Bastard

Bastard

Bastard

“Hahahaha, sialan!”

Pemuda berhidung mancung itu tertawa, membiarkan luka di bibirnya bertambah lebar—tapi, toh, ia tidak memedulikannya; ia telah mendapat banyak luka—tembakan di kaki dan tangan, serta lebam-lebam di wajah—hari itu… dan luka paling besar adalah menyadari pemuda bermata sipit di depannyalah sang pelaku utama, Sang Malaikat Maut, berdiri di sampingnya.

Min, sang pemuda bermata sipit, menatap dingin pada Jung yang kelihatan sangat berantakan.

Terlalu berantakan.

“Ayah sudah mengatakan padaku untuk berhati-hati padamu, tetapi aku menentangnya dan berkata kau memang benar-benar sahabatku; berbeda dengan orang-orang brengsek lain… Ternyata kau lebih brengsek dari mereka, ya, Min?”

Sepanjang hidupnya, Jung banyak tertawa—menertawakan nasibnya, menutupi ketakutan dan kelelahan luar biasa lantaran selalu diburu oleh musuh-musuh ayahnya—dan, sore itu, ia benar-benar ingin tertawa sampai tersedak air liur: bahwa ia dengan bodohnya menganggap Min sebagai sahabat.

“Kupikir, kau sama denganku… aku sangat berterima kasih karena kau menggagalkan usaha bunuh diriku, tapi apa? Malah kau yang membunuhku, Sialan!” Jung ingat, natal tahun lalu, ia telah bersiap terjun dari gedung perusahaan ayahnya—muka-muka munafik membuatnya muak; ia hanya ingin “bebas” dari mata-mata membunuh banyak orang—ketika pemuda pendek itu datang, mempersilahkannya melompat secepat mungkin. Pemuda itu bahkan telah menyiapkan kamera SLR kalau-kalau Jung ingin merekam dan mengunggahnya di media sosial.

“Ha? Apa maksudmu? Kau menyilakanku mati?” Saat itu, Jung tidak habis pikir: bagaimana bisa kau membiarkan orang lain bunuh diri? Bukankah dari kecil kita selalu diajarkan untuk menyelamatkan nyawa orang lain?

Min, dengan wajah dingin yang sukar untuk ditandingi, justru berkata dengan santai, “Orang yang tidak bisa menghargai hidup tidak pantas untuk diselamatkan. Sana, mati saja dan jadi makanan belatung!”

Ada jeda amat lama bagi Jung untuk mencerna perkataan Min. Angin musim dingin berembus amat menggigil; tiba-tiba Jung merinding memikirkan nasib jasadnya yang memerah di lapangan parkir perusahaan. Seketika itu ia merasa gentar dan, seperti anjing penurut, ia turun ke bagian atap yang lebih “aman”.

Dulu, Jung berpikir itu adalah anugerah. Dulu.

Mengingat hal itu membuat tungku emosi Jung mendidih, meledak. “Jadi, kamera itu memang sudah kausiapkan, ‘kan? Bukan untuk memotret skandal para artis? Kau memang cerdas, Min… berapa IQ-mu?” Jung menengadah, hendak melihat kepuasan di wajah putih Min. Namun, pria itu hanya memasang ekspresi datar, seperti biasa, dan Jung pun bertanya-tanya: apa pikirannya tentangku selama ini? Binatang menyedihkankah? “Atau… jangan-jangan kau mengarang semuanya? Keluargamu yang berantakan? Adikmu yang sakit keras? Kau mengarangnya agar aku kasihan padamu, iya, ‘kan?”

Satu pukulan keras nyaris mematahkan hidung Jung.

Min meraih kerah kemeja Jung yang penuh darah (ada sekilat amarah di kelereng hitamnya). Jung justru tertawa, menikmati semua kejutan memuakkan ini.

“Harusnya kau membiarkanku mati saat itu, Min. Foto saja saat aku melompat dari gedung dan unggah itu di media sosial. Mereka hanya ingin kematianku, ‘kan? Jadi, apa bedanya aku mati sekarang dan dulu—bunuh diri dan kau bunuh?”

Min diam.

Jung tertawa hingga air matanya keluar.

Kepercayaan seseorang mirip dengan istana pasir; sekali lantak, kau tidak akan mendapat bentuk yang sama. Mengamini hal tersebut, Jung mengumpati dirinya yang dengan mudah percaya pada seseorang; yang akhirnya membuka diri dan membiarkan pria itu masuk sebagai sahabatnya. Ia tidak pernah punya sahabat, jadi kehadiran Min (yang lebih sering diam sembari memotret sekitar) amatlah berarti dalam hidupnya.

Untuk pertama kalinya, ia bisa tertawa dengan normal; ia bisa bercerita layaknya anak kecil… dan, untuk terakhir pula, ia memiliki seorang sahabat.

Aku akan mati… jadi buat apa berusaha “membuat” seorang sahabat lagi?

Rasa asin merambati ruang mulutnya. Ia menatap manik itu nyalang, berusaha sekuat tenaga menggerakkan tangannya guna mencengkeram kerah kaos Min—yang berakhir nihil. “Sialan, katakan sesuatu, brengsek! Katakan betapa menyedihkannya aku selama ini, betapa tololnya aku selama ini! Jadi, aku punya alasan untuk tidak ke alam baka dan menakut-nakutimu sampai akhirnya kau bunuh diri, menyusulku!”

Tatapan datar Min memerangkapnya dalam ketakutan.

“Sialan, cepat bunuh saja aku!”

Shut your fucking mouth, Bastard!” Satu umpatan… tetapi efektif untuk membuat gang sepi itu benar-benar “sunyi”.

Jung membatu.

Min bangkit, menatap langit sore yang mulai dilahap kegelapan. Semua kepalsuannya sudah terungkap. “Sekali saja diam dan dengarkan aku, oke?”

Min kembali berjongkok. Menatap manik cokelat Jung lurus, tanpa rasa bersalah—benar-benar lurus yang memerangkap. “Aku menganggapmu sahabat, kok,” Jung nyaris tersedak air liur ketika Min tersenyum—untuk pertama kali—sembari mengarahkan pistol ke dahinya yang berkeringat. Sekian pikiran berkecamuk dalam benaknya; tetapi senyum Min yang menjadi miris menandakan akan satu hal yang pasti: ia benar-benar akan mati, “tapi, aku tidak mungkin menumbalkan keluargaku hanya untuk seorang ‘sahabat’, ‘kan?”

Pelatuk ditarik; peluru melesak masuk; gang itu benar-benar lengang bersamaan dengan dipadamkannya lampu kehidupan milik Jung.

Min memandang mayat di hadapannya, “Kalau soal bunuh diri… aku sudah memikirkannya sejak jauh-jauh hari, Cerewet.”(*)

Devin Elysia Dhywinanda, gadis kurang kerjaan yang perlu menyalurkan sesampahan dalam otaknya (tenang, dia masih pelajar dan cukup waras, kok). Lahir dan masih bermukim di Ponorogo sejak 10 Agustus 2001.

Mau kepoin dia? Cekidot!
FB: Devin Elysia Dhywinanda
e-mail: curlyglassesgirl@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita