Barefoot

Barefoot

Barefoot

Oleh : Fitri Fatimah

Tiba-tiba hari ini saya ingin mengeluh. Saya tidak bisa bilang “padahal tidak ada angin tidak ada hujan”. Sebab tadi malam hujan turun. Dan angin, rumah saya di tepi pantai, jadi angin bisa dikatakan hampir selalu ada, setiap saat. Bahkan sekarang saat saya sedang berada di kamar, baru saja angin menggebrak jendela kamar saya, sama sekali tak ada sopan-sopannya. Tak ada mengetuk dengan pelan apalagi pakai basa-basi permisi. Dia seperti remaja yang kebelet, ya?

Dari jendela kamar saya bisa melihat beberapa anak tetangga, dan beberapa lagi anak pekerja kopra yang ikut ibunya, tengah bermain layang-layang di tengah teriknya siang hari. Hanya ada satu layang-layang, sementara bocah-bocah itu, saya hitung sekilas pandang, pasti lebih dari lima. Mereka bermain bergerombol, mengejar seorang anak yang berlari paling muka, lengannya dipakai untuk membelit senar, menahan layang-layang supaya tak lepas diembus kencang angin. Kaki-kaki mereka yang pasti telah terbiasa di atas pasir, berlari dengan gegap. Melihat itu, saya makin ingin mengeluh.

Saya ingin ikut berlari.

Umur saya sudah dua puluh. Baru seminggu yang lalu saya mengambil lilin di kotak persediaan darurat di ruang tengah, membawanya ke kamar, menyalakannya sendirian di sana, memanjatkan beberapa harapan, lalu meniupnya. Asap yang berarak pelan di depan hidung, sekali lagi seakan mengingatkan bahwa hidup saya masih akan begitu-begitu saja. Padahal saya ingin sesuatu yang berbeda. Itu yang membuat saya mengeluh.

Saya ingin ikut berlari, saya iri pada bocah-bocah itu, bahkan meski saya sudah berumur dua puluh.

Saya ingat bahwa dulu ketika saya seumuran bocah-bocah itu, saya punya ritual khusus menjelang tidur—karena rupanya menghitung domba tak mempan membuat saya lelap. Saya mencoba mengarang cerita sendiri dalam kepala.

Sebenarnya cerita saya tidak seperti cerita. Malah lebih mirip angan-angan, andai-andai, imajinasi yang sangat ingin saya wujudkan.

Saya berangan-angan bisa menciptakan kloningan diri dalam jumlah yang banyak, mungkin sepuluh—sejumlah jari-jari tangan saya yang tengah mengepal di antara selimut—dan dalam bentuk yang kecil. Sangaaat kecil. Mungkin seperti semut, atau lebih kecil lagi, seperti kuman. Kemudian diri saya yang sangat kecil dan berjumlah sepuluh itu akan saya masukkan ke dalam kapsul, lalu melemparkannya ke dalam tenggorokan. Dan dengan bantuan segelas air, mereka akan meluncur mulus ke usus saya yang berlepit-lepit, hingga kemudian—entah bagaimana caranya—sampai di sendi-sendi otot kaki saya.

Di situ, mereka bersepuluh, yang sudah siap dengan perkakas, akan bergotong royong mereparasi kaki saya. Menambal tulang-tulang yang rapuh, melapisinya dengan timah supaya kukuh. Mungkin juga menuangkan oli, supaya kaki saya yang kaku jadi lentur—sampai-sampai saya bisa ikut audisi balerina. Tak lupa pula memasangkan baut dan pegas, supaya saya bisa melenting tinggi menjangkau buah dari pohon-pohon yang selama ini hanya bisa saya pandangi dengan dongakan kepala.

Namun, saya tak pernah berhasil mengangan-angankan bayangan itu sampai selesai—sampai saya bisa benar-benar punya kaki yang sehat—karena saya  sudah keburu tertidur. Mungkin juga karena alam bawah sadar saya sadar bahwa angan-angan itu terlalu mustahil diwujudkan sehingga tak usahlah repot-repot mengkhayal lebih jauh.

Sebenarnya sebelum-sebelumnya, meskipun saya tidak bisa berlari, tidak bisa menari, tidak bisa melenting, dan sebagainya, saya jarang—saya tidak mau mengatakan “tidak pernah”—mengeluh. Karena kondisi kaki saya sudah bukan hal baru lagi, saya sudah terbiasa—ya bagaimana mau tidak terbiasa kalau dari lahir saya sudah seperti ini. Tapi ya itu, saya tidak banyak mengeluh. Paling tidak sebelum saya berkenalan dengan “dia”.

Saya bertemu dengan dia di halaman rumah. Dia adalah pemuda yang dari penampilannya, saya tebak berumur tujuh tahun lebih tua dari saya. Dari penampilannya juga saya langsung men-judge bahwa dia pasti pengangguran kurang kerjaan yang sehari-hari hanya tahu bermain gim online, dan memancing. Sudah sering saya melihat pemuda semacam itu: magrib-magrib pergi ke pantai; menenteng pancing, ember berisi umpan, dan satu botol kopi pekat. Lalu pasti halaman rumah saya yang jadi langganan tempat menitip sepeda motor mereka.

Sebenarnya pelabuhan ini tergolong aman. Belum ada kasus sepeda motor raib digondol maling. Tapi kalau yang usil mengempesi ban memang sering. Mungkin itu yang membuat para pemancing jadi waspada dengan kendaraan mereka.

Biasanya Ibu selalu ada di rumah, dan Ibu-lah yang akan membukakan pagar pada mereka yang hendak menitip sepeda motor. Tapi petang itu, entah Ibu sedang ke mana, sehingga pemuda itu terus mondar-mandir di luar pagar halaman, tampak kebingungan. Mungkin dia sungkan kalau langsung “nyelonong” membuka sendiri pagar dan meninggalkan sepeda motornya tanpa bilang izin terlebih dahulu.

Akhirnya karena kasihan, saya yang biasanya lebih sering mengunci diri di dalam rumah, memilih keluar. Dan saya langsung menyesal. Saya sangat benci tatapannya. Terutama kesiap suaranya ketika saya muncul dengan kursi roda. Segera saya menghampiri pagar dan membukakannya.

Dengan terbata-bata dia mengatakan maksudnya. Saya hanya mengangguk, dan langsung memutar kursi roda—bahkan sebelum dia selesai mengucapkan terima kasih.

Semua orang memang selalu seperti itu. Saya tampak aneh di mata mereka.

Dan sungguh kebetulan, minggu selanjutnya, ketika dia datang lagi untuk memancing dan hendak menitipkan sepeda motor, Ibu kembali sedang tidak ada. Sehingga lagi-lagi saya yang harus keluar. Begitu pun berminggu-minggu selanjutnya, saya yang lagi-lagi terpaksa harus berinteraksi dengannya.

Ajaibnya, kami kemudian menjadi dekat. Diawali dari dia yang tidak lagi menatap saya dengan tatapan “itu”, tak ada lagi suara kesiap. Kemudian basa-basi yang lebih panjang dari sekadar “terima kasih” dan “nanti saya ambil pukul 10 sepeda motornya”, hingga dia yang berinisiatif menyebutkan nama, padahal saya tidak bertanya. Lalu ketika saya diam saja, dia mengejar dengan pertanyaan, “Kalau kamu … siapa namamu?”

Saya menatap dengan alis berkerut. Kenapa kami harus berkenalan? Siapa dia? Apa maunya? Memangnya dia mau berteman dengan saya? Dengan seseorang seperti saya? Dan begitu banyak pikiran skeptis lainnya. Tapi pada akhirnya saya menjabat tangannya yang terulur. “Fatim,” ucap saya.

Dan seakan-akan saling bertukar nama adalah gerbang dari semuanya, kami kemudian jadi bertukar banyak hal: nomor telepon, cerita, keluh kesah, buku—karena ternyata dia juga suka membaca. Hingga dia semakin sering muncul di halaman rumah saya, kali ini bukan untuk menitip sepeda motor, tapi murni untuk menemui saya.

Ini aneh, tapi saya merasa nyaman di sampingnya, hal yang sangat jarang terjadi. Biasanya kalau ada keluarga besar berkunjung, atau tetangga seumuran saya yang bermain, saya akan memilih menghindar. Atau kalau sudah kadung tidak bisa kabur, saya hanya duduk dan lebih banyak diam. Saya bahkan sempat percaya bahwa pribadi saya adalah pendiam. Setidaknya sebelum bertemu dia. Di sampingnya saya jadi … seumpama kaset, pita suara saya akan segera hangus dan terburai berantakan, saking terlalu banyaknya bicara.

Saya tidak tahu bahwa saya bisa jadi orang yang menyenangkan. Bahwa saya bisa membuat orang lain tertawa, bahwa ternyata saya bisa juga berkelakar, saya bahkan sempat merasa “cerdas”. Saya tidak pernah tahu bahwa saya bisa jadi orang semacam itu.

Dia membuat saya merasa berbeda, bukan lagi gadis pemurung yang suka menutup diri, yang biasanya langsung tersinggung tiap ada yang menatap lebih dari satu detik pada kaki saya yang terkulai di undakan kursi roda.

Hari-hari saya mulai ditaburi warna.

Tapi segala sesuatunya jadi kacau ketika dia mengucapkan tiga kata yang sangat asing di telinga saya. Tiga kata yang, membayangkannya saja saya tidak pernah.

Saya memundurkan kursi roda. “Jangan main-main kamu.”

“Tidak, saya berkata jujur.”

“Tapi bagaimana  bisa?”

Dia mengerutkan dahi.

“Ya, bagaimana bisa?” ulang saya dengan penekanan. Saya merentangkan tangan, membuat gestur di sekeliling kaki. “Lihat!”

“Memangnya kenapa dengan kakimu?”

Saya sudah mau menyemburkan alasan, tapi dia mencegat dengan melanjutkan ucapannya.

“Saya bukannya tidak tahu kondisi kakimu. Saya tahu. Dari awal saya sudah tahu. Lalu memangnya kenapa? Apa hubungannya dengan pernyataan saya barusan?”

Seandainya kaki saya bisa bergerak, saya pasti mengentakkannya ke tanah sebagai bentuk kekesalan. “Lihat kaki saya baik-baik. Kaki saya tidak berguna. Bagaimana bisa kamu punya perasaan pada perempuan seperti saya.”

Dia bangkit dari kursi panjang di halaman rumah saya—tempat kami biasanya ngobrol hingga berbusa-busa. “Kamu tidak masuk akal,” gumamnya lirih, tapi saya masih bisa mendengar.

“Kamu yang tidak masuk akal. Dengar, kamu harus bisa membedakan antara cinta dan kasihan. Jangan karena saya cacat, karena saya tidak pernah merasakan jatuh cinta, lalu kamu merasa punya kewajiban untuk menghibur saya dengan hal semacam itu. Saya tidak butuh!” tandas saya geram.

Dia tampak tercengang mendengar ucapan saya. Langkahnya yang tadi mondar-mandir, terhenti seketika.

Sekarang kamu baru tersadarkan?

“Kamu benar-benar merendahkan saya, ya, kalau sempat-sempatnya bahkan terlintas pikiran semacam itu. Saya tidak apa-apa kalau kamu tidak punya perasaan yang sama sama saya. Lebih baik kamu menjawab seperti itu untuk menolak saya. Tidak usah pakai alasan ‘bedakan cinta dan kasihan’. Saya tahu bagaimana perasaan saya sendiri. Saya tidak mungkin salah.”

“Tapi itu benar, kan? Kamu cuma main-main sama saya!” Saya tetap ngotot.

“Tidak ada yang main-main di sini! Perasaan saya sungguhan. Apa yang kamu keluhkan itu, kondisi yang menurutmu adalah kekurangan, buat saya sama sekali bukanlah hal yang patut dipermasalahkan.”

Tapi saya tidak percaya.

***

Saya kembali menatap ke luar jendela. Bocah-bocah itu rupanya telah bosan dengan layang-layangnya, kini mereka ganti bermain air di tepi pantai. Beberapa yang punya nyali lebih, berenang ke permukaan air yang lebih dalam, membawa kayu apung sebagai pelampung. Tawa mereka berderai hingga terdengar ke kamar saya.

Saya menghela napas.

Kalau saya tidak punya kaki, setidaknya saya harus punya sayap, atau sirip. Takdir tidak boleh terlalu tidak adil pada saya.

Saya menggelindingkan kursi roda ke dekat jendela, kemudian menutupnya. Tak sengaja pandangan saya menangkap ponsel yang tergeletak di pinggir rak buku di sudut kamar. Saya tahu bahwa di dalam aplikasi chatting pada ponsel itu, ada sebuah pesan yang saya hafal luar kepala saking terlalu seringnya dibaca. Sebuah pesan terakhir yang masuk darinya—sebelum kontaknya saya blokir.

[Apa pun keputusanmu, saya terima. Jaga diri yang baik.]

Tidak masuk akal kalau dia cinta saya. Ya, kan?

Tapi beberapa saat kemudian saya jadi berpikir, apa yang sebenarnya memasung saya? Kaki saya yang lumpuh, atau pikiran saya yang terlalu dangkal? (*)

 

Sumenep, Pelabuhan Bintaro, 23 April 2020

Fitri Fatimah, suka membaca dan mencoba menulis. Dia ingin punya perpustakaan pribadi. FB: Fitri Pei.

*Cerpen ini sekadar untuk meramaikan.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply