Barzakh
Oleh : Ray Eurus
Terbaik Ke-22 Tantangan Lokit 16
Di dipan empuk penuh kelopak mawar merah ini, aku bermenung. Seharusnya, semua gadis di desa yang berada pada posisiku akan merasa amat bahagia. Nyatanya, tidak demikian denganku. Aku sudah jengah dengan desakan Mama. Akhirnya, aku pasrah menjadi istri ketiga lelaki tua bau tanah yang masih berkoar-koar kepada para koleganya–di luar sana, dalam pesta pernikahan kami yang diselenggarakan sepanjang hari tembus ke malam.
Di dipan empuk penuh kelopak mawar merah ini, aku putuskan merebahkan tubuh lelah lagi payah. Perih hatiku telah berganti kebas, seluruh rasa cinta, kasih, dan bahagia, berubah mati rasa. Aku tak peduli pada semua omong kosong tentang kehidupan dunia. Para manusia tampaknya hanya mementingkan perkara perut dan apa yang ada di bawahnya.
Di dipan empuk dengan kelopak mawar yang kusapu sebagian hingga berserakan ke atas lantai vynil kamar megah Tuan Bahadur yang akan mencecap mahkota suciku sebentar lagi, kucoba menutup kedua kelopak mata. Berharap mimpi buruk di kehidupan nyata dapat dilerai dengan manisnya merenda asa, meskipun hanya sebatas bunga tidur belaka. Pasalnya, aku mulai lupa seperti apa manisnya madu kehidupan yang kaujanjikan itu.
***
Pipi kananku berdenyut hebat akibat tamparan dari Mama. Bahkan telingaku pun ikut berdenging.
“Lihatlah hasil dari ulahmu itu! Mengapa kamu berani bermain api, Maria!” pekik Mama sembari terus memukuli diri ini.
“Sudahlah, Ma … izinkan aku istirahat sejenak. Tak perlu kita bahas sekarang,” sergah Papa yang tergolek lemah di sofa butut ruang tamu.
Papa ditemukan babak belur oleh warga setempat, di pinggir jalanan desa. Mereka sempat melihat orang-orang suruhan tuan tanah dari balik Barzakh memukuli Papa tanpa ampun.
Aku tergugu sambil berlutut di sebelah Papa. “Maafkan Maria, Pa.”
“Apa yang kaupikirkan, hah? Kaukira akan dinikahi oleh tuan muda dari balik Barzakh itu? Jangan mimpi kamu Maria,” cecar Mama.
“Ma, sudah … kumohon!” Papa berkata lirih.
Mama berderap menuju dapur, sambil terus merepet. Mulai dari sikap Papa yang terlalu memanjakanku, aku yang hanya dipermainkan, sampai Mama harus kerja ekstra karena tulang punggung keluarga ini patah.
“Paa …,” bisikku yang disambut seulas senyum dari Papa, lalu beliau terpejam.
***
Enam ekor kambing milik Mister Ardah kubimbing dengan tekun menuju padang luas mendekati Barzakh. Tak ada satu pun warga desa yang berani coba-coba mendekati pagar kayu setinggi dada orang dewasa tersebut. Pagar pembatas wilayah kekuasaan mereka, para pendatang dari negeri yang tak mempercayai Tuhan.
Uang yang banyak, rupanya sanggup menyumpal aparat setempat hingga keluarga mengerikan tersebut berhak memperoleh sekian hektar lahan yang berada di desa kami yang terkenal terbelakang ini.
Ya, mereka amat mengerikan. Tak ada yang berani berurusan dengan keluarga penyembah kekuasaan itu. Bahkan hanya sekadar duduk di dekat Barzakh saja mereka urung. Akan tetapi, jangan harap aku mengekori nyali tipis warga pengecut di desaku ini.
Aku bersandar pada sebatang pokok white willow yang berdaun hijau memesona dengan bagian ujung berwarna putih keperakan. Pada saat musim panas seperti ini, semua pokok dan tumbuhan lainnya akan tampil memukau. Namun, tak kalah indah saat musim gugur menyapa. Sebab, semua dedaunan mulai berubah warna, hingga menampilkan pemandangan dengan keindahan yang berbeda.
Aku memberikan kebebasan pada kambing-kambing yang harus kuurusi setiap hari untuk mencari makan sendiri di padang luas tak bertuan ini. Sementara, aku mulai membuka beberapa lembar kertas yang kudapatkan di rumah Riha, saat ayahnya menawarkan untuk belajar mengaji dengan cuma-cuma.
Beberapa tahun lalu, aku pernah bersekolah, sehingga untuk sekadar membaca dan menulis huruf latin bukan persoalan berarti bagiku. Meskipun aku terpaksa tak melanjutkan pendidikan, karena keadaan keluarga yang sangat memprihatinkan, diri ini tak pernah berhenti belajar. Setiap ada kesempatan, aku meminjam beberapa buku dari ayahnya Riha. Beliau memiliki beberapa buku yang patut untuk dibaca.
Keasyikanku menekuri tiap lembar yang berisikan penggalan dari beberapa surah dari dalam kitab suci–keyakinanku—membuatku abai pada kewajiban terhadap binatang-binatang tak berakal milik Mister Ardah ini. Aku tersihir pada isi kandungan dari surah Ar-Rahman yang tertulis di lembaran kumal dalam genggaman kedua tanganku.
Aku tahu setiap kata bahkan hafal di luar kepala, tapi tak pernah tahu ternyata itu adalah kalam Ilahi. Sewaktu kecil, Grany sering menyenandungkan tiap ayatnya sebagai pengantar tidur buatku. Namun, baru semalam aku tahu bahwa apa yang disenandungkan olehnya adalah surah Ar-Rahman. Ah, Grany … aku merindukannya. Semoga beliau tenang di alam sana.
Suara mengembik tak henti-henti menyentakkanku dari pesona isi kandungan surah Ar-Rahman. Aku bergegas bangkit, lalu menyibak dedaunan dari pokok pohon bertinggi lebih dari 45 kaki yang menjuntai seperti tirai.
Oh, tidak!
Aku berlari menghampiri seekor kambing yang kesulitan menarik kepalanya karena tersangkut masuk ke sela-sela pagar kayu Barzakh. Ah, dasar ceroboh!
Susah payah aku memiringkan kepala binatang berjanggut ini, sampai-sampai keringat mengucur tak henti membasahi wajah juga punggung tubuh. Aku seperti kehabisan oksigen karena didera panik. Akhirnya, kutarik ujung kain tudung yang menutupi wajah, agar aku dapat bernapas dengan leluasa.
Suara meringkik membuatku terkesiap. Oh, Tuhan … jangan sampai penghuni dari balik Barzakh yang muncul. Takut-takut kuangkat kepala guna memastikan di mana gerangan sang pemilik suara meringkik tersebut.
Aku melenggong sambil memandang lurus tepat ke arah makhluk seputih salju. Makhluk itu berdiri gagah persis di hadapanku—dari balik Barzakh. Aku mematung, mengagumi kegagahan kuda putih yang berjalan makin mendekat. Baru kali ini kulihat secara langsung hewan yang memiliki sepatu itu.
“Biar aku bantu kambingmu menjauh dari situ.” Suara bariton itu menyadarkanku.
Aku mundur selangkah saat seorang pemuda menjejakkan sepasang sepatu boots miliknya ke bumi. Dia berjalan menghampiri Barzakh, lantas berjibaku membebaskan kepala kambing sialan itu, tanpa banyak cakap.
“Kambingmu sudah berjalan menjauh, Senorita!” cetusnya menyentakkanku.
Aku tak sanggup berkata-kata. Terlalu khawatir dengan apa yang harus kubayar atas kecerobohanku barusan kepada pemuda tersebut. Akan tetapi, dia tampak tak berbahaya.
“Helo!” Pemuda itu mengayunkan kedua tangannya ke udara. “Oh, baiklah … terima kasih, kalau begitu,” sindirnya kepadaku.
“Anda tidak memenggal kepala kambing itu, karena berani melampaui Barzakh?” Aku masih merasa heran dengan sikap baik dari pemuda tersebut.
“Memenggal? Untuk apa?” Dia melipat kedua tangannya di depan dada.
“Entahlah! Bukankah kalian yang berada di balik situ adalah para manusia berdarah dingin,” cetusku tanpa rasa gentar.
“Ha-ha-ha, rumor apa yang sudah beredar di desa sana, Senorita?”
Aku mendelik, lalu berbalik menjauhi Barzakh. Satu per satu binatang yang kugembalakan masuk dalam barisan. Sebilah dahan kayu yang biasa digunakan untuk membimbing mereka, kupukulkan perlahan ke tanah. Hal tersebut biasa dilakukan untuk menggertak binatang yang dengan sesuka hati meninggalkan jejak kotoran di atas tanah.
“Hey, kenapa cepat-cepat berlalu?” Pemuda itu menyejajari langkahku dari balik Barzakh.
Aku tak acuh, lalu meninggalkan tempat itu.
Dua sampai tiga hari berlalu dari kejadian tersebut aku tak pernah membawa kambing-kambing milik Mister Ardah bertamasya ke sekitar Barzakh. Aku disibukkan mengantarkan susu kambing yang sudah diperah Mama kepada nyonya besar—istri pertama Tuan Bahadur.
Dia adalah pedagang tersohor asal Timur Tengah yang baru tiga tahun ini hijrah kemari. Tempat tinggalnya berada di jalanan menuju kota. Jadi, lumayan memakan waktu yang lama untuk aku sampai ke sana, lalu kembali pulang dengan berjalan kaki.
Urusanku mengantar susu lebih cepat selesai hari ini. Aku memiliki waktu cukup banyak untuk kembali membaca-baca kertas penggalan surah Ar-Rahman yang belum selesai kubaca. Akhirnya, aku kembali bersandar pada pokok white willow yang biasa dikenal dengan sebutan dedalu.
“Tak bersama kambing, Senorita?” Suara bariton itu kembali mengagetkanku yang tengah asyik mendalami isi kandungan surah Ar-Rahman.
Aku berdiri lalu mencari sang pemilik suara. Ah, ternyata pemuda berkuda putih itu.
“Bukan urusanmu!” ketusku dan segera berlalu.
Aku merasa kesal karena kegiatan membacaku jadi terjeda olehnya. Lebih baik, aku segera beranjak saja dari sini.
“Hey, kenapa buru-buru sekali, Bonita?”
Apa? Berani sekali dia memanggilku, Bonita!
Aku memutar tubuh berjalan tergesa mendekati Barzakh.
“Jangan pernah memanggilku, Bonita!” tegasku sambil melotot.
“Oh, okee … oke, baiklah!” Dia mengangkat kedua tangannya ke depan dada. “Jadi, aku harus memanggilmu siapa?”
Aku mencebik ke arahnya. Dasar laki-laki, modus saja bisanya. Mau mengajak berkenalan ternyata. Ah, bodohnya aku … masuk ke dalam perangkapnya.
“Baiklah, jika kamu hanya diam … maka akan kupanggil, Bonita.”
“Maria. Maria Qibtiyah namaku.”
“Baiklah, Maria. Perkenalkan, aku Ian,” ucapnya sembari mengulurkan tangan melalui atas Barzakh.
Ragu-ragu aku menyambut uluran tangannya. Kemudian, dia mengulas senyum manis kala kedua telapak tangan kami saling terpaut.
Semenjak hari itu, kami sering bertemu di sekitar Barzakh. Baik saat aku mengembalakan kambing-kambing, ataupun hanya sekadar ingin bersua dengannya.
Aku sangat menyukai Ian sebab dia begitu terbuka. Maksudku, dia sangat berwawasan. Banyak hal baru yang aku dapatkan saat bercakap-cakap dengannya. Misalnya tentang Barzakh.
“Kenapa pagar ini kalian namakan Barzakh, Ian?”
“Barzakh itu artinya batas, Maria. Ada penjelasannya di dalam penggalan ayat di salah satu kitab suci,” terangnya.
“Baynahuma barzakhulla yabgiyan … surah Ar-Rahman, tentang batas dua laut!” pekikku.
“Ah, ternyata kau tahu.” Dia berdecak kagum. “Tepat sekali, Maria. Tentang batas yang memisahkan laut Mediterania dengan lautan Atlantik. Batas itu bernama Gibraltar Sill. Meskipun berbeda jenis perairannya, tapi kedua lautan tersebut tetap dapat berdampingan. Seperti kita.”
Aku mengernyit mendengar kalimat terakhir yang dilayangkannya.
“Meskipun ada batas ini, kita masih bisa bersama,” terangnya.
Bersamaan dengan itu pula, ciuman pertamaku telah kurelakan untuknya.
***
“Pemuda yang sering kaujumpai di Barzakh adalah Tuan Muda Sebastian.” Penjelasan Papa sontak membuatku tak percaya.
Selama ini, kami tak pernah membahas siapa dia sebenarnya. Kami terlalu sibuk dengan obrolan yang begitu melenakan. Aku begitu abai pada kenyataan tersebut.
Pantas saja dia bebas menunggangi kuda dan menemaniku ngobrol berjam-jam lamanya. Ian tak harus diburu-buru waktu, jika dia adalah salah satu pekerja di lahan itu. Bodohnya aku!
Keesokan hari, di waktu seperti biasa aku menemuinya. Aku menuntut jawaban kepadanya.
“Kau tak pernah bertanya, Bonita!” ujarnya dalam nada gusar.
“Kau hanya mempermainkan perasaanku saja, ‘kan?”
“Jika semua hanya permainan, aku tak akan sekadar meladenimu mengobrol saja. Pasti kau sudah kukerjai habis-habisan, Bonita,” jawabnya.
“Berhenti memanggilku Bonita, Ian. Kau semakin menyakitiku.” Air mataku tumpah karena merasa didustai.
Ian melompat dari atas pagar, dia merengkuh tubuhku. Aku semakin tergugu sambil memukul-mukul dada bidangnya.
“Semua orang tengah membicarakan pernikahan tuan muda dari balik Barzakh. Tolong jangan bilang jika itu kamu, Ian,” ucapku setengah berbisik.
Dia melepaskan pelukannya, lalu menjelaskan kepadaku bahwa itu semua hanya perjodohan sesaat. Dia berjanji akan menceraikan wanita yang dijodohkan dengannya, begitu rencana bisnis orangtuanya tercapai. Pernikahan mereka hanya rekayasa untuk kelancaran bisnis keluarganya yang berada di ujung tanduk. Aku mempercayai ucapan tersebut, dan berjanji akan menunggunya hingga waktu itu tiba.
***
Setelah beberapa bulan lamanya, aku menyetujui lamaran Tuan Bahadur. Setidaknya, ini bukti baktiku kepada Mama dan Papa.
Semenjak Papa dikeroyok oleh suruhan orangtua Ian, beliau tak memiliki pekerjaan yang layak untuk menghidupi kami sekeluarga. Aku masih bisa bertahan dengan membantu Mama mendapatkan uang. Namun, pendidikan si kembar—kedua adik laki-lakiku—menjadi korban.
Cukup aku saja yang putus sekolah, tidak mereka.
***
Lima tahun selepas pernikahanku dengan Tuan Bahadur, tiba-tiba salah seorang dari si kembar menyerahkan sepucuk surat kepadaku.
Maria, aku sudah menduda.
Hanya kalimat itu saja yang tertulis dalam selembar kertas putih tanpa hiasan. Aku meremas kertas tersebut, lalu mencampakkannya ke dalam tempat sampah.
Kini aku sudah memiliki keluarga yang kucintai dan teramat mencintaiku. Tuan Bahadur menikahiku karena permintaan istri pertamanya yang tak bisa memberikan keturunan. Sementara istri keduanya, tertangkap basah tengah bermain gila. Akhirnya, beliau menyetujui permintaan sang istri untuk menjadikanku madunya.
Dulu kala, mungkin pemuda itu mampu melampaui pagar kayu yang menjadi batas antara kami. Namun kini, tak akan kubiarkan dia berani masuk kembali.(*)
Balikpapan, 20 Agustus 2020.
Ray Eurus adalah nama pena dari seorang penulis kelahiran Kota Tepian. Tentangnya dapat dijumpai pada akun Facebook dengan nama yang sama.
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata