Bapak Tidak Pulang Hari Ini (Terbaik ke-13 TL15)

Bapak Tidak Pulang Hari Ini (Terbaik ke-13 TL15)

Bapak Tidak Pulang Hari Ini

Oleh: Nishfi Yanuar

Terbaik ke-13 Tantangan Lokit 15 (tema: Karantina)

 

Pagi masih sepenuhnya pucat ketika perempuan dengan rambut sebagian memutih itu menyalakan kompor. Ia menjerang air, ditunggunya sampai benar-benar mendidih dengan kepulan asap yang rata. Sebentar kemudian, aroma khas wedang jahe dengan tambahan sedikit asam Jawa menguar memenuhi ruangan.

Aku masih menatap dari jauh perempuan keriput itu. Sudah kupastikan, rutinitas selanjutnya ia akan menghidu dalam-dalam aroma itu sekitar lima detik dengan mata terpejam sempurna. Kedua pipinya menarik ujung bibir hingga tercipta sedikit lengkung yang selalu kusimpulkan sebagai sebentuk senyum. Itulah satu-satunya waktu yang ia ambil untuk tersenyum, lalu membuang 86.395 detik sisanya.

Sudah lebih dari dua puluh tahun rutinitas itu ia lakukan. Oh, atau mungkin lebih lama dari itu. Ingatanku hanya sampai pada saat aku masih di sekolah dasar. Itu pun hanya sesekali kuintip dari balik dinding anyaman bambu yang sudah banyak berlubang. Di sana, perempuan itu akan mendapat amarah habis-habisan, lalu pukulan bertubi-tubi jika di meja reyot itu hanya ada segelas air putih.

“Jangan keras-keras, Pak … nanti anak-anak bangun.” Perempuan itu memelas.

“Biar, biarin mereka bangun. Biar sekalian lihat ibunya yang bodoh ini!”

Bodoh? Ya, perempuan itu memang buta aksara. Tak kenal baca-tulis dan semacamnya. Kemelaratan menggerogoti keluarganya hingga membuatnya tak pernah kenal bangku sekolah, ditambah di usia remaja ia harus merelakan kepolosannya dirampas atas nama pernikahan. Ia menggadaikan waktunya untuk membaktikan diri pada lelaki bermulut sampah itu.

“Aku kerja semalaman dan pulang-pulang cuma dapat suguhan air putih? Cuih!” Suara lantang itu diikuti gebrakan di atas meja, membuat seisi ruangan ikut bergetar tak terkecuali sesuatu di dalam sini. Jika sudah begitu, aku akan menangis tanpa suara karena Mbak Lia membungkam mulutku kuat-kuat dengan tangannya yang lebih kekar.

Wajah perempuan yang sudah bersimbah air mata itu bertambah basah dengan ludahan berbau minuman keras. Aku sungguh ingin perempuan itu bangkit, lalu balas memukulnya. Namun, tentu saja tubuh ringkih itu tetap bergeming.

Puas mengumpat dan memukul, lelaki itu kembali keluar rumah. Entah ke mana perginya kali ini. Sedangkan perempuan itu hanya mengaduh sendirian, membenamkan kepala di atas meja sambil tersedu. Lantas ketika fajar menyala dan mendapatiku atau Mbak Lia, ia akan bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa. Hal itu membuatku diam-diam selalu berdoa semoga lelaki itu tak pernah kembali lagi. Biar, bukan masalah besar jika aku tak punya bapak.

Bertambah dewasa, aku semakin benci melihat kelemahannya seiring bertambah kesalnya aku pada diri sendiri karena tak bisa melindunginya. Perasaan yang sama sepertinya juga tumbuh di dada Mbak Lia dan semakin berkobar dari hari ke hari. Puncaknya hari itu. Mbak Lia yang baru saja pulang sekolah terlibat pertengkaran hebat dengan lelaki itu. Berakhir dengan kepergiannya dengan masih mengenakan seragam putih abu-abu dan tak pernah kembali hingga hari ini.

Sejak hari itu, perempuan itu kian nelangsa. Bakti dan patuhnya yang habis-habisan pada sang suami tak pernah diganjar apa-apa. Berkali-kali aku mengajaknya meninggalkan rumah. Pergi ke mana saja asal tak ada lelaki itu. Namun, perempuan itu tak pernah mengiyakan.

Secuil demi secuil lelaki itu tak hanya memakan hati perempuannya, tetapi juga kepala berikut isinya. Hingga akhirnya kepala itu kosong, kopong, tak menyisakan ingatan apa-apa. Begitu merampas semuanya, lelaki itu pergi dan tak pernah kembali lagi.

Tatapan iba para tetangga tak menyelesaikan perkara. Setahun usai menamatkan pendidikan atas dengan biaya hasil kerja serabutan, kujual rumah kumuh itu lalu membawa pergi perempuan yang bahkan sudah tak mengenaliku ini. Di sebuah desa terpencil, delapan purnama lalu, aku memulainya dari awal. Mengasingkan perempuanku dari omongan tak berkesudahan. Mereka bahkan terang-terangan memintaku memasung satu-satunya dunia yang kupunya ini. Bukankah sesungguhnya merekalah yang benar-benar GILA?

Tak apa. Begini lebih baik. Di tempat asing ini perempuan itu akan lebih baik. Jika tidak hari ini, bisa saja besok. Begitulah harapanku setiap hari, sama ketika aku pernah menanam harap bisa pergi jauh tanpa lelaki itu dan ternyata terwujud.

Pyar!

Sesuatu jatuh ke lantai. Lamunanku berhenti seketika. Aku segera berlari mendekat. Setiap perempuan itu menjatuhkan gelasnya, mukanya langsung terlihat pucat, bibirnya gemeretak seolah hendak mengucap sesuatu. Matanya berputar mengisyaratkan kepanikan.

“Tidak apa-apa, Angga akan bersihkan. Ibu tenang, ya ….” Aku mencoba menenangkannya. Pelan-pelan hendak kujangkau pundaknya. Namun, satu teriakan hebat memecah pagi yang masih utuh ini.

“Ma-ma-maaaf,  ma-maaf, Pak. Jangan keras-keras, nanti anak-anak bangun.” Terbata-bata perempuan itu menyambung kalimat. Ia menutup kepalanya dengan kedua tangan seolah sedang menjaga diri dari pukulan. Berulang-ulang ia menggumam dan hanya kata “maaf” yang bisa ditangkap indraku. Ia lalu beringsut di samping kursi. Ketakutan telah sepenuhnya menguasainya. Selalu begitu.

“Tidak apa-apa, Bu. Bapak tidak pulang hari ini,” tuturku lirih, berkali-kali. Perempuan itu berangsur tenang.

Lagi, aku menampar diri sendiri. Merasa gagal untuk kesekian kalinya menjaga ibu sendiri.

***

Hari ini aku kembali menyimak rutinitas perempuan itu dengan detail. Dan, urutan yang ia lakukan tak pernah berubah: bangun pukul tiga pagi, menjerang air, menyiapkan wedang jahe dengan campuran asam Jawa, lalu menghidunya dalam-dalam. Tak ada yang terlewat ataupun tertukar.

Tugasku hanya mengawasinya dari jauh, tanpa berkata, tanpa menegur, bahkan membantunya. Hanya memastikan, perempuan bermata cekung itu baik-baik saja. Yaitu sampai pada rutinitas ia duduk sambil merebahkan kepalanya di sisi meja, hingga tertidur kembali sampai fajar mengelus pipinya lewat celah-celah jendela.

“Bapak tidak pulang?”

Selalu, kalimat itulah yang pertama keluar dari bibirnya ketika bangun kembali. Sialnya, hanya kalimat itu yang ia punya.

Aku menggeleng. Setelahnya, ia akan pergi dan masuk ke kamar. Berdiam diri sepanjang hari hingga esok pukul tiga pagi, lalu melakukan aktivitas seperti hari ini. Benar, hanya itu yang tersisa dari seluruh hidupnya dan aku harus terus merawat ingatan itu agar ia tetap bertahan.

Namun, pagi ini ada yang berbeda. Usai menuntaskan rutinitasnya, ia tak menidurkan kepalanya di meja. Ia beralih ke sisi rak piring, lalu mengambil satu susun rantang kemudian menyodorkannya padaku.

Aku terbelalak. Sungguh, saat ini aku betul-betul ingin memeluknya. Satu memori barunya muncul. Ini keajaiban baru, Tuhan.

“Ehm, untuk apa rantang ini?” Aku memancingnya.

“Ba … pak.”

Satu kata meluncur. Meskipun pahit, aku tetap menelannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, ingatanku tertuju pada lelaki itu. Dulu sekali, di hari-hari tertentu, lelaki itu berangkat ke ladang selepas subuh. Dan, sudah menjadi tugasku membawakan bekal sarapan untuknya seraya berangkat ke sekolah. Sesekali, aku memilih ikut sarapan dengannya di dalam dangau. Hm, ternyata, ada satu momen kecil yang dulu membahagiakan.

Begitu rantang kosong ini beralih ke tanganku, ia berlalu menuju ke kamar. Aku mengekorinya perlahan. Ia duduk sebentar, lalu terbaring dengan senyum mengembang. Kali ini lebih lama dari yang biasa ia lakukan seusai menghirup aroma seduhan wedang.

Aku masih percaya dengan harapan. Ketika sama sekali tak ada yang tersisa, harapanlah satu-satunya yang menjadi pelita. Masa bodoh jika harapan “kesembuhan” perempuan itu harus dilantari dengan ingatannya pada lelaki yang kubenci itu. Masa bodoh jika harapan itu tanpa ingatan akan putranya ini. Masa bodoh, asal ia terus hidup dan tetap di sampingku walaupun di tempat pengasingan ini.

Ah, Ibu. Bagaimana mungkin lelaki yang bertubi-tubi memberi luka begitu dalam masih juga kau tunggu kepulangannya? Cinta … ataukah kutukan, Bu? [*]

Ngawi, 24 April 2020

Nishfi Yanuar, penulis yang ngeyel ikut Tantangan Lokit meskipun tahu sudah mepet DL.

 

Komentar Juri:

Dewasa ini kita sering menemukan kasus KDRT yang berimbas pada kejiwaan sang anak. Dalam kisah ini, penulis menggambarkannya dengan ketidakberdayaan kedua anaknya saat sang ibu disiksa meski sudah mengabdi setengah mati.

Penulis ini mampu menuliskan kisah-kisah sederhana dengan efek dan teknik yang membuat pembaca tak akan berhenti sebelum kisah berakhir. Entah sugesti atau apa pun itu, nyatanya pembaca selalu menanti karya-karya penulis kece satu ini.

Good luck!

-Vero

 

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply