Batas Asa

Batas Asa

 

Oleh: Marissa Saud

Pukul Sebelas, malam hari. Dirga masih terjaga di sudut kursi, ia meringkuk, jantungnya berdegup tak keruan, pikirannya melayang . Mulutnya tak henti-henti memanjatkan doa untuk seseorang yang tengah terbaring di rumah sakit sore tadi. Kali pertama ia merasakan ketenangan saat memeluk Fira, menghabiskan waktu bersamanya sepanjang hari, itu hari terindah bagi mereka berdua. Setidaknya sampai kabar itu datang tiga jam selepas Dirga pulang.

“Dir … Dirga!“

Dirga terbangun kaget, baru saja ia mendengar suara Fira memanggil di mimpinya, suara yang sangat nyata, suara terisak Fira. Ia melihat ke luar jendela kamarnya, langit telah gelap, ia tertidur pulas setelah pulang. Mengingat suara itu, Dirga dengan cepat meraih ponselnya. Sepuluh panggilan tak terjawab, bukan dari Fira melainkan ibunya. Kesadaran Dirga terkumpul sepenuhnya, pupilnya membulat, tubuhnya membeku membaca pesan yang tertulis di sana .

[Nak Dirga? , mohon angkat telepon tante, Nak. Fira baru saja dilarikan ke ICU.]

[Nak Dirga di mana?]

[Nak …]

Dirga mengusap matanya, masih tidak percaya dengan situasi yang ia hadapi saat ini, ia masih bermimpi saat ini, mimpi yang sedikit menakutkan. Dirga masih menenangkan dirinya berpikir semuanya masih kelanjutan mimpinya tadi. Tiba-tiba ia teringat suara Fira memanggilnya. Sontak ia mengecek kembali pesan-pesan itu. Itu nyata. Dirga menelepon Fira, ibunya, dan keluarga lainnya. Tidak ada yang mengangkatnya. Pikirannya berkecamuk. Ia meraih jaket dan kunci motor, melaju ke Rumah Sakit.

Sekejap ia sampai di rumah sakit, ia terengah, menuju resepsionis.

“Fira … Fira … Azzahra. .. 21 tahun, di mana?“ tanya Dirga pada salah satu staf.

“Fira Azzahra saat ini masih berada di ruangan ICU, kondisinya kritis, jika ingin menjenguknya lebih baik besok atau lusa setelah ia dipindahkan ke ruang perawatan,” tegas stafnya.

Tanpa pikir panjang ia berlari ke ruangan ICU mencari Fira dengan sendirinya, beberapa perawat meneriakinya untuk tidak berlari di koridor, Dirga tak peduli, kepalanya hanya berisikan Fira saat ini. Di ujung koridor terlihat wanita tua menunduk menatap kaca ruangan. Dirga sangat mengenalinya, ia tidak lain dan tidak bukan Ibunya Fira. Fira tak punya keluarga selain Ibunya. Dirga menghampirinya, sontak ia mendekap Dirga erat, jaketnya basah akan air mata ibunya. Dirga bungkam, masih tidak percaya dengan keadaan. Apakah mimpi tadi sebuah pertanda baginya? Dirga membuang pikiran itu jauh-jauh. Ia berusaha menenangkan wanita itu meski hatinya juga ingin berteriak melihat Fira terbaring lemah di dalam sana. Saat keadaan mulai sedikit tenang, Dirga mulai menanyakan apa yang terjadi pada Fira selama ia tertidur.

“Fira punya riwayat Tumor otak, mungkin, Nak Dirga tidak tahu setiap hari Fira menahan sakit kepala, dan mual, makanya ibu jarang memberi izin dia keluar sama, Nak Dirga. Ini demi Fira juga, maafkan ibu baru memberitahunya sekarang,” ucapnya dengan suara bergetar.

Perasaan Dirga bercampur aduk, sedih, kesal, kecewa menjadi satu. Mengapa selama tiga tahun ia tidak menyadari akan hal itu? Selama itu Fira menahan semuanya, dan dengan mudahnya Dirga selalu mengajaknya keluar tanpa tahu penderitaan Fira sebenarnya. Meski begitu Fira tampak sangat bahagia bisa diizinkan pergi hari ini dan menghabiskan waktu bersama Dirga sepanjang hari ini. Seketika semuanya mengalir deras membasahi pipinya.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Dirga masih terjaga di sudut kursi, ia meringkuk, jantungnya berdegup tak keruan, pikirannya melayang. Mulutnya tak henti-hentinya memanjatkan doa. Matanya sembab, ia kembali mengingat semua kenangan bersama Fira, sangat jelas, seperti klise .

“Dirga … Dirga hari ini kamu semakin buram, kamu banyak dosa, ya? Hehe ….”

“Hari ini sedikit berkabut, ya?“

“Dirga! Gempa! Gempa!“

“Tidak apa-apa! Sepertinya aku hanya salah makan.“

Semua kalimat Fira terngiang di kepala Dirga dan semuanya menyiratkan sesuatu, Fira menyembunyikannya atau Dirga saja yang tidak menyadari akan semua itu? yang jelas saat ini ia merindukan perempuan itu, dadanya serasa tertusuk, tubuhnya bergetar. Dirga menatap dari balik kaca ruangan, tak kuasa melihat wanita itu terbaring lemas dengan alat-alat yang tak ia kenal. Dirga tidak ingin lagi merasakan kehilangan siapa pun, keluarga, sahabat, kekasih semuanya dIrenggut darinya. Kini, ia hanya punya Fira Azzahra dan ibunya Fira yang sudah ia anggap sebagai kekasih dan ibu kandungnya. Ia berharap esok lusa dan seterusnya ia masih melihat senyuman itu, masih merasakan pelukan hangat, dan menjalani hari-hari seperti biasanya hingga mereka menjadi dua insan yang terikat suci. Setidaknya seperti itu harapan Dirga sebelum semuanya terjawab takdir.


***

Dear Fira Azzahra,

Apa kabar? Rasanya baru kemarin kita duduk menunggu senja bersembunyi di sini.
aku merindukanmu, sungguh. Kini aku tahu kalimat yang dulu kamu ucapkan di taman ini,
“Langit hari ini pun indah, namun sayang, esok lusa aku tak bisa menyaksikan keindahan itu di taman ini”. Kamu jahat, ya? Kamu selalu saja menyiratkan sesuatu di balik kalimatmu. Kamu tahu kan aku orang yang tidak peka. Tapi tenang saja, kali ini aku peka kok, kuberitahu ya … Langit hari ini pun indah di taman ini.

Salam rindu,

Dari aku, sejauh-jauhnya jarak … Dirga. (*)

Jum’at, 20 Maret 2020


Marissa Saud, biasa disapa Icha ,kelahiran Palu, Sulawesi Tengah, pada 11 September 2001. Ia adalah alumni MAN Insan Cendekia Kota Palu, dan pernah mendapatkan berbagai pengalaman berharga sebagai santriwati di sana: Man Jadda Wa Jadda, barang siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan mendapatkannya. Saat ini, ia tercatat sebagai mahasiswi semester dua Jurusan Perbankan Syariah (PS , Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam di IAIN Palu. Memiliki hobi menulis dan menggambar tidak menjadi hambatan untuk terus meraih sarjana ekonomi baginya. Saat ini aktif pada UKM Lembaga Pers Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa Jurusan Perbankan Syariah.

Leave a Reply