jadi apa kamu sekarang, hah?”
Vi tersentak. Ditatapnya sebuah bayangan hitam yang membelakangi matahari di depannya. Ibu? Tunggu! Kenapa Ibu tiba-tiba ada di sini?
“Vi!”
Gadis itu terperanjat. Ditatapnya Sam yang sudah berdiri sambil berkacak pinggang dengan wajah kesal.
“Lho, Sam? Kamu kok ada di sini?” tanya Vi bingung. Seketika ia memutar kepala, mencari sosok Ibu yang barusan dilihatnya.
Tidak ada. Apakah dirinya baru saja berhalusinasi? Kalau iya, isi kepalanya pasti sudah kacau sekali.
Laki-laki yang dipanggil Sam itu menghela napas. Dipandanginya gadis berambut panjang yang kini terlihat sangat linglung dan kehilangan pegangan.
“Ayo pulang. Ibumu mencari sejak tadi. Apakah kamu berniat kabur dari rumah, hah?”
Vi bergeming. Ia ingin mengikuti langkah Sam, tetapi rasanya tidak sanggup. Jauh di depan sana, ia seperti melihat tembok hitam yang menjulang tinggi. Tembok yang seolah-olah sejak lama memisahkan dunia orang-orang di sekitarnya dengan dunianya sendiri. Vi menyadari sesuatu, bahwa keadaannya kini berbeda dan ia sudah lelah berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa.
“Maafkan aku, Sam. Tolong biarkan aku sendiri. Kumohon ….”
Vi merasakan matanya memanas. Ada sesuatu yang menyeruak ingin keluar tetapi coba ditahannya sekuat tenaga. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Sam.
“Vi ….”
Tiba-tiba Sam berlutut. Diselaminya wajah Vi yang sudah basah dan merah. Laki-laki itu berusaha menakar, seberapa tega sebuah rasa kecewa memorak-porandakan jiwa sahabatnya.
“Percayalah, ini akan berlalu. Semua pasti baik-baik saja.”
Sam menjulurkan tangannya, lalu menyibak poni yang menutupi kening sahabatnya. Di sana, sebuah garis terukir dari pusat dahi hingga turun ke atas telinga. Sam membisu sambil menatap garis bekas luka itu. Garis yang mampu melemparkan dunia yang semula dalam genggaman menjadi jauh tak tersentuh.
“Terima kasih, Sam.”
Setelah sesenggukan cukup lama, Vi mengangkat wajah. Dirapikannya kembali poni yang tadi disingkap Sam. Vi sadar betul, bahwa di dunia ini, ada batas-batas hitam yang akan selalu mengurung dirinya. Mengasingkan dunianya ke tempat gelap dan tidak kasatmata. Tidak adil memang, tetapi Vi harus terbiasa. Ya, hanya itu satu-satunya cara.
“Mau jadi apa kamu, hah?”
Vi berdiri kukuh sambil menatap Ibu yang melotot setelah mendaratkan tamparan keras di pipinya. Tidak diacuhkannya rasa panas dan perih di sana. Pandangan matanya terfokus pada sepasang mata di hadapannya.
“Maafkan aku, Bu. Maaf … karena sudah menjadi begitu tidak berguna.”
Hening.
Vi yang semula bersujud di hadapan ibunya, pelan-pelan mengangkat wajah. Kekecewaan langsung menggelayut mata, begitu menyadari sekelilingnya yang hampa. Sejak dulu, Ibu tidak pernah menerima permintaan maaf darinya.
“Ibu ….”
Vi menangis tanpa suara. Hanya punggungnya yang terus naik-turun, hingga malam menutup buku-buku dongeng yang melegenda.
***
Sebuah guncangan membangunkan Vi yang tertidur di beranda. Gadis itu mengerjap, berusaha menatap sekeliling dengan mata yang bengkak karena menangis semalaman.
“Sam? Ada apa?”
“Ayo ikut! Aku mau menunjukkan sesuatu padamu.”
Vi menatap Sam yang berdiri sambil menepuk-nepuk boncengan sepeda. Gadis itu akhirnya bangkit mengikuti ajakan Sam setelah berganti baju dan mencuci muka.
“Kamu tidak kerja?” tanya Vi. Gadis itu mendongak sambil memejamkan mata, membiarkan angin pagi menggelitiki wajahnya.
“Aku sedang cuti,” balas Sam. Laki-laki itu mempercepat kayuhan sepeda yang membuat Vi refleks mengencangkan pegangan pada pinggang nya.
Sam menghentikan sepeda di pelataran kantor pos.
“Ikut aku!”
Laki-laki itu menarik lengan Vi dan membawanya menuju papan besar di samping pintu masuk. Papan lowongan pekerjaan.
Vi terdiam. Dipandanginya satu per satu poster pengumuman di hadapannya. Ia lalu meraih ponsel dan mengambil beberapa gambar.
Setelah selesai, Sam kembali membawanya ke suatu tempat. Kali ini cukup jauh dari pusat kota. Perasaan Vi langsung tidak keruan begitu Sam membelokkan sepeda memasuki sebuah jalan kecil yang kanan-kirinya dipenuhi pohon cemara. Wajah Vi yang semula cerah kembali terlihat gelisah.
Gadis itu turun dari sepeda dengan kaki gemetar. Di hadapannya, satu per satu potongan kejadian mengerikan sepuluh tahun lalu, kembali berputar bagai film dokumenter dan menyerbu pelupuk matanya.
Kawasan yang sering dijadikan tempat piknik dan perkemahan keluarga ini, tidak hanya menyimpan kenangan-kenangan manis. Tempat ini juga dipenuhi hantu-hantu yang terus mengganggu Vi tanpa bisa ditangkal. Ya! Tempat ini yang telah membuat dirinya kehilangan kehidupan normal dan menjadi terasing seperti sekarang.
Vi masih ingat betul, bagaimana kejadian mengerikan itu menimpanya. Sepeda yang ia naiki tiba-tiba tergelincir di jalan menurun. Tubuhnya langsung jatuh berguling-guling, menabrak apa saja sebelum akhirnya berhenti tertahan batang pohon.
Terkadang dunia terasa begitu tidak adil, memang. Dirinya yang seharusnya bersyukur karena masih bisa selamat, justru menjadi kufur setelah menyadari dunianya seketika hening kehilangan suara. Sejak saat itu, perlahan tapi pasti, batas-batas hitam mulai tumbuh dan mengurung dirinya.
“Kamu baik-baik saja? Hari ini tepat sepuluh tahun kejadian itu,” ucap Sam sambil merangkul pundak Vi.
“Sam … kamu tahu apa yang paling mengerikan dari semua ini?” tanya Vi sambil terisak. “Ibuku, Sam. Ibuku yang terus memaksaku untuk menjadi sempurna.”
Sam hanya diam, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
“Aku tidak keberatan dengan pandangan orang-orang yang menatapku jijik. Seolah-olah aku kotoran yang mengganggu kehidupan mereka. Bahkan di perusahaan, aku selalu ditertawakan. Aku selalu dipandang sebelah mata tidak peduli sekuat apa pun aku berusaha dan berkorban. Aku mengerahkan segalanya, Sam. Aku mencintai pekerjaanku, tetapi pekerjaan itu mengkhianatiku ….”
Vi menangis sambil berlutut di tanah. Hatinya kembali koyak. Di dadanya, ada sebuah luka yang tidak akan pernah sembuh selamanya.
“Mau jadi apa kamu sekarang, hah?”
“Mau jadi apa kamu sekarang, hah?”
“Mau jadi apa kamu sekarang, hah?”
Vi berteriak sambil menutup telinganya. Tidak tahu bagaimana bisa pertanyaan ibunya itu terus menerus menjejali telinganya yang kini tidak berfungsi lagi.
“Vi ….”
“Beri tahu aku, Sam. Beri tahu aku bagaimana caranya agar bisa membeli kebahagiaan untuk orang tuaku. Beritahu aku, bagaimana caranya menjadi sempurna ….”
Hening kembali mengambil alih pembicaraan.
Terkadang, kita hanya menilai sesuatu dari apa-apa yang tergambar di depan mata. Kita sering kali lupa, bahwa setiap tindakan selalu memiliki alasan. Begitu juga dengan hati seorang Ibu. Tidak ada yang pernah menyadari, bahwa sosok mulia itu tidak pernah tidak memedulikan anaknya. Hanya saja, terkadang cara yang dikakukannya salah. Ya, sesederhana itu.
Pagi berikutnya, Vi melangkah keluar dengan pakaian terbaiknya. Ia menarik napas, lalu menyusuri jalan setapak yang memanjang melewati taman. Tangannya yang menjinjing map berwarna merah, seolah-olah sedang menuntunnya melompati batas-batas hitam menuju dunia baru. Ia terus melangkah dengan mantap, bahkan saat sebuah mobil melaju kencang ke arahnya, diiringi suara klakson yang menusuk-nusuk telinga.
***
“Mbak, halo?”
“Sekali lagi maafkan saya.”
“Sepertinya Anda kesepian? Bagaimana kalau ikut saya ke suatu tempat? Saya sering berkemah jika sedang suntuk. Kalau setuju, ayo kita bertemu di sini dua hari lagi. Saya akan membawa mobil. Kita bertemu di jam yang sama, ya?”
Hening.
“Mbak, halo ….”
“Ah, ya. Maaf.”
“Jadi oke, ya?” tanya laki-laki itu sembari tersenyum penuh arti.
“Ah ….”
“Kalau begitu, saya permisi dulu.”
Purworejo, 21 Agustus 2020.
Erlyna, perempuan sederhana yang mencintai dunia anak-anak.
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata